Tuesday, October 21, 2008

Sejarah & Kesadaran Sejarah

Menakar Peran DDI ke Depan
Oleh: Albadar.or.id

Sejarah DDI (Darud Dakwah wal-Irsyad) sebagai organisasi dibentuk pada 1947 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan, oleh para ulama sunni, tepatnya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penganut faham Ahlussunah Wal-Jama’ah. Puluhan tahun sebelumnya, para ulama ini secara masing-masing telah memiliki pondok pesantren, atau semacamnya, yang berbasis di desa-desa.

Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI ketika itu. Pertama, negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke dalam satu wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk wadah sendiri berdasarkan aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam konteks inilah DDI menjadi tempat berhimpun para ulama untuk membumikan faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan bermula di Sulawesi Selatan, dengan arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang sebaliknya dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya.

Kedua, pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan federalis membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi Denpasar, dengan ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian mendapat resistensi dari golongan unitaris (biasa juga disebut aliran republiken), suatu golongan yang banyak dianut oleh para penguasa lokal (tepatnya para bangsawan) di luar Kota Makassar dan golongan terdidik di Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan resistan ini diwujudkan dalam dua bentuk gerakan;

a. Gerakan politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT.
b. Gerakan bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa.

Dalam konteks NIT, beberapa organisasi keagamaan berafiliasi ke partai politik, ada juga yang berafiliasi atau membentuk kelaskaran tersendiri. DDI yang berbasis di desa-desa tidak membentuk sayap kelaskaran atau sayap partai politik, bahkan karena kurang tertarik untuk berafiliasi ke partai politik tertentu. Mungkin dilatari oleh aktifitas kelaskaran yang banyak bergerak di desa-desa, di mana DDI berbasis, maka secara individu beberapa orang DDI bergabung ke wadah kelaskaran tertentu, bahkan ada di antara mereka yang menjadi tokoh penting dalam gerakan kelaskaran di desanya.

Dalam dua bentuk konteks sejarah lahirnya DDI sebagaimana dipaparkan secara ringkas di atas, dapat difahami sikap DDI dalam merespon kondisi eksternal kontemporer, suatu respon yang diberikan berdasarkan situasi jaman tertentu. DDI memberi respon secara kelembagaan jika faktor eksternal itu menyangkut aqidah, tetapi merespon secara individual jika kondisi eksternal berkait ke masalah profan-duniawi. DDI juga biasanya memberi respon secara kelembagaan terhadap kondisi eksternal sebagai maksud memperkuat eksistensi DDI dan meningkatkan upaya pembinaan umat, terutama jika negara (pemerintah) kurang menjangkau segmen-segmen tertentu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam konteks inilah dapat difahami upaya DDI mendirikan beberapa institusi sosial yang kurang ditangani oleh negara; seperti: rumah bersalin, apotik, percetakan, koperasi, dan sebagainya.

Pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan sekolah-sekolah umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-pondok pesantren. Ada dua konteks sejarah politik yang terpaut dengan DDI, khususnya terhadap tokoh utamanya atau K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Pertama, Pemilu 1955 yang dilakukan pada masa resim Soekarno. Pemilu ini memberi kesempatan kepada partai politik, baik yang bersifat nasional maupun lokal, untuk menjadi peserta Pemilu, bahkan Undang-Undang Pemilu memberi kesempatan kepada organisasi non politik dan calon perorangan untuk tampil sebagai kontestan Pemilu. Ketika itu K.H. Abdurrahman Ambo Dalle selaku pucuk pimpinan DDI tidak memilih bergabung ke salah satu partai politik nasional atau lokal, juga tidak ke salah satu organisasi non politik, lagi-lagi tidak menggunakan DDI sebagai kendaraan untuk berpatisipasi dalam Pemilu. Yang dilakukannnya adalah mendaftarkan diri sendiri dan kawan-kawannya sebagai salah satu kelompok peserta Pemilu. Waktu itu dikenal peserta Pemilu perorangan; seperti: Daeng Mile dkk, Andi Singke dkk, H. Ambo Dalle dkk, dan banyak lagi yang lainnya.

Pemilu 1971 sebagai Pemilu pertama Orde Baru K.H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak mencalonkan diri sebagai Caleg, tetapi jelas ketika itu beliau adalah aktifis PSII (Partai Serikat Islam Indonesia). Pasca Pemilu, tepatnya pada 1973, resim Soeharto memaksakan fusi partai ke dalam dua partai politik dan merestui (bahkan memaksakan) hanya satu organisasi non partai (Golongan Karya, disingkat Golkar) sebagai peserta Pemilu 1977. Walaupun ada resistensi terhadap fusi partai, tetapi tidak cukup signifikan karena jauh sebelumnya Soeharto telah menguasai semua instalasi politik dengan memaksakan kelompok militer menguasai BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dominan dalam kabinet, dan memimpin Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar (dibentuk pada 1962) pada semua level kepengurusan yang di dalamnya berhimpun semua elemen masyarakat: militer, KORPRI (Kors Pegawai Republik Indonesia), cendikiawan, ulama (tokoh agama), pengusaha, pemuda, wanita, dan budayawan.

Kondisi politik kontemporer yang demikian itu tidak direspon oleh pimpinan DDI (dalam hal ini K.H. Abdurrahman Ambo Dalle) secara kelembagaan, melainkan secara diri sendiri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan dukungan politik kepada Golkar pada Pemilu 1977. Dukungan pribadi ini senantiasa dilakukannya hingga beliau wafat pada 1996. Realitas Kekinian Salah satu realitas sejarah yang tidak mungkin dipungkiri adalah pucuk pimpinan DDI yang terpundak pada satu orang, K.H. Abdurrahman Ambo Dalle, sejak organisasi ini didirikan hingga beliau mangkat, suatu ciri organisasi tradisional. Kepemimpinan yang berlangsung sedemikian lama, selain menghambat regenerasi juga memungkinkan organisasi bergerak statis, bahkan biasanya, secara terorits, pengurusnya cenderung otoriter dan korup. Posisi teoritis yang dimaksud di atas mungkin kurang tepat dilengketkan pada diri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle, tetapi kepemimpinannya yang lama serta kapasitas diri beliau yang hampir paripurna dari berbagai sisi mendorong beberapa muridnya memberinya ‘baju mitos’ yang berlapis-lapis. Tebalnya lapisan baju mitos yang dikenakan pada diri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle sama jumlahnya dengan realitas mitos yang diyakni oleh murid-muridnya dari kelompok tertentu. Setelah beliau mangkat, maka mitos yang dipautkan pada dirinya direproduksi semakin banyak oleh murid-muridnya dari kalangan tertentu dan masyarakat berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Secara teoritik, ketidak-mampuan menginternalisasi realitas sosial yang dihadapi adalah persemaian yang paling subur dalam proses penciptaan mitos, dan mitos akan bernilai tinggi jika dipautkan pada benda mati atau orang yang telah wafat. Karena ia adalah benda mati atau orangnya telah wafat, maka ciptaan mitos di sekitarnya gampang ditarik ke segala arah (baca, kepentingan) yang diinginkan oleh penciptanya. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah sang tokoh dalam “mitologi DDI” telah mati semati-matinya secara fisik, tetapi ia senantiasa hidup sehidup-hidupnya dalam dunia mitos. Keanekaan mitos yang dipautkan dengan tokoh ini sama banyaknya dengan keragaman masalah yang dihadapi DDI dewasa ini, baik secara internal maupun secara eksternal.

Dengan Sejarah Membangun Masa Depan Presiden Soekarno pernah memberi judul salah satu pidatonya “JASMERAH” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Soekarno tentu tidak bermaksud mengulangi peristiwa-peristiwa sejarah sebagaimana adanya yang pernah terjadi. Bagi Soekarno, sejarah adalah sumur inspirasi yang tidak pernah kering dalam bergelut dengan realitas kekinian. Perlu segera dicatat, sejarah adalah faktual pernah terjadi, berbeda dengan mitos yang hanya dirasakan (bahkan kadang direkayasa) pernah terjadi, tetapi tidak bisa dibuktikan atas kejadian faktualnya. Kini, era reformasi dan segala inflikasinya telah menjadi realitas di sekitar kita.

Lalu, adakah inspirasi historikal DDI yang dapat dijadikan resep dalam menghadapi realitas reformasi pada masa kini? Jawaban singkatnya, tentu ada. Jawaban panjangnya tentu harus ditemukan dalam setiap momen historis yang menyertai perjalanan sejarah DDI. Ranah Politik. DDI dalam menggeluti dunia sejarahnya tidak pernah berafilisi dengan salah satu partai politik secara kelembagaan. Kalau harus berpartisipasi aktif dalam momen politik tertentu, misalnya Pemilu, maka orang-orang DDI (utamanya pucuk pimpinan) cenderung melakukannya secara individu. Mungkin dengan pilihan strategi politik seperti inilah yang membuat DDI senantiasa dipandang sebagai “gadis cantik” yang selalu menggiurkan baik oleh pemerintah maupun kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat, tidak terkecuali oleh Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya. Praktek politik dengan bertumpu pada kapasitas individu cukup memperkaya orang-orang DDI untuk bekerja dengan cara-cara politik demi kepentingan DDI, dengan tanpa mengakomodasi elemen politik secara kelembagaan ke dalam institusi DDI. Entah disengaja atau tidak, kencederungan ini masih berlangsung sampai sekarang, dan mungkin masih dapat menjadi pilihan strategis pada masa-masa datang. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa kini ada kelompok politik tertentu (tepatnya politisi tertentu) yang mencoba mempautkan diri atau kelompoknya secara kelembagaan ke DDI.

Mungkin ini adalah strategi yang tidak terlalu salah, tetapi sayangnya dalam kelompok ini terdapat beberapa kepentingan politik yang tidak selalu sealiran di antara anggota kelompok itu sendiri. Ranah Pendidikan. Secara kuantitas lembaga-lembaga pendidikan DDI yang kini terdapat di 17 propinsi secara obyektif dibentuk, didirikan, dan didanai atas swadaya masyarkat dan biasanya juga difasilitasi oleh pemeintah setempat. Peran DDI adalah menjaga dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan DDI dengan berbagai cara: penyesuaian kurikulum, sirkulasi tenaga pengajar ke berbagai daerah, studi lanjut bagi siswa ke Timur Tengah, mendatangkan tenaga pengajar dari luar negeri, dan lain-lain cara. Harus difahami bahwa sumbangsih negara (pemerintah) dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan DDI dilakukan oleh negara bersamaan ketika pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan pendidikan secara mandiri, utamanya di desa-desa.

Kini di era reformasi negara mulai serius dengan menyediakan anggaran 20 persen dalam bidang pelayanan pendidikan, utamanya pendidikan dasar. Hal ini dibarengi pula dengan restu pemerintah terhadap masuknya modal asing di bidang pendidikan. Dalam kaitan dengan basis pendidikan ini , kendala lainnya yang ingin dikemukakan di sini adalah suksesnya rezim orde baru menekan laju pertumbuhan penduduk bersamaan dengan “dipaksakannya” penerapan kebijakan KB (Keluarga Berencana) diawal tahun 1980-an sampai jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Dampaknya di bidang pendidikan adalah sejumlah sekolah (utamanya tingkat dasar) mengalami kekurangan murid, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh badan swasta.

Realitas dunia pendidikan sebagaimana dimaksud di atasi perlu dicermati oleh DDI jika ingin tetap eksis dalam pelayanan pendidikan formal. Beberapa strategi yang ingin dicantumkan di sini; diantaranya: bermitra dengan pemodal dalam dan luar negeri, mendirikan perguruan tinggi umum di daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya, mempertinggi mutu pengajaran bahasa Arab, Inggris, Jepang, dan Mandarin, di setiap madrasah atau pondok pesantren, mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi calon dai. Tentu banyak lagi yang dapat dilakukan oleh DDI, catatan pentingnya adalah pada segmen mana negara belum menjangkaunya, ke situlah DDI harus berkiprah. Ranah Peran Sosial. Sebaiknya DDI cermat memilih dan menentukan peran sosial yang ingin dilakoninya. Pada satu sisi cukup besar peluang DDI untuk berperan di bidang sosial, karena sekarang di era reformasi negara tidak cukup anggaran untuk menyediakan dan melaksanakan sendiri semua peran, sehingga yang dilakukan oleh negara adalah memfokuskan diri pada peran tertentu yang diwajibkan oleh konstitusi.

Pada sisi lain, dengan berkurangnya peran negara, banyak peran sosial yang kini ditekuni secara sungguh-sungguh oleh organisasi-organisi non pemeintah, utamanya LSM. Tidak dapat disangkal bahwa banyak LSM yang lebih profesional dalam menangani bidang-bidang sosial kemasyarakatan dibanding organisasi kemasyarakatan lainnya yang mungkin usianya jauh lebih tua. Masih luas peluang bagi DDI untuk berperan aktif di bidang sosial. Fakta membuktikan bahwa perhatian LSM selalu fokus pada masalah tertentu, tetapi sering bersifat instan. Karenanya, terbuka peluang bagi DDI untuk bermitra dengan LSM, bagaimana bentuknya kerjasama itu?, sehingga agenda-agenda LSM dapat disinergikan dengan program-program DDI.

Selain itu, perlu kecermatan untuk melihat peran sosial yang kurang mendapat perhatian dari negara dan belum dijangkau oleh LSM. Mungkin juga DDI dapat menciptakan beberapa sayap, baik secara permanen maupun secara temporer, untuk merumuskan dan menangani secara serius peran-peran sosial tertentu. Dalam kaitan dengan saya-sayap ini, tidak terlalu salah untuk melakukan kerjasama dengan lembaga lainnya, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Ranah Tokoh.

Salah satu statemen masyarakat luas tentang sejarah ketokohan di DDI adalah sentralisasi figur pada orang tertentu, tepatnya pucuk pimpinannya saja. Statemen ini tidak terlalu salah, walaupun mungkin kurang obyektif. Ketika K.H. Abdurrahman Ambo Dalle masih hidup, selalu pucuk pimpinan DDI, terdapat beberapa orang DDI yang menjadi tokoh dan ditokohkan karena peran mereka pada bidang yang mereka masing-masing tekuni. Hanya saja, kebanyakan orang DDI yang ditokohkan oleh masyarakat ketika itu tidak serta-merta melengketkan simbol-simbol DDI pada dirinya. Ini adalah satu doktorin DDI kepada setiap kadernya untuk tidak mengikutkan simbol-simbol DDI jika mereka berperan di luar kelembagaan DDI, karena hanya dengan doktrin inilah yang memungkinkan DDI sejak dulu sampai sekarang dapat terlepas dari kemungkinan praktek KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme).

Salah satu hal yang kurang difikirkan pada masa kepemiminan K.H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah penciptaan kader yang dapat menjadi tokoh dan ditokohkan dengan ‘satu badan seribu wajah’, sebagaimana yang terdapat pada diri beliau yang kini menjadi mitos dalam beribu wujud. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle ke mana-mana hanya berbadan satu, tidak ada selain DDI, untuk DDI, dan hanya DDI, tetapi wajahnya dibentuk (ditokohkan) oleh berbagai kalangan. Setelah K.H. Abdurrahman Ambo Dalle meninggal yang ikut terkuburkan ternyata bukan hanya jasad beliau, tetapi badan yang satu, DDI, nyaris pula dikafani oleh orang-orang tertentu atau kelompok tertentu yang hanya mengenal beliau dari satu sisi wajah sejarah, tetapi mewujudkannya dalam beribu wajah mitos berdasarkan kepentingan politiknya.

Di era reformasi sekarang harus ada upaya sistimatis untuk tetap menghidupkan dan memakmurkan badan yang satu itu, DDI, dengan menciptakan kader sebanyak mungkin yang nantinya dapat menjadi tokoh dan ditokohkan oleh masyarakat. Mungkin wajah (ketokohan) mereka sangat spesifik, tetapi itu cukup penting selama wajah yang spesifik itu terdapat nur DDI. Kiranya PB (Pengurus Besar) DDI telah lama memfasiltiasi wadah pengkaderan dengan mendirikan IP (Ikatan Pemuda) DDI, IMDI (Ikatan Mahasiswa DDI) dan FADI (Fatayat DDI). Karenanya, ketiga institusi ini sangat diharapkan untuk secara serius dan sistimatis dalam melakukan pengkaderan, sehingga pada setiap kesempatan kader-kader DDI dapat tampil prima pada semua line, dan pada waktunya kader-kader itu dapat tampil sebagai tokoh yang cukup menentukan jalannya sejarah dalam bidang ketokohannya.

Secara internal DDI telah mengatur dalam anggaran dasarnya tentang proses regeranasi dalam kepemimpinan DDI. Suatu kecelakaan sejarah jika pengurus IP DDI, IMDI dan FADI tidak melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap proses regenerasi kepemimpinan DDI. Dimaksudkan kecelakaan sejarah, karena organisasi tradsional sekalipun selalu memiliki elemen yang terencana tentang proses regenerasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempersiapkan calon penggantinya. Salah seorang tokoh dalam pewayangan Jawa memilih cara ‘dibunuh’ oleh orang lain yang telah lama dikader dan dipersiapkannya untuk mengganti kempimpinannya, karena putera mahkota yang memenuhi syarat menurut aturan adat tidak memiliki ketrampilan dan kecerdasan yang justru sangat dibutuhkan dalam mengukir sejarah dinasti itu.


Dikutip dari: http://albadar.or.id

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA