Generasi Muda DDI Rintis Pendidikan Bergaya Mekah-Kanada
MEMASUKI usia 60 tahun, sekelompok generasi muda Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) mencoba melakukan terobosan. Langkah berani yang sebelumnya dinilai tabu sejumlah ulama sepuh ini justru mendapat respon dari kalangan pengurus dan tenaga pendidik di lingkup DDI. Modernisasi metodologi pendidikan di sekolah-sekolah DDI dinilai tak bisa ditunda lagi.
Geliat modernisasi metodologi pendidikan di sekolah DDI itu di awali penelitian selama setahun oleh Lembaga Kajian Masyarakat dan Pesantren (LKMP). Lembaga ini meneliti 34 pesantren terbesar milik DDI di Makassar, Maros, Parepare, dan Wajo.
LKMP merekomendasikan perlunya DDI segera memodernisasi sistem pendidikannya jika tidak ingin tertelan masa dan lekang oleh zaman yang berubah. Hasil survei dan rekomendasi itu lalu disosialisasikan kepada para guru-guru utama sekolah DDI.
Acara yang dilaksanakan di ruang pola Akademi Manajemen Koperasi (Amkop), Toddopuli, Makassar, Juni 2006 ini sekaligus sosialisasi awal metodologi pendidikan moderen. "Semua sekolah DDI yang kami survei mengeluhkan soal metodologi. Kami lalu merancang bentuk sosialisasi dan pelatihan bagi mereka," ujar Direktur LKMP, Syamsul Patinjo, Kamis (26/4).
Sistem pendidikan di DDI mulai berjalan sejak Tahun 1936. Berupa gabungan sistem pendidikan mangngajit tudang (duduk melantai) dan pendidikan sekolah . Sistem ini dirintis Anre Gurutta Haji (AGH) Muhammad As`ad dan AGH Abdurrachma Ambo Dalle. Dua tokoh inilah yang memahat tradisi dan menyulam sajadah panjang sistem pendidikan DDI.
Sistem pendidikan tersebut dibawa AGH As`ad dari Mekah. Ulama ini membuka sekolah Madrasah Arabiah Islamiyah (MAI) di Sekang, Wajo, Tahun 1928. Sebelumnya, As`ad yang lahir dan besar di Mekah belajar di Masjidil Haram, Mekah. Sejumlah peneliti mengungkapkan, sistem pendidikan di Mekah itulah yang diterapkan As`ad di Sengkang.
Wakil Sekretaris Jenderal PB DDI, Azhar Arsyad, mengatakan, sistem pendidikan mangngajit tudang tidak sepenuhnya harus ditanggalkan di lingkup DDI. Sebab sistem inilah yang justru menjadi sumber berkah yang menghasilkan ulama-ulama besar. "Jadi yang perlu mengawinkan antara sistem pendidikan Mekah dengan Kanada," ujarnya.
Latih Guru DDI Demokratisasi dan HAM
BELAJAR di pesantren dikenal dengan disiplin yang tinggi. Pembina melakukan pengawasan melekat selama 24 jam. Sebab para santri (siswa-siswi) hidup sepondok dengan para pembina. Akibatnya, santri tidak bebas berkreasi dan kerap mengalami gangguan fisik dari santri yang lebih senior.
Ke depan, pendidikan di pesantren, khususnya di pesantren milik DDI berubah. Lembaga Kajian Masyarakat dan Pesantren (LKMP) dalam satu tahun terakhir getol melakukan sosialisasi dan pelatihan sistem pendidikan demokratisasi dan hak azasi manusia (HAM) bagi para tenaga pengajar di sekolah-sekolah DDI.
LKMP melibatkan tim pelatih dan fasilitator dari pakar metodologi pendidikan di Jakarta, alumni pelatihan di Canada, dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Islam Negeri (UIN), Jakarta.
Inti pelatihan itu, pengenalan sistem fortopolio, yakni pembelajaran aktif. Siswa siswa diajar membahasan, merumuskan, dan memecahkan masalah yang ada.
"Para guru DDI juga kami latih metode pendidikan berbasis demokratisasi dan hak azasi manusia," jelas Direktur LKMP, Syamsul Patinjo, Kamis (26/4).
Puncak dari upaya itu dilakukan LKMP, Senin (30/4), di Hotel Bumi Asih, Jl Jenderal Ratulangie, Makassar. Di depan guru dan pembina utama DDI, LKMP memaparkan hasil akhir dari program sosialsiasi sistem pendidikan moderen di sekolah milik DDI.
Acara tersebut dihadiri pimpinan Pusat Kurikulum Nasional (PKN), Ketua Umum Pengurus Besar (PB) DDI Prof Dr Abdul Muis Kabry, dan Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Azhar Arsyad.
LKMP ini lembaga yang bekerja sama dengan PB DDI dalam melakukan survei dan sosialisasi bagi sekolah DDI. Organisasi kemasyarakat (Ormas) Islam yang berpusat di Sulsel ini memiliki 1029 sekolah, delapan perguruan tinggi, 89 pesantren. Cabang DDI tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Termasuk di Mesir dan Johor, Malaysia.
profil DDI:
cikal-bakal: 21 Desember 1938
dideklarasikan: 5 Februari 1947 di Soppeng
pendiri utama: AGH Abd Rahman Ambo Dalle
pendiri:
-AGH Daud Ismail
-AGH M Abduh Pabbajah
-AGH Al Yafie
-AGM M Tahir Imam Lapeo
pengurus wilayah: delapan
pengurus daerah: 274
pengurus cabang: 392
pengurus ranting: 127
sekolah: 1029
perguruan tinggi: 18
pesantren: 89
tersebar di 20 provinsi di Indonesia
badan otonom:
Ummahat DDI (UMDI)
Fatayat DDI (Fadi(
Ikatan Pemuda DDI (IPDDI)
Ikatan Mahasiswa DDI (IMDI)
Ikatan Guru DDI (IGDI)
Ikatan Alumni DDI (IADI)
perintis dan pendiri
Nama: Muhammad As`ad bin Haji Abdur Rasyid Al Bugisy
Lahir: Mekah, 1907
Wafat: Sengkang, 29 Desember 1952
Pendidikan: belajar lewat pengajian-pengajian yang dilakukan di Masjidil Haram oleh para syekh dan ulama-ulama besar. Menghafap 30 juz Al Quran sejak berumur tujuh tahun.
Nama: Abdurrachmad Ambo Dalle
Lahir: Lahir, Sengkang 1900
Wafat: Makassar, 29 Nopember 1996
Pendidikan: Sekolah Rakyat, sekolah pendidikan guru Muhammadiyah, pengajian klasik di Pulau Salemo (Pangkep), MAI. Sering mengikuti kursus pendidikan dan menghadiri pengajian di Mekah. (as kambie)
** Sumber Bertita:TRIBUN TIMUR MAKASSAR RSS (Jumat, 27-04-2007).