Saturday, February 28, 2015

PERTEMUAN PUNCAK PIMPINAN DDI DI KEDIAMAN GURUTTA KH. ALI YAFIE | DDI BERSATU:

SAMBUTAN PENGANTAR PERTEMUAN TOKOH DDI

Bintaro, 9 Jumadil Awal 1436 H/ 28 Februari 2015 M
Oleh: Drs. H. Helmi Ali Yafie




Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT, maka kita dapat menyelenggarakan pertemuan pada hari ini, Sabtu, 28 Februari 2015, di tempat ini, di kediaman Gurutta Prof. KH. Ali Yafie, di Kompleks Menteng Residence, Bintaro Jaya Sektor 7, Pondok Aren, Tangerang. Pertemuan ini sangat penting artinya bagi Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) ke depan. Ini bisa menjadi titik-balik bagi kemajuan dan kejayaan kembali DDI, seperti yang diharapkan oleh banyak orang, tokoh, kader, santri dan warga DDI. Tetapi, ini juga bisa menjadi titik berhenti sejenak di tepi jurang yang menganga lebar yang siap menelan DDI, terlebih jika pertemuan ini tidak didasari oleh dada yang lapang, pikiran dan hati yang jernih, yang memungkinkan adanya kemauan untuk saling menerima dan memberi. Saya minta maaf menggunakan kata-kata ini, karena mungkin kedengaran terlalu 'menderamatis', tetapi saya tidak bisa menggunakan kata lain untuk menggambarkan suasana hati saya pada saat ini. Bagi saya, ini adalah titik krusial.  



Perkenankan saya memulai pembicaraan ini dengan kilas-balik perjalanan kita sampai hari ini. Saya tidak bermaksud mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu untuk mengorek atau merobek kembali luka yang tampak sudah mulai tertutup. Tetapi, ini adalah sebagai refleksi saya atas peristiwa-peristiwa masa lalu. Ada berbagai peristiwa yang telah kita lalui; ada yang manis dan ada yang pahit, sangat pahit untuk ditelan, tetapi kita harus menelannya dan menjadi obat yang menyembuhkan dan menguatkan. Bagi saya, peristiwa masa lalu patut dilihat kembali dan mengenali faktor-faktor atau situasi yang memengaruhinya serta efeknya. Sejarah bukanlah sekedar kronologi kejadian, tetapi dibalik itu ada pergumulan di bawah permukaannya, yang menjadi pelajaran, memaknainya kembali, dan itu memungkinkan kita bisa menghindari dari keselahan-kesalahan yang sama, agar tidak terjatuh dan tetjebak pada lubang yang sama.

Kita bisa mengatakan bahwa DDI adalah - Almaghfurulah - Gurutta Ambodalle, maka kalau mau melihat karakter, jiwa atau roh DDI maka 'lihatlah, kenanglah, Gurutta. Gurutta dan kawan-kawan melahirkan DDI untuk menjawab tantangan zaman, yakni kelangkaan pendidikan (di mana pada masa itu terbatas pada kelompok tertentu yang berada di klas atas pada strata masyarakat kita) di satu sisi; dan di lain sisi, juga dalam rangka merespon gerakan atau pandangan keagamaan yang tidak toleran terhadap budaya dan tradisi setempat. Maka inilah (DDI) salah satu pilar dari gerakan pendidikan Islam yang bertumpu pada Ahlussunnah Waljama'ah. Gurutta dan kawan-kawan melakukan itu, bekerja untuk itu, dengan sepenuh hati, totatal, dengan pikiran dan hati yang jernih, jiwa yang penuh pengabdian, sehingga memberikan hasil secara maksimal. DDI di kenal memperoleh apresiasi dan tempat khusus dalam masyarakat, karena bisa menjadi memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, kalau kita melihat keadaan sekarang ini, misi itu masih sangat relevan.

Tentu Gurutta tidak sendiri. Para santri dan para sahabatnya yang sepaham dengannya ikut bersama; ada banyak pikiran dan tangan yang bekerja di situ, tetapi semuanya terpusat pada Gurutta. Maka kita bisa mengatakan bahwa tanpa Gurutta, DDI yang kita kenal tidak akan pernah ada; dan tanpa DDI kita ini, orang-orang yang dikenal sebagai masyarakat DDI, kader dan alumni tidak pernah ada dalam bentuk seperti sekarang ini. Karena campuran dari berbagai pengaruh, tetapi pengaruh Gurutta-lah yang terbesar; Gurutta-lah yang mengantar kita dalam bentuk sekarang ini, langsung maupun tidak langsung. Maka semua kita berhutang pada Gurutta, atau hutang-budi terbesar kita adalah pada Gurutta, dan itu patut dibayar, dengan pengorbanan tentunya.

Istilah pengorbanan ini mungkin tidak lagi populer sekarang, karena kita berada pada zaman yang didominasi sikap pragmatis, di mana hubungan didasarkan pada hitungan untung-rugi. Tetapi saya kira salah satu ajaran pokok dari Guru adalah pengerbanan. Kita diajari makna pengorban, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan. Itu adalah jalan para nabi, dan para ulama adalah ahli waris para nabi. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gurutta secara nyaris sempurna.

DDI yang dirintis, sibangun, digerakkana dan dan dikembangkan Gurutta, diantar ke dalam suatu suasana yang megah, harum namanya, memberikan dampak nyata bagi masyarakat, tetapi sejak tahun 70-an seperti mengalami kesakitan, dan berpuncak pada tahun 90-an, sepeninggal Gurutta. DDI robek, terbelah.

Kesemua itu adalah efek dari suatu masa, ketika kekuatan begitu kuat dan dalam mencengkramkan kuku-kukunya ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat, kita di bawah satu situasi di mana otoritas yang seharusnya menguatkan, berubah menjadi melemahkan. Berpuluh-puluh tahun kita berada dalam situasi itu, mengalaminya, dan itu membentuk karakter kita, karakter kepemimpinan kita.

Kepemimpinan yang dikenalkan Gurutta yakni kepemimpinan ulama yang menguatkan dan mencerdaskan, berubah menjadi kepemimpinan yang melemahkan dan mengabaikan tempat berpijak. Kepemimpinan yang hierarkis berlapis-lapis, dan selalu mencari gantungan ke atas. Kita dibawa ke dalam suasana dan dibiasakan dengan upaya-upaya penyelesaian persoalan internal dengan mengundang (atau dipaksa mengundang) kekuatan dari luar atau meminta petunjuk dari luar. Kita dibawa ke dalam suasana tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Kita tidak lagi bisa berbicara dari hati-kehati dengan saudara sendiri, terjebak dalam suasana saling mencurigai. Kita selalu bergantung pada pihak luar yang memiliki otoritas. Sesungguhnya kita dibawa ke dalam situasi kanak-kanak terus-menerus, yang selalu membutuhkan otoritas dan perlindungan orang tua.

Dalam keadaan seperti itu sebenarnya kita seperti telah kehilangan roh DDI yang ditanamkan oleh Gurutta. Sebenarnya efeknya sampai sekarang masih terlihat, cobalah perhatikan struktur organisasi yang dipenuhi oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran atau memiliki keterikatan dengan struktur kekuasaan. Saya tidak menyalahkan orang tertentu, karena itu bersifat massif, dan pengenalaan (pemaksaan) kepemimpinan seperti itu dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Maka, saya cenderung mengatakan ini adalah produk zaman. Kita seperti berada dalam dalam zaman yang salah, untuk kepemimpinan ulama, yang didasarkan pada hati yang jernih, dada yang lapang, tanpa kehilangan daya kritis dan kreatifitas; kepemimpinan yang mendapingi, menguatkan masyarakat dan mencerdaskan.

Beruntunglah masih tersisa orang-orang yang memiliki kepercayaan diri, kepercayaan pada saudaranya sendiri, yang mau berbicara secara terbuka satu sama lain, ditambahkan dengan dorongan dan dukungan dari generasi baru yang memiliki kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai warga DDI dan mau berkorban untuk kepentingan DDI, bekerja secara total tanpa pamrih. Itulah yang menghantar kita sampai pada pertemuan ini. Sebenarnya sudah sejak lama upaya ini dirintis, (alm) AGH. Wahab Zakaria, MA, kurang lebih dua atau tiga tahun sebelum wafat, secara massif mengajak saya mengobrol dan sebenarnya ada agenda yang coba kami jalankan, tetapi selalu mentok. Kami seperti menghadapi tembok. Sampai kemudian muncul gerakan anak-anak muda, generasi baru DDI yang lebih mandiri dan berupaya keluar dari jebakan-jebakan komflik masa lalu. Salah satu upaya yang digerakkan oleh generasi baru ini adalah acara Tudang Sipulung Nasional (TSN), Pondok Gede-Jakarta, 29-30 Maret 2014, yang dihadiri oleh berbagai unsur DDI, dari berbagai daerah, bahkan ada dari Negara lain, bias dianggap sebagai satu tahap yang membawa suasana baru dan menimbulkan harapan baru.

Pertemuan ini terselenggara karena adanya pertemuan intensif antara AGH. Faried Wajedy dan AGH. Rusdy Ambo Dalle, yang telah memperoleh kepercayaan dari para warga, anggota, kader dan tokoh-tokoh DDI sehingga memegang tampuk kepemimpinan DDI sekarang inii. Keduanya, karena setting keadaan, seperti berada di dua kubu (yang bertikai), tetapi karena mereka saling mempercayai, saling menghormati, maka keduanya terus-menerus membangun komunikasi, sampai pada adanya kesepakatan untuk bertemu di tempat ini, dengan menghadirkan sejumlah tokoh DDI baik yang tercantum dalam struktur kepengurusan DDI maupun yang tidak. Pertemuan ini diselenggarakan di tempat ini, saya kira bukan karena tempat ini bersejarah atau mempunyai makna khusus, tetapi karena di sini ada symbol ke-DDI-an yang kuat.

Demikian pengantar saya, mewakili tuan rumah, lebih kurangnya saya mohon maaf.

Wama taufiqi illa billah 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.
Untuk selanjutnya, saya mau meminta kesepakatan para hadirin, siapa yang akan dipercaya untuk menjadi fasilitator atau moderator dalam pertemuan.

Friday, February 20, 2015

SEJARAH DDI MODERN:


Gurutta Ambo Dalle Mendirikan Pesantren Mangkoso

Oleh: Abdruhman Yanse Al Mahdali

Dalam catatan sejarah, pesantren DDI dikenal di sulawesi sejak zaman Gurutta AGH.Abdurrahman Ambo Dalle di Mangkoso, Barru, Ketika itu Gurutta Ambo Dalle. Membuka sebuah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso, dan menjadikannya pusat pendidikan di Sulawesi. Para santri yang berasal dari berbagai daerah datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Malaysia,

Pesantren MAI Mangkkoso, merupakan cikal bakal berdirinya Madrasah madrasah DDI di sulawesi. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah Madrasah madrasah dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di pesantren MAI Mangkoso.

Kesederhanaan pesantren MAI Mangkoso dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Ciri khas dari pesantren MAI Mangkoso ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan Anre Gurutta. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua.

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak didibatasi, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan Anre Gurutta bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya anre Gurutta menganjurkan santri tersebut untuk keluar mengajar di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari anre Gurutta

Lokasi pesantren MAI Mangkoso dahulu tidaklah seperti yang ada sekarang di Mangkoso atau di pesantren DDI lainnya, Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk, sistem dan metode pesantren MAI Mangkoso dapat dibagi kepada empat periodisasi yaitu

Pertama, periode MAI Mangkkoso yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan penguatan kitab kitab Kuning.

Kedua, Periode integrasi MAI Mangkoso Menjadi DDI, yang mencerminkan pengembangan MAI Mangkoso dalam bingkai DDI sebagai organisasi induk yang menaungi Madrasah madrasah yg didirikan Alumni MAI Mangkoso

Ketiga Priode Pesantren MAI Mangkoso menjadi pesantren DDI berstatus otonom yang mandiri, pasca dipindahkannya kantor PB DDI di Parepare

keempat, priode Pesantren DDI Mangkoso menjadi DDI AD pasca meninggalnya AGH Abd.Rahman Ambo Dalle. yang menunjukkan keinginan pesantren DDI Mangkoso kembali ke Mabda DDI yang dinilai telah keluar dari jalur sebagai organisasi pendidikan, dan Da’wah.
.
Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Pesantren MAI Mangkoso, Pesantren DDI Mangkoso, dan Pesantren DDI AD Mangkoso. sebab pesantren MAI mangkokso sendiri berasal dari Pesantren MAI sengkang, yang dibina oleh AGH As’ad. Demikian juga halnya dengan DDI, sebelumnya telah ada. Justru yang menjadi cikal bakal DDI adalah pesantren MAI Mangkoso yang sudah berkembang, sementara DDI AD adalah Pesantren DDI Mangkoso yang ingin mengembalikan DDI kemabdanya/Khittahnya sebagai Organisasi Pendidikan dan Da’wah, Pembagian di atas didasarkan pada perkembangan pesantren MAI Mangkoso dari dulu hingga kini.

Sifat kemodernan MAI Mangkoso, tidak hanya terletak pada bentuk Kelembagaan yang menyerupai sistem Pesantren pada umumnya di jawa, tapi juga pada bentuk koordinasi dalam pengembangannya. Hal ini tercermin dari didirikannya organisasi bernama DDI, Berbeda dengan MAI Sengkan yang tidak membuka cabang dalam pengembangannya. sehingga tidak memerlukan wadah yang lebih besar dalam pengorganisasiannya sejenis DDI, Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sikap kehati hatian AGH Aa’ad yang lebih menekankan pada asepek kualitas dari pada kuantitas pada setiap santrinya, hingga tidak membuka cabang didaerah lain kecuali di Sengkan Wajo.

Dalam hal ini, pesantren MAI Mangkoso telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu mendirikan organisasi masih dianggap langka. Namun demikian bukan tidak beralasan. pengorganisasian Madrasah Alumni yang ditarapkan pesantren MAI Mangkoso adalah untuk mendobrak mitos bahwa Madrasah Alumni tidak munkin di diorganisir sehingga sulit berkembang dan selalu ketinggalan zaman. Prinsip inilah yang mengispirasi lahirnya DDI sebagai wadah yang menjembatani kepentingan Pesantren MAI mangkosos dengan Madrasah Alumninya, sekaligus menjadi terobosan baru pada saat itu karena MAI Mangkoso berhasil mengintegrasikan semua Madrasah Alumninya ke dalam organisasi DDI agar MAI Mangkoso beserta Madrasah madrasah Alumninya dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Wednesday, February 18, 2015

SEJARAH DDI MODERN:


MAI Mangkos Cikal Bakal Lahirnya DDI

Oleh: H. Abdurrahman Hadi Al Mahdali

Dalam catatan sejarah, pesantren Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) dikenal di sulawesi sejak zaman Gurutta AGH. Abdurahman Ambo Dalle di Mangkoso, Barru, Ketika itu Gurutta Ambo Dalle. Membuka sebuah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso, dan menjadikannya pusat pendidikan di Sulawesi. Para santri yang berasal dari berbagai daerah datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Malaysia.

Pesantren MAI Mangkkoso, merupakan cikal bakal berdirinya Madrasah madrasah DDI di sulawesi. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah Madrasah madrasah dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di pesantren MAI Mangkoso.

Kesederhanaan pesantren MAI Mangkoso dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Ciri khas dari pesantren MAI Mangkoso ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan Anre Gurutta. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua.

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak didibatasi, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan Anre Gurutta bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya anre Gurutta menganjurkan santri tersebut untuk keluar mengajar di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari anre Gurutta

Lokasi pesantren MAI Mangkoso dahulu tidaklah seperti yang ada sekarang di Mangkoso atau di pesantren DDI lainnya, Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk, sistem dan metode pesantren MAI Mangkoso dapat dibagi kepada empat periodisasi yaitu

Pertama, periode MAI Mangkkoso yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan penguatan kitab kitab Kuning.

Kedua, Periode integrasi MAI Mangkoso Menjadi DDI, yang mencerminkan pengembangan MAI Mangkoso dalam bingkai DDI sebagai organisasi induk yang menaungi Madrasah madrasah yg didirikan Alumni MAI Mangkoso

Ketiga Priode Pesantren MAI Mangkoso menjadi pesantren DDI berstatus otonom yang mandiri, pasca dipindahkannya kantor PB DDI di Parepare

keempat, priode Pesantren DDI Mangkoso menjadi DDI AD pasca meninggalnya AGH Abd.Rahman Ambo Dalle. yang menunjukkan keinginan pesantren DDI Mangkoso kembali ke Mabda DDI yang dinilai telah keluar dari jalur sebagai organisasi pendidikan, dan Da’wah.

Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Pesantren MAI Mangkoso, Pesantren DDI Mangkoso, dan Pesantren DDI AD Mangkoso. sebab pesantren MAI mangkokso sendiri berasal dari Pesantren MAI sengkang, yang dibina oleh AGH As’ad. Demikian juga halnya dengan DDI, sebelumnya telah ada. Justru yang menjadi cikal bakal DDI adalah pesantren MAI Mangkoso yang sudah berkembang, sementara DDI AD adalah Pesantren DDI Mangkoso yang ingin mengembalikan DDI kemabdanya/Khittahnya sebagai Organisasi Pendidikan dan Da’wah, Pembagian di atas didasarkan pada perkembangan pesantren MAI Mangkoso dari dulu hingga kini.

Sifat kemodernan MAI Mangkoso, tidak hanya terletak pada bentuk Kelembagaan yang menyerupai sistem Pesantren pada umumnya di jawa, tapi juga pada bentuk koordinasi dalam pengembangannya. Hal ini tercermin dari didirikannya organisasi bernama DDI, Berbeda dengan MAI Sengkan yang tidak membuka cabang dalam pengembangannya. sehingga tidak memerlukan wadah yang lebih besar dalam pengorganisasiannya sejenis DDI, Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sikap kehati hatian AGH Aa’ad yang lebih menekankan pada asepek kualitas dari pada kuantitas pada setiap santrinya, hingga tidak membuka cabang didaerah lain kecuali di Sengkan Wajo.

Dalam hal ini, pesantren MAI Mangkoso telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu mendirikan organisasi masih dianggap langka. Namun demikian bukan tidak beralasan. pengorganisasian Madrasah Alumni yang ditarapkan pesantren MAI Mangkoso adalah untuk mendobrak mitos bahwa Madrasah Alumni tidak munkin di diorganisir sehingga sulit berkembang dan selalu ketinggalan zaman. Prinsip inilah yang mengispirasi lahirnya DDI sebagai wadah yang menjembatani kepentingan Pesantren MAI mangkosos dengan Madrasah Alumninya, sekaligus menjadi terobosan baru pada saat itu karena MAI Mangkoso berhasil mengintegrasikan semua Madrasah Alumninya ke dalam organisasi DDI agar MAI Mangkoso beserta Madrasah madrasah Alumninya dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Friday, February 6, 2015

GERAKAN PERUBAHAN:


GERAKAN PERUBAHAN JILID DUA
Oleh: Abdurrahman Yanse Al Mahdali

Pondok Pesantren DDI Lil Banin Kaballangang dan Pondok Pesantren DDI Lil banat Ujung lare adalah merupakan peninggalan AGH.Abd.Rahman Ambo Dalle dalam membangun moral umat Islam. Sejarah telah banyak membuktikan hal itu, sejak Meninggalkan MAI Sengkang, Gurutta secara terus-menerus menggerakkan perjuangan lewat jalur pendidikan Pondok Pesantren di sulawesi.

Kini, setelah beliau wafat, ada kekhwatiran pesantren pesantren yang ditinggalkanya kini semakin terpuruk dan kehilangang roh, terutama ketika kepala suku yang berkuasa disana belum siap menerima perubahan dan cendrung melihat agenda perubahan itu sebagai momok yang menakutkan, sehingga harus dibendung dan dilawan, terlebih lagi setelah melihat Gerakan Perubahan yang di motori Alumni telah berhasil menumbangkan PB DDI.

Gerakan perubahan yang menuntut percepatan rekontruksi Pondok Pesantren peninggalan Gurutta segara diwujudkan, bahkan menganggap Muktamar DDI ke XXI disudian adalah bagian yang tak terpisahkan dari gerakan perubahan yang tertunda sebelumnya, yang diawali dengan orasi keprihatinna Alumni di Pondok Pesantren DDI Kaballangang, tetap mengharapkan PB DDI baru segera merekontruksi ke dua Pondok Pesantren peninggalan Gurutta itu sebelum menghabiskan energy mengurusi sertivikasi DDI menjadi Ormas Nasional.

Munculnya gerakan perubahan yang mendesak percepatan rekontruksi Pondok Pesantren peninggalan Gurutta ini terus menuai pro dan kontra, sejumlah pihak menilai gerakan percepatan ini sebagai Gerakan Perubahan Jilid Dua dan yang sangat realistis karena menganggap agenda perubahan tidak sama dengan agenda penyatuan DDI yang penunggu persetujuan DDI AD.

Meski agenda perubahan sudah menjadi Program PB DDI, namun sebagian Alumni merasa kecewa dan menggap gerakan perubahan yang selama ini diperjuangkan, telah ditunggangi oleh kepentingan yang berbeda dengan aspirasi Alumni. Hal itu semakin diperkuat dengan di prioritaskannya agenda pembenahan internal PB DDI yang diniai sebagi pengalihan Issu yang menghambat agenda perubahan yang diharapkan, terlebih lagi langkah PB DDI yang sulit menentukan sikap dan cendrung melihat kedua Pondok Pesantren peninggalan Gurutta itu sama dengan PB DDI sebelumnya, hanya sebatas aset PB DDI yang tidak perlu diganggu gugat.

Karena itu Gerakan Perubahan Jilid Dua yang diperjuangkan Ikatan Alumni Kaballlangang (IAPDIKA) dan Forum Alumni Ujung Lare (Fadila) terus berlanjut dan menuntut agar Habitatnya Pontren DDI Lil Banin Kaballangang dan Pontren DDI Lil Banat Parepare segera di rekontruksi dan dikembalikan Kejayaannya..

Sementara sebagian Alumni mencoba memaklumi situasi PB DDI yang usia kepengurusannya masih bayi, agar lebih fokus membenahi internal PB DDI, sebelum melakukan perubahan, mereka menilai bahwa PB DDI mekipun terpilih secara akalamasi tapi secara internal belum kuat, dan mudah di obok obok, terlebih lagi masih banyak yang melihat agenda perubahan itu sebagai momok yang menakutkan sehingga perubahan apapun yang dilakukan sulit diterima.

Tapi Sebagian Alumni yang ingin melihat proses perubahan segera diwujudkan, mulai tidak sabaran, dan satu persatu menghilang dikomunitas, tapi sebagian melihat bahwa agenda perubahan harus terus dikawal, terlebih lagi jika melihat persoalan yang diwariskan PB DDI sebelumnya, masih sulit diprediksi sehingga Gerakan Perubahan Jilid Dua harus di hidupkan kembali.

Saat ini sudah tampak gejala bahwa kepala kepala suku yang berkuasa di Pondok Pesantren DDI peninggalan gurutta telah melakukan manuver-manuver politik yang mengarah kepada upaya inskonstitusional untuk mengembalikan suasana kepada pola pikir atau paradigma lama. Bahkan kepada upaya mengembalikan startegi rezim lama yang bernuansa anti perubahan.

Kondisi yang tidak diharapkan seperti ini, perlahan mulai muncul, permasalahan utama sebagaimana yang terjadi di Pontren DDI Lil Banat adalah eksestensi Pimpinan Pondok Pesantren yang di Skkan PB DDI, tidak diberi peranan dalam mengelola pondok pesantrennya sendiri. hal itu semakin diperkuat dengan diterbitkannya SKB, (Surat Keputusan Bersama) antara Kepala Madrasah Aliah dan Tsanawiyah yang menetapkan struktur pengurus atas nama pembina Osis, Perwakilan Kelas dan Pengurus Osis untuk mengatur semua kegiatan dalam lingkup Pondok Pesantren, sehingga Posisi Pimpinan Pondok Pesanten yang seharusnya diberi kewenangang mengatur semua kegiatan santri dan Guru guru diluar kegiatan formal disekolah dikebiri dan diambil alih oleh para kepala kepala suku, semakin banyak jenjang pendidikan dipondok Pesantren Peninggalan Gurutta itu semakin banyak pula kepala suku yang berkuasa disana, hal ini menunjukkan bahwa masih kuatnya pradikma lama yang menilai kepemimpinan dipondok pesantren Peninggalan Gurutta tergantung dari rezim mana yang berkuasa di PB DDI.

Karena itu rekontruksi Pondok Pesantren DDI peniggalan Gurutta, tidak cukup hanya dengan menggunakan pendekatan kekuasaan atau menempatkan kiyai Kharismatik, tapi juga dibutuhkan pertama adalah sistem atau statuta yang dapat memproteksi kedudukan Pimpinan Pondok pesantren yang di SK kan PB DDI, agar bisa berfungsi sebagai Tuan Rumah dalam rumah Tangganya sendiri.

Yang Kedua, kepala suku yang ber profesi sebagai Kepala Madrasah dari semua jengjang pendidikan yang ada di pondok Pesantren Peninggalan Gurutta, harus dikocok Ulang dan melewati proses seleksi pemilihan dengan keriteria minimal.

·         Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S2) atau (S1) kependidikan atau non-kependidikan.

·         Memiliki masa pengabdian di Pondok Pesantren DDI peninggalan Gurutta sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun

·         Berstatus sebagai guru tetap yang mengajar penuh, minimal 5 hari masa kerja dalam satu pekan

·         Memiliki background/latarbelakang pendidikan pesantren DDI

·         Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan yang baik.

·         Memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin dan keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala madrasah.

·         Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi kepala madrasah

·         Besedia menyusun program kerja kepala madrasah beserta target pencapaiannya

·         Bersedia dan sanggup melaksanakan program kerja kepala madrasah dengan penuh tanggungjawab

·         Bersedia mengikuti peraturan/kebijakan pesantren baik yang tertulis atau yang tidak tertulis yang ditetapkan Pimpinan Pondok Pesantren

·         Bersedia bekerja penuh waktu dari pukul 07.00 s/d 13.00 WIB
Sementara makanisme pemiihannya minimal harus melalui proses :

·         Bersedia mengikuti Proses seleksi calon Kepala Madrasah secara langsung, bebas dan rahasia melelui rapat Majli Guru

·         Harus mendapat restu dari Pimpinan Pesantren sebelum memasuki tahap pemilihan.

·         Minimal harus mengantongi dukungan 50%+1 suara yang diperebutkan
Sementara untuk masa jabatan dan peralihan kepala madrasah cukup mengikuti ketentuan bahwa

·         Kepala Madrasah dipilih untuk masa jabatan 4 tahun dan tidak dapat dipilh kembali untuk periode berikutnya

·         Kepala Madrasah bisa dibebas tugaskan jika melanggar peraturan pesantren dan Pelanggaran yang dimaksud adalah:

a)      Melakukan tindakan asusila baik di dalam maupun di luar lingkungan

b)      Melalaikan tugas sebagai kepala Madrasah

c)      Melakukan tindak penyelewengan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan

·         Apabila kepala madrasah berhalangan tetap sebelum masa jabatan berakhir, maka tugas dan jabatan diserahkan kepada pimpinan pesantren untuk ditetapkan penggantinya yang jelas Secara Umum Pimpinan Pondok Pesantren Peninggalan Gurutta ditetapkan oleh Pengurus Besar DDI (PB DDI) dan mempunyai Tugas dan tanggung jawab meliputi :

1.      Memimpin dan mengasuh para guru dan santri dan sekaligus penanggung jawab jalannya proses pendidikan di Pondok Pesantren

2.      Menetapkan jabatan pelaksana harian dalam strukur kepengerusan dipesantren

3.      Menetapkan pembagian tugas pokok dan fungsi masing-masing unsur dalam struktur kepengurusan Pondok Pesantren.

4.      Menerima pertanggung jawaban pengunaan Anggaran diPondok Pesantren

5.      Menetapkan status tenaga pendidik (ustadz/ustadzah)

6.      Menetapkan Panitia penerimaan santri baru

7.      Menetapkan panitia penyelenggara Ujian.

8.      Tegas dalam bertindak, tidak mudah diintervensi apalagi dikebiri kewenagannya.

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA