Saturday, October 25, 2008

Prof KH Ali Yafie (1926 - Sekarang)


Ulama Ahli Fiqh

Prof KH Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), seorang ulama ahli Fiqh (hukum Islam). Dia ulama yang berpenampilan lembut, ramah dan bijak. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulsel, ini juga terbilang tegas dan konsisten dalam memegang hukum-hukum Islam.

Selain aktif di MUI, ulama kelahiran Desa Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926, ini juga menjabat sebagai Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Dewan Penasehat The Habibie Centre.

Dia sudah menekuni dunia pendidikan sejak usia 23 tahun hingga hari tuanya. Diatas usia 70 tahun pun ulama yang hobi sepak bola, itu masih aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, antara lain di Universitas Asyafi’iyah, Institut Ilmu Al-Qur’an, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ali berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Sejak kecil dia sudah berkecimpung di dunia pesantren. Ayahnya Mohammad Yafie, seorang pendidik, sudah mendidiknya soal keagamaan dengan memasukkannya ke pesantren.

Sang ayah mendorongnya menuntut berbagai ilmu pengetahauan, terutama ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya dari para ulama, termasuk ulama besar Syekh Muhammad Firdaus, yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia.

Didikan orang tuanya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tertanam terus sejak kecil hingga kemudian dieruskan dalam mendidik putra-putranya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad.

Mantan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauiddin, Makassar (1966-1972), ini mendirikan pesantren itu tahun 1947. Sudah banyak mantan santrinya yang kini telah menjadi orang. Di antaranya Mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, Mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, dan salah satu Ketua MUI Umar Shihab.

Dia seorang ulama Nahdlatul Ulama, yang produktif menulis buku. Dia telah menulis beberapa judul buku. Dia ulama yang berpola pikir modern dan tidak tradisional, seperti sebagian pemimpin pondok pesantren.

Kiai Ali (panggilan akrabnya), selalu mengedepankan Ukuwah Islamiyah di kalangan umat Islam Indonesia, dan tidak membeda-bedakan dari golongan Islam mana. Kearifan ini membuatnya diterima oleh semua pihak, baik dari kalangan Muhammaddiyah maupun kalangan Nahdatul Ulama, dan lain-lain

Salah satu tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini sudah menikah sejak usia 19 tahun. Saat itu, isterinya Hj Aisyah, masih berusia 16 tahun. Kendati menikah muda, mereka mengarungi bahtera mahligai rumah tangga dengan bahagia. Keluarga ini dikaruniai empat anak, yakni Saiful, Hilmy, Azmy dan Badru.

Selain pernah aktif sebagai Ketua Dewan Penasehat ICMI, Ketua Yayasan Pengurus Perguruan Tinggi As-Syafiyah (YAPTA), Ketua Umum Majelis Ulama (MUI), Ketua Dewan Penasehat MUI, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), Anggota Dewan Riset Nasional (BDN) dan Guru Besar UIA-IIQ-IAIN, dia juga pernah menjabat sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama Makasar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama.

Mantan Dekan Fakultas Usuluddin IAIN Ujung Pandang, ini juga menjadi Anggota DPR/MPR (1971--1987), Anggota Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, Anggota Komite Ahli Perbankan Syariah Bank Indonesia dan Ketua Dewan Syariah Nasional MUI.

Atas berbagai pengabdiannya, Kiai Ali, telah menerima Tanda Jasa/Penghargaan Bintang Maha Putra dan Bintang Satya Lencana Pembangunan dari pemerintah RI.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Friday, October 24, 2008

AGH Daud Ismail (1907 - 2006)


AGH Daud Ismail, sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan Lembaga Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907, buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Alquran sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.

Pada tahun 1942 istri pertamanya, yang selalu setia mendampingi perjuangan beliau berpulang kerahmatullah di Sengkang. Dari istri pertama beliau ini dikarunia tiga orang anak, yaitu Drs H. Ahmad Daud. Sayang umur anak pertamanya ini tidak berumur sepanjang beliau. Dalam umur menjelang 50 tahun, H Ahmad Daud berpulang kerahmatullah. Semasa hidupnya, Ahmad Daud sempat menjadi Dosen IKIP Ujung Pandang, kini Universitas Negeri Makassar. Anak kedua beliau bernama H Basri. Kepada H Basri Gurutta Daud Ismail menyerahkan pimpinan Pondok Pesantren YASRIB. Namun, lagi-lagi beliau harus kehilangan calon pengganti. H Basri ternyata mendahului sang ayah menghadap Khalik. Salah seorang lagi anak Gurutta dari istri pertamanya juga kini sudah meninggal dunia.

Istri kedua Gurutta Daud Ismail bernama Hj. Farida. Dari perkawinannya dengan Hj Farida dikaruniai tiga orang anak. H. Syamsul Huda, Nurul Inayah, sekarang Pegawai Pengadilan Agama di Watang soppeng, dan Rusydi, yang sekarang jadi staf Pegawai BNI di Jakarta.

Gurutta Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al quran pada orang tua kandungnya. “Nappaka lao mangngaji pasantren,” (Kemudian saya melanjutkan di pendidikan pesantren) di sejumlah ulama di Sengkang. Kebetulan waktu itu, menurut beliau sudah ada ulama-ulama besar. Antara tahun 1925 – 1929 beliau juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Gurutta Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula beliau belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.

Setelah Anre Gurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anre Gurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anre Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle. “Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anre Gurutta Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail.

Selama belajar di Sengkang beliau merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arodi, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh beliau karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang beliau dapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan beliau, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.

Salah satu kesan mendalam Gurutta Daud Ismail kepada Anre Gurutta As`ad, ketika beliau mengajarkan ilmu Arudhi. Arudhi ini beliau ajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan terkadang sampai jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan satu malam ilmu Arudhi. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab untuk dipelajari sendiri.

Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anre Gurutta As`ad dalam mendidik santri-santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudhi, gurutta As’ad hanya memilih sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudhi termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren. Dan menurut Gurutta Daud Ismail, metode itu jugalah yang diterapkan Anre Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle dalam menyusun beberapa kitab.

Setelah belajar langsung kepada Anre Gurutta As`ad, di Sengkang beliau kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada gurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah.

Setelah membentuk tim pengajar, Anre Gurutta As`ad, menurut penuturan Gurutta Daud Ismail, tidak lagi langsung berhadapan dengan satri baru. Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain.
Gurutta Daud Ismail, temasuk santri yang paling disayangi oleh Anre Gurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Beliau tidak diizinkan meninggalkan pesantren. Hingga memasuki masa sulit di mana beliau harus meninggalkan Sengkang.

Pada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuat beliau terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat yang beliau hadapi waktu itu adalah berpulangnya kerahmatullah istri beliau, yang pertama. Namun, sayang karena usianya sehingga beliau sendiri sudah lupa siapa nama istri pertamanya itu. Dengan berat hati gurutta As’ad terpaksa harus merelakan kepulangan beliau.

Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA).

Pada tahun 1944 datang panggilan Datu Pattojo untuk memberikan pendidikan di tempatnya. Sekitar tahun 1945 beliau diangkat menjadi Qadhi Soppeng menggantikan Sayyed Masse (selama 6 tahun) hingga terbentuknya Departemen Agama Kab. Bone pada tahun 1951 yang membawahi wilayah Soppeng. Lalu kemudian diangkat kepenghuluan yang bertempat di Watampone.

Karena wasiat dari gurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismai harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, pada tahun 1953 beliau kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI dan pada masa beliaulah MAI diintegrasikan menjadi Al-Madrasatul As’adiyah (MA) untuk mengenang jasa-jasa Anre Gurutta As’ad.

Namun. Gurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MA Sengkang, selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan beliau.

Di soppeng, K.H. Daud Ismail pernah mendirikan Madrasah Muallimin. Dan pada tahun 1967 diangkat kembali menjadi Qadhi dan membentuk Yayasan Perguruan Islam BOW. Beliau juga pernah membentuk organisasi Badan Amal. Dan hingga sekarang beliau tetap membina Ponpes Yasrib.

Adapun karya tangan yang pernah beliau tulis, antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae dan Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis. Yang terakhir ini merupakan karya terbesar beliau.
Gurutta Haji Daud Ismail meninggal dunia, Senin malam (21/8) pukul 20:00 Wita di rumah sakit Hikmah Makassar dalam usia 99 tahun, setelah menjalani perawatan selama tiga pekan akibat usia lanjut.

Thursday, October 23, 2008

AGH. Muhammad As'ad (1906 - 1952)


Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.

Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.

Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala.

Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M. Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.

Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah:
1. Tahdiriyah, 3 tahun
2. Ibtidaiyah, 4 tahun
3. Tsanawiyah, 3 tahun
4. I’dadiyah, 1 tahun
5. Aliyah, 3 tahun

Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone. Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Pengajian khalaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang.
Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.

Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang.
Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang. Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah.

AG H. M. As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun. Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.

Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad.

** Sumber Tulisan: http://www.asadiyahsengkang.or.id/index.php

Wednesday, October 22, 2008

AGH Muhammad Yunus Martan (1906 – 1986)

AGH Muhammad Yunus Martan (1906 – 1986), adalah pimpinan ke-2 Pesantren As’adiyah, sebagai salah satu pesantren terbesar di Indonesia bagian timur. Didirikan oleh KH. Muhammad As’ad pada 1928. Pesantren As’adiyah adalah pelopor gerakan Islam tradisionalis moderat di Sulawesi Selatan.

Gurutta Yunus Martan juga merupakan pendiri Radio Siaran As’adiyah (RSA), dengan tujuan menyebarkan gagasan ke Islaman yang menghargai dinamika masyarakat Sulawesi Selatan yang sangat plural, RSA yang berada pada frekuensi 86.4 AM ini didirikan pada 1967.

Gurutta Yunus Martan dinilai tokoh yang paling sukses memimpin Pesantren As’adiyah. Selain berkembangnya cabang-cabang Pesantren
As’adiyah, pendirian radio adalah ide cemerlang yang belum terpikirkan oleh siapapun. Karena itu dulu orang menyebut Gurutta Yunus Martan sebagai kyai yang lahir sebelum zamannya. “Artinya ketika orang lain belum memikirkan radio sebagai media dakwah, beliau sudah memikirkannya.

Gurutta meninggal dunia pada tahun 1986.

Tuesday, October 21, 2008

Sejarah & Kesadaran Sejarah

Menakar Peran DDI ke Depan
Oleh: Albadar.or.id

Sejarah DDI (Darud Dakwah wal-Irsyad) sebagai organisasi dibentuk pada 1947 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan, oleh para ulama sunni, tepatnya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penganut faham Ahlussunah Wal-Jama’ah. Puluhan tahun sebelumnya, para ulama ini secara masing-masing telah memiliki pondok pesantren, atau semacamnya, yang berbasis di desa-desa.

Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI ketika itu. Pertama, negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke dalam satu wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk wadah sendiri berdasarkan aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam konteks inilah DDI menjadi tempat berhimpun para ulama untuk membumikan faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan bermula di Sulawesi Selatan, dengan arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang sebaliknya dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya.

Kedua, pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan federalis membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi Denpasar, dengan ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian mendapat resistensi dari golongan unitaris (biasa juga disebut aliran republiken), suatu golongan yang banyak dianut oleh para penguasa lokal (tepatnya para bangsawan) di luar Kota Makassar dan golongan terdidik di Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan resistan ini diwujudkan dalam dua bentuk gerakan;

a. Gerakan politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT.
b. Gerakan bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa.

Dalam konteks NIT, beberapa organisasi keagamaan berafiliasi ke partai politik, ada juga yang berafiliasi atau membentuk kelaskaran tersendiri. DDI yang berbasis di desa-desa tidak membentuk sayap kelaskaran atau sayap partai politik, bahkan karena kurang tertarik untuk berafiliasi ke partai politik tertentu. Mungkin dilatari oleh aktifitas kelaskaran yang banyak bergerak di desa-desa, di mana DDI berbasis, maka secara individu beberapa orang DDI bergabung ke wadah kelaskaran tertentu, bahkan ada di antara mereka yang menjadi tokoh penting dalam gerakan kelaskaran di desanya.

Dalam dua bentuk konteks sejarah lahirnya DDI sebagaimana dipaparkan secara ringkas di atas, dapat difahami sikap DDI dalam merespon kondisi eksternal kontemporer, suatu respon yang diberikan berdasarkan situasi jaman tertentu. DDI memberi respon secara kelembagaan jika faktor eksternal itu menyangkut aqidah, tetapi merespon secara individual jika kondisi eksternal berkait ke masalah profan-duniawi. DDI juga biasanya memberi respon secara kelembagaan terhadap kondisi eksternal sebagai maksud memperkuat eksistensi DDI dan meningkatkan upaya pembinaan umat, terutama jika negara (pemerintah) kurang menjangkau segmen-segmen tertentu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam konteks inilah dapat difahami upaya DDI mendirikan beberapa institusi sosial yang kurang ditangani oleh negara; seperti: rumah bersalin, apotik, percetakan, koperasi, dan sebagainya.

Pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan sekolah-sekolah umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-pondok pesantren. Ada dua konteks sejarah politik yang terpaut dengan DDI, khususnya terhadap tokoh utamanya atau K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Pertama, Pemilu 1955 yang dilakukan pada masa resim Soekarno. Pemilu ini memberi kesempatan kepada partai politik, baik yang bersifat nasional maupun lokal, untuk menjadi peserta Pemilu, bahkan Undang-Undang Pemilu memberi kesempatan kepada organisasi non politik dan calon perorangan untuk tampil sebagai kontestan Pemilu. Ketika itu K.H. Abdurrahman Ambo Dalle selaku pucuk pimpinan DDI tidak memilih bergabung ke salah satu partai politik nasional atau lokal, juga tidak ke salah satu organisasi non politik, lagi-lagi tidak menggunakan DDI sebagai kendaraan untuk berpatisipasi dalam Pemilu. Yang dilakukannnya adalah mendaftarkan diri sendiri dan kawan-kawannya sebagai salah satu kelompok peserta Pemilu. Waktu itu dikenal peserta Pemilu perorangan; seperti: Daeng Mile dkk, Andi Singke dkk, H. Ambo Dalle dkk, dan banyak lagi yang lainnya.

Pemilu 1971 sebagai Pemilu pertama Orde Baru K.H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak mencalonkan diri sebagai Caleg, tetapi jelas ketika itu beliau adalah aktifis PSII (Partai Serikat Islam Indonesia). Pasca Pemilu, tepatnya pada 1973, resim Soeharto memaksakan fusi partai ke dalam dua partai politik dan merestui (bahkan memaksakan) hanya satu organisasi non partai (Golongan Karya, disingkat Golkar) sebagai peserta Pemilu 1977. Walaupun ada resistensi terhadap fusi partai, tetapi tidak cukup signifikan karena jauh sebelumnya Soeharto telah menguasai semua instalasi politik dengan memaksakan kelompok militer menguasai BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dominan dalam kabinet, dan memimpin Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar (dibentuk pada 1962) pada semua level kepengurusan yang di dalamnya berhimpun semua elemen masyarakat: militer, KORPRI (Kors Pegawai Republik Indonesia), cendikiawan, ulama (tokoh agama), pengusaha, pemuda, wanita, dan budayawan.

Kondisi politik kontemporer yang demikian itu tidak direspon oleh pimpinan DDI (dalam hal ini K.H. Abdurrahman Ambo Dalle) secara kelembagaan, melainkan secara diri sendiri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan dukungan politik kepada Golkar pada Pemilu 1977. Dukungan pribadi ini senantiasa dilakukannya hingga beliau wafat pada 1996. Realitas Kekinian Salah satu realitas sejarah yang tidak mungkin dipungkiri adalah pucuk pimpinan DDI yang terpundak pada satu orang, K.H. Abdurrahman Ambo Dalle, sejak organisasi ini didirikan hingga beliau mangkat, suatu ciri organisasi tradisional. Kepemimpinan yang berlangsung sedemikian lama, selain menghambat regenerasi juga memungkinkan organisasi bergerak statis, bahkan biasanya, secara terorits, pengurusnya cenderung otoriter dan korup. Posisi teoritis yang dimaksud di atas mungkin kurang tepat dilengketkan pada diri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle, tetapi kepemimpinannya yang lama serta kapasitas diri beliau yang hampir paripurna dari berbagai sisi mendorong beberapa muridnya memberinya ‘baju mitos’ yang berlapis-lapis. Tebalnya lapisan baju mitos yang dikenakan pada diri K.H. Abdurrahman Ambo Dalle sama jumlahnya dengan realitas mitos yang diyakni oleh murid-muridnya dari kelompok tertentu. Setelah beliau mangkat, maka mitos yang dipautkan pada dirinya direproduksi semakin banyak oleh murid-muridnya dari kalangan tertentu dan masyarakat berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Secara teoritik, ketidak-mampuan menginternalisasi realitas sosial yang dihadapi adalah persemaian yang paling subur dalam proses penciptaan mitos, dan mitos akan bernilai tinggi jika dipautkan pada benda mati atau orang yang telah wafat. Karena ia adalah benda mati atau orangnya telah wafat, maka ciptaan mitos di sekitarnya gampang ditarik ke segala arah (baca, kepentingan) yang diinginkan oleh penciptanya. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah sang tokoh dalam “mitologi DDI” telah mati semati-matinya secara fisik, tetapi ia senantiasa hidup sehidup-hidupnya dalam dunia mitos. Keanekaan mitos yang dipautkan dengan tokoh ini sama banyaknya dengan keragaman masalah yang dihadapi DDI dewasa ini, baik secara internal maupun secara eksternal.

Dengan Sejarah Membangun Masa Depan Presiden Soekarno pernah memberi judul salah satu pidatonya “JASMERAH” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Soekarno tentu tidak bermaksud mengulangi peristiwa-peristiwa sejarah sebagaimana adanya yang pernah terjadi. Bagi Soekarno, sejarah adalah sumur inspirasi yang tidak pernah kering dalam bergelut dengan realitas kekinian. Perlu segera dicatat, sejarah adalah faktual pernah terjadi, berbeda dengan mitos yang hanya dirasakan (bahkan kadang direkayasa) pernah terjadi, tetapi tidak bisa dibuktikan atas kejadian faktualnya. Kini, era reformasi dan segala inflikasinya telah menjadi realitas di sekitar kita.

Lalu, adakah inspirasi historikal DDI yang dapat dijadikan resep dalam menghadapi realitas reformasi pada masa kini? Jawaban singkatnya, tentu ada. Jawaban panjangnya tentu harus ditemukan dalam setiap momen historis yang menyertai perjalanan sejarah DDI. Ranah Politik. DDI dalam menggeluti dunia sejarahnya tidak pernah berafilisi dengan salah satu partai politik secara kelembagaan. Kalau harus berpartisipasi aktif dalam momen politik tertentu, misalnya Pemilu, maka orang-orang DDI (utamanya pucuk pimpinan) cenderung melakukannya secara individu. Mungkin dengan pilihan strategi politik seperti inilah yang membuat DDI senantiasa dipandang sebagai “gadis cantik” yang selalu menggiurkan baik oleh pemerintah maupun kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat, tidak terkecuali oleh Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya. Praktek politik dengan bertumpu pada kapasitas individu cukup memperkaya orang-orang DDI untuk bekerja dengan cara-cara politik demi kepentingan DDI, dengan tanpa mengakomodasi elemen politik secara kelembagaan ke dalam institusi DDI. Entah disengaja atau tidak, kencederungan ini masih berlangsung sampai sekarang, dan mungkin masih dapat menjadi pilihan strategis pada masa-masa datang. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa kini ada kelompok politik tertentu (tepatnya politisi tertentu) yang mencoba mempautkan diri atau kelompoknya secara kelembagaan ke DDI.

Mungkin ini adalah strategi yang tidak terlalu salah, tetapi sayangnya dalam kelompok ini terdapat beberapa kepentingan politik yang tidak selalu sealiran di antara anggota kelompok itu sendiri. Ranah Pendidikan. Secara kuantitas lembaga-lembaga pendidikan DDI yang kini terdapat di 17 propinsi secara obyektif dibentuk, didirikan, dan didanai atas swadaya masyarkat dan biasanya juga difasilitasi oleh pemeintah setempat. Peran DDI adalah menjaga dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan DDI dengan berbagai cara: penyesuaian kurikulum, sirkulasi tenaga pengajar ke berbagai daerah, studi lanjut bagi siswa ke Timur Tengah, mendatangkan tenaga pengajar dari luar negeri, dan lain-lain cara. Harus difahami bahwa sumbangsih negara (pemerintah) dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan DDI dilakukan oleh negara bersamaan ketika pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan pendidikan secara mandiri, utamanya di desa-desa.

Kini di era reformasi negara mulai serius dengan menyediakan anggaran 20 persen dalam bidang pelayanan pendidikan, utamanya pendidikan dasar. Hal ini dibarengi pula dengan restu pemerintah terhadap masuknya modal asing di bidang pendidikan. Dalam kaitan dengan basis pendidikan ini , kendala lainnya yang ingin dikemukakan di sini adalah suksesnya rezim orde baru menekan laju pertumbuhan penduduk bersamaan dengan “dipaksakannya” penerapan kebijakan KB (Keluarga Berencana) diawal tahun 1980-an sampai jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Dampaknya di bidang pendidikan adalah sejumlah sekolah (utamanya tingkat dasar) mengalami kekurangan murid, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh badan swasta.

Realitas dunia pendidikan sebagaimana dimaksud di atasi perlu dicermati oleh DDI jika ingin tetap eksis dalam pelayanan pendidikan formal. Beberapa strategi yang ingin dicantumkan di sini; diantaranya: bermitra dengan pemodal dalam dan luar negeri, mendirikan perguruan tinggi umum di daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya, mempertinggi mutu pengajaran bahasa Arab, Inggris, Jepang, dan Mandarin, di setiap madrasah atau pondok pesantren, mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi calon dai. Tentu banyak lagi yang dapat dilakukan oleh DDI, catatan pentingnya adalah pada segmen mana negara belum menjangkaunya, ke situlah DDI harus berkiprah. Ranah Peran Sosial. Sebaiknya DDI cermat memilih dan menentukan peran sosial yang ingin dilakoninya. Pada satu sisi cukup besar peluang DDI untuk berperan di bidang sosial, karena sekarang di era reformasi negara tidak cukup anggaran untuk menyediakan dan melaksanakan sendiri semua peran, sehingga yang dilakukan oleh negara adalah memfokuskan diri pada peran tertentu yang diwajibkan oleh konstitusi.

Pada sisi lain, dengan berkurangnya peran negara, banyak peran sosial yang kini ditekuni secara sungguh-sungguh oleh organisasi-organisi non pemeintah, utamanya LSM. Tidak dapat disangkal bahwa banyak LSM yang lebih profesional dalam menangani bidang-bidang sosial kemasyarakatan dibanding organisasi kemasyarakatan lainnya yang mungkin usianya jauh lebih tua. Masih luas peluang bagi DDI untuk berperan aktif di bidang sosial. Fakta membuktikan bahwa perhatian LSM selalu fokus pada masalah tertentu, tetapi sering bersifat instan. Karenanya, terbuka peluang bagi DDI untuk bermitra dengan LSM, bagaimana bentuknya kerjasama itu?, sehingga agenda-agenda LSM dapat disinergikan dengan program-program DDI.

Selain itu, perlu kecermatan untuk melihat peran sosial yang kurang mendapat perhatian dari negara dan belum dijangkau oleh LSM. Mungkin juga DDI dapat menciptakan beberapa sayap, baik secara permanen maupun secara temporer, untuk merumuskan dan menangani secara serius peran-peran sosial tertentu. Dalam kaitan dengan saya-sayap ini, tidak terlalu salah untuk melakukan kerjasama dengan lembaga lainnya, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Ranah Tokoh.

Salah satu statemen masyarakat luas tentang sejarah ketokohan di DDI adalah sentralisasi figur pada orang tertentu, tepatnya pucuk pimpinannya saja. Statemen ini tidak terlalu salah, walaupun mungkin kurang obyektif. Ketika K.H. Abdurrahman Ambo Dalle masih hidup, selalu pucuk pimpinan DDI, terdapat beberapa orang DDI yang menjadi tokoh dan ditokohkan karena peran mereka pada bidang yang mereka masing-masing tekuni. Hanya saja, kebanyakan orang DDI yang ditokohkan oleh masyarakat ketika itu tidak serta-merta melengketkan simbol-simbol DDI pada dirinya. Ini adalah satu doktorin DDI kepada setiap kadernya untuk tidak mengikutkan simbol-simbol DDI jika mereka berperan di luar kelembagaan DDI, karena hanya dengan doktrin inilah yang memungkinkan DDI sejak dulu sampai sekarang dapat terlepas dari kemungkinan praktek KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme).

Salah satu hal yang kurang difikirkan pada masa kepemiminan K.H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah penciptaan kader yang dapat menjadi tokoh dan ditokohkan dengan ‘satu badan seribu wajah’, sebagaimana yang terdapat pada diri beliau yang kini menjadi mitos dalam beribu wujud. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle ke mana-mana hanya berbadan satu, tidak ada selain DDI, untuk DDI, dan hanya DDI, tetapi wajahnya dibentuk (ditokohkan) oleh berbagai kalangan. Setelah K.H. Abdurrahman Ambo Dalle meninggal yang ikut terkuburkan ternyata bukan hanya jasad beliau, tetapi badan yang satu, DDI, nyaris pula dikafani oleh orang-orang tertentu atau kelompok tertentu yang hanya mengenal beliau dari satu sisi wajah sejarah, tetapi mewujudkannya dalam beribu wajah mitos berdasarkan kepentingan politiknya.

Di era reformasi sekarang harus ada upaya sistimatis untuk tetap menghidupkan dan memakmurkan badan yang satu itu, DDI, dengan menciptakan kader sebanyak mungkin yang nantinya dapat menjadi tokoh dan ditokohkan oleh masyarakat. Mungkin wajah (ketokohan) mereka sangat spesifik, tetapi itu cukup penting selama wajah yang spesifik itu terdapat nur DDI. Kiranya PB (Pengurus Besar) DDI telah lama memfasiltiasi wadah pengkaderan dengan mendirikan IP (Ikatan Pemuda) DDI, IMDI (Ikatan Mahasiswa DDI) dan FADI (Fatayat DDI). Karenanya, ketiga institusi ini sangat diharapkan untuk secara serius dan sistimatis dalam melakukan pengkaderan, sehingga pada setiap kesempatan kader-kader DDI dapat tampil prima pada semua line, dan pada waktunya kader-kader itu dapat tampil sebagai tokoh yang cukup menentukan jalannya sejarah dalam bidang ketokohannya.

Secara internal DDI telah mengatur dalam anggaran dasarnya tentang proses regeranasi dalam kepemimpinan DDI. Suatu kecelakaan sejarah jika pengurus IP DDI, IMDI dan FADI tidak melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap proses regenerasi kepemimpinan DDI. Dimaksudkan kecelakaan sejarah, karena organisasi tradsional sekalipun selalu memiliki elemen yang terencana tentang proses regenerasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempersiapkan calon penggantinya. Salah seorang tokoh dalam pewayangan Jawa memilih cara ‘dibunuh’ oleh orang lain yang telah lama dikader dan dipersiapkannya untuk mengganti kempimpinannya, karena putera mahkota yang memenuhi syarat menurut aturan adat tidak memiliki ketrampilan dan kecerdasan yang justru sangat dibutuhkan dalam mengukir sejarah dinasti itu.


Dikutip dari: http://albadar.or.id

Monday, October 20, 2008

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (w. 1996)



Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2)

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya.

Latar BelakangPendidikan

Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah?

Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996).

Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).

Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.

Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru.

Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu.

Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya.

Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu.

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.

Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya.

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya.

Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI.

Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar.

Hijrah Ke Parepare

Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar.

Diculik Kahar Muzakkar

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar.

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.

Kiprahnya dalam Perjuangan

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana).

Hijrah Ke Kaballangan Pinrang

Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan.

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal.

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.

Kitab-kitab Karya Gurutta

Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt.

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.

Kepribadian Gurutta

Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam.

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.

Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami

Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya.

Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu.

Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos.

Detik-detik Terakhir

Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong.

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.

Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:

1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999
2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.
3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986.

Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain.

Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.
Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu.

Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik.

** Dikutip dari: http://darisrajih.wordpress.com (Judul asli: Panrita Menembus Semua Zaman).

Sunday, October 19, 2008

Arung, To-panrita dan Relasi Kuasa di Sulsel


Bagaimana idealnya hubungan cendekiawan vis a vis kekuasaan? Ada yang berpendapat, cendekiawan seharusnya tidak terlibat dalam kekuasaan. Yang lain melihat cendekiawan bisa berperan ganda; sebagai birokrat yang baik sembari tetap berperan sebagai intelektual yang jernih dan kritis. Namun, karena cendekiawan (intellectual) pada dasarnya lebih merupakan kapasitas dan kualitas ketimbang status dan posisi, cendekiawan dan kekuasaan sesungguhnya tidak perlu diposisikan kelewat dikotomis. Mengikuti Antony D. Smith (1981:109) yang melekatkan istilah intellectual untuk a type of personality and mental attitude, dapat dikatakan, kecendekiaan adalah kapasitas pribadi yang bisa dimiliki siapa pun sekaligus akumulasi peran seseorang di bidang-bidang non-intelektual, termasuk birokrasi.

Dengan alur argumen demikian, seorang cendekiawan takperlu dianggap kehilangan kecendekiaan hanya karena dia memegang kekuasaan formal dalam masyarakat. Banyak tokoh dalam pentas politik nasional yang bisa dijadikan contoh di mana peran cendekiawan dan negarawan terpadu secara harmonis. Sebutlah misalnya Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Soejatmoko, Mukti Ali, Emil Salim, Munawir Sjadzali, Quraish Shihab, dll. Tulisan ini berupaya menunjukkan beberapa contoh peran cendekiawan dalam kekuasaan politik di Sulawesi Selatan di masa lampau sebagaimana terlihat dalam konsep “topanrita.”

Secara etimologis, to panrita berarti orang yang menyaksikan. Kata panrita bisa berarti keahlian teknis, seperti tercermin dari ungkapan panrita lopi (ahli pembuat perahu). Walau setahu saya belum ada penelitian semantik atas konsep ini, saya menduga kata topanrita memiliki nisbah epistemologis dengan --jika bukan elaborasi dari-- kata Sanskerta ‘pandita,’ yang agaknya juga melahirkan kata ‘pendeta.’ Faktanya, dalam satu dan lain hal, sosok seorang pandita memang identik dengan peran sosok topanrita dalam masyarakat Bugis-Makassar. Menurut Mochtar Pabottingi, seorang cendekiawan asal Sulsel, topanrita adalah orang yang bersaksi, melihat dan menyimak atas suatu keadaan dan menyatakan keadaan sebenarnya. Di sini, topanrita bukan saja berperan sebagai pengamat yang objektif atas keadaan di sekitarnya, tapi juga memberi penilaian, kritik dan pertimbangan atas suatu keadaan. Dengan makna ini, tidak berlebihan jika topanrita diidentikkan dengan konsep cendekiawan (intellectual) dalam terminologi modern.

Kualitas dan kapasitas utama topanrita bisa disimpulkan dari paseng (petuah) Ma'danrengnge ri Majauleng yang bernama La Tenritau: "Aja' nasalaiko acca sibawa lempu" (Janganlah engkau kehilangan kecakapan dan kejujuran). Yang dimaksud La Tenritau dengan acca, kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta kecakapan berkata-kata baik, logis dan lembut sehingga menimbulkan kesan baik pada orang lain. Sementara lempu' adalah pola pikir dan prilaku yang selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Esa).

Dalam perspektif masyarakat Bugis-Makassar, integrasi kecerdasan dan kejujuran merupakan kualifikasi penting setiap calon pemimpin. Ketika ditanya Arumpone (Raja Bone) tentang pangkal kecerdasan (appongenna accae), Kajao La Liddong –seorang cendekiawan dan mahapatih raja Bone-- menjawab: “lempue’” (kejujuran). Kajao La Liddong juga menyebut kejujuran raja (komalempu’i Arung Mangkaue) sebagai salah satu di antara tellu tanranna nasawe ase (syarat keberhasilan panen). La Waniaga Arung Bila, cendekiawan Soppeng abad ke-16, berkata: “Temmate lempu’e mawatang sapparenna atongengengnge’” (Kejujuran akan terus hidup, tapi kebenaran sulit dicari).

Di masa lalu masyarakat percaya, prilaku pemimpin menentukan kondisi kehidupan mereka. Hal ini turut berperan mengekang raja agar tidak bertindak sewenang-wenang demi terciptanya keadilan, keamanan dan kemakmuran dalam kerajaan. Menurut Andi Zainal Abidin, salah seorang di antara sangat sedikit ahli sejarah dan kebudayaan Sulsel, karena memiliki wewenang memperingatkan raja dan para pembantunya, negarawan dan ahli filsafat dahulu adalah faktor penting yang turut membatasi kekuasaan raja. Sekalipun A.Z. Abidin tidak secara eksplisit menyebut mereka topanrita, tapi peran mereka sepenuhnya identik dengan konotasi topanrita yang dikemukakan di atas. Maka, menurut Karaeng Pattingaloang, salah seorang ilmuan dan cendekiawan ulung kerajaan Gowa Tallo abad ke-17, salah satu di antara lima faktor keruntuhan suatu negeri (lima pammanjenganna matena butta lompowa) adalah jika tiada lagi cendekiawan di dalam negeri (punna tenamo tomangissengan ri lalang pa’rasanganga)(A.Z. Abidin, 1983:166-7).

Sebagai contoh, sebelum dilantik jadi datu Soppeng ke-9, Lamannussak To Akkarangeng mendatangi sejumlah topanrita di Sulsel, termasuk To Ciung Maccae (XV-XVI) di Luwu, guna mempelajari ilmu kepemimpinan. Salah satu paseng To Ciung kepada Lamannussak: “Jagaiwi balimmu wekka siseng, mujagaiwi rangeng-rangengmu wekka sisebbu, nasabak rangeng-rangeng mutu matuk solangiko” (Zainal Abidin, 1999:105) (Waspadailah lawan-lawanmu satu kali, waspadailah kawan-kawanmu seribu kali. Sebab yang terakhir inilah yang bisa membuatmu rusak). To Ciung juga menganjurkan Lammannussak sekali-sekali berkonsultasi dengan cendekiawan --yang tidak biasa berkunjung ke istana seperti halnya para oportunis—tentang masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan matang karena mereka mengatakan banyak kebenaran (Obbi’i to accae tassiseng-siseng mutanaiwi, nasaba’ maegatu patuju napau).

Di antara nama topanrita yang kerap muncul dalam wacana orang tua-tua Bugis-Makassar karena pesan-pesan mereka yang universal dan perenial --seperti direkam berbagai Lontara-- adalah To Ciung Maccae di Luwu (Abad XV), Nene Maggading di Suppa' (abad XV), La Tiringeng To Taba' di Wajo (Abad XV), La Waniaga Arung Bila di Soppeng (Abad XVI), Nene Pasiru' (Abad XV) dan La Pagala Nene Mallomo (Abad XVI) di Sidenreng, La Mellong Kajao La Liddong di Bone (abad XVI), Karaeng Botolempangan di Gowa (abad XVII), dan I Mangadacinna Daeng Sitaba Kareang Pattingalloang di Gowa-Tallo (abad XVII). Sosok La Tiringeng To Taba mungkin bisa diulas lebih jauh sekedar sebagai contoh.

Menurut Andi Pabarangi, peran La Tiringeng takdapat dipisahkan dari perjanjian awal antara rakyat dan raja Wajo di La Paddeppa’ yang berhasil merumuskan prinsip-prinsip utama ketatanegaraan (konstitusi) kerajaan Wajo. Abdurrazak Daeng Patunru dalam Sejarah Wajo (1964) menyatakan, lepas dari peran penting lima Arung Matowa Wajo terkemuka (La Tadampare', La Mungkace', La Tenrilai, La Salewangeng dan La Maddukelleng), La Tiringeng adalah tokoh besar Wajo. Arung Saotanre yang bergelar Arung Bettempola ini hidup sezaman dengan empat Arung Matowa Wajo yang pertama. Bettempola adalah negeri bagian kerajaan Wajo selain Talotenreng dan Tua.

Selama hidupnya, La Tiringeng kerapkali mengambil alih peranan Arung Matowa merumuskan berbagai undang-undang dan keputusan penting tentang berbagai masalah sosial-politik Wajo di abad ke-15 dan 16, masa-masa ketika kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya (Z.A. Farid, 1985). Karena kecerdasan dan kebijaksanaannya juga, La Tiringeng menjadi tempat orang-orang Wajo bertanya dan meminta nasehat atas beragam persoalan. Namun, dia selalu menolak permintaan (bahkan “tekanan”) rakyat Wajo agar dia menjadi Arung Matoa tiap kali terjadi kekosongan pemerintahan. Alasan dia, hal itu bertentangan dengan perjanjian awalnya dengan rakyat Wajo. Menurut A. Z. Abidin (1999), La Tiringeng dipandang pemimpin rakyat bukan saja karena ascribed status dan kesakralannya, tetapi juga terutama karena personal qualities dan jasanya menyusun dan melaksanakan sistem kekuasaan raja dan aparatnya yang terbatas. Tidak berlebihan jika A.D. Patunru (1964: 21) memandang La Tiringeng sebagai “ahli filsafat” Wajo.

Sebagaimana To Ciung Maccae, Nene Mallomo, Arung Bila, Kajao La Liddong dan Karaeng Pattingalloang, La Tiringeng mewujudkan diri sebagai sosok topanrita par excellence; seorang cendekiawan dan negarawan yang bijaksana dan cerdas, ahli hukum yang tegas, jujur dan tidak terbius kekuasaan dan kekayaan serta sangat mencintai rakyatnya. Tidak aneh, petuah-petuahnya ratusan tahun silam tampak masih relevan ditelaah sebagai sumber inspirasi dan pedoman dalam menata kehidupan sosial, hukum, politik dan pemerintahan di masa kini, baik di tingkat lokal maupun nasional. Salah satu pesan La Tiringeng, “Napoallebirengngi to Wajoe, maradekae, na malempu, na mapaccing ri gau’ salae, mareso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna (ibid: 21). Maknanya, orang Wajo mulia karena mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan memelihara harta benda.

Setelah hampir seluruh kerajaan di Sulsel terislamisasi secara struktural pada awal abad ke-17, konsep topanrita tampaknya juga mengalami perkembangan. Kini topanrita lebih banyak merujuk kepada sosok ulama tradisional atau gurutta. Suatu hal yang tak mengherankan mengingat, setelah kedatangan Islam, muncullah ‘ulama yang mengambil alih peran topanrita dalam makna tradisionalnya. Ulama tradisional tidak saja menguasai ilmu-ilmu keislaman, tapi juga memahami masalah kejiwaan, kesehatan, sosial, hukum, budaya dan politik yang muncul dalam masyarakatnya. Wajarlah, mereka tidak saja menjadi gurutta (guru kita) dalam arti mengajari orang-orang tentang berbagai masalah agama, tetapi juga tempat meminta nasehat dan doa, misalnya, demi kesuksesan bisnis, keberhasilan panen, kesembuhan dari penyakit jasmani dan rohani, penyelesaian masalah hukum, kemenangan dalam pertempuran (ilmu kesaktian), dll.

Lebih penting lagi, para ulama juga berperan sebagai penasehat atau konsultan para raja (sultan) dalam menyelesaikan berbagai masalah kerajaan. Dalam terminologi modern, topanrita/ulama menjadi salah satu komponen penting civil society yang membatasi wewenang dan kekuasaan raja, sesuatu yang menjadi prasyarat demokrasi. Syekh Yusuf boleh jadi adalah contoh terbaik sosok ulama seperti ini di kerajaan Gowa dan Banten. Sementara AGH. Muhammad As’ad di Wajo dan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle di Barru, sekedar menyebut dua contoh, adalah sosok topanrita di masa kontemporer.

Jadi, seperti ditunjukkan, dalam bidang sosial, hukum, budaya, agama dan kekuasaan politik, peran topanrita dalam masyarakat Sulsel sangat sentral. Hubungan harmonis dan saling menghargai antara para arung dan topanrita adalah salah satu faktor penting sehingga beberapa kerajaan tradisional Sulsel dapat mencapai puncak kegemilangan dalam fase-fase tertentu sejarah mereka. Prinsip sipakalebbi (saling menghormati), sipakatau (saling menghargai), dan sipakainge’ (saling mengingatkan) antara arung dan topanrita benar-benar terpelihara.

Walhasil, dalam konteks perpolitikan Sulsel kontemporer, apakah hubungan seperti ini masih terlihat di antara arung/penguasa dan topanrita/ulama? Masih banyakkah pejabat tinggi yang mau mendatangi cendekiawan/ulama dan meminta nasehat dan kritik dari mereka seperti dilakukan Lamannussak di atas? Atau, masihkah kita punya ulama dengan kualifikasi topanrita --dalam pengertian tradisionalnya-- yang senantiasa concern dengan masalah-masalah umat, termasuk berani menasehati dan mengoreksi pejabat? Semoga kedua pihak tidak malah suka sipakasiri’-siri’ (saling mempermalukan), sipakatau-tau (saling mengancam dan menakut-nakuti) dan sipakalinge’-linge’ (saling gila-gilaan) di mata rakyat? Saya optimis jawaban untuk ketiga pertanyaan di atas adalah positif.

** Sumber tulisan: http://wahyuddinhalim.blogspot.com

Saturday, October 18, 2008

DDI dan Penyimpangan Politik NU



KH ABDURRAHMAN WAHID
Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB

DALAM perjalanan sejarahnya, Darul Dakwah wal- Irsyad (DDI) yang tersebar dalam ratusan madrasah di Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang sangat menarik untuk diperhatikan.

Salah seorang penggedenya, Abdul Muis Kabry, tadinya adalah anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Malang. Karena menjadi anggota salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU), kemudian dia terlibat menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara itu, Sulawesi Selatan mengalami proses politik sendiri, yaitu hubungan organisasi- organisasi Islam dengan Golkar menjadi sangat erat. Hal ini berpengaruh terhadap DDI, lalu berdirilah DDI Ambo Dalle. Hal itu merupakan kejadian sangat menarik karena terlihat bagaimana perkembangan sebuah organisasi Islam lokal yang berpandangan sama dalam urusan keyakinan/aqidah, namun terpecah karena dipengaruhi perkembangan politik.

Menurut penulis,justru orang-orang NU yang harus belajar dari perkembangan DDI. Ulama besar KH Ambo Dalle dan para anak buahnya harus menerima kenyataan bahwa yang mengambil pemihakan politik lebih dahulu adalah NU kepada PPP. Kalau dilihat dari sudut pandangan ini, maka berdirinya DDI Ambo Dalle adalah reaksi belaka terhadap keputusan PBNU itu, yang juga masih berlanjut hingga hari ini.

Kiprah NU yang kemudian membidani lahirnya PPP dalam tahun 70-an justru dianggap sebagai "penyimpangan politik". Sedangkan masyarakat NU yang mengikuti Partai Kebangkitan Bangsa yang lahir pada 1998 justru dianggap sebagai "penerus perjuangan NU". Sedangkan di luar lingkup PKB,dewasa ini ada klaim bahwa Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) adalah salah satu penyimpangan dari PKB. Kita lihat saja nanti, benarkah klaim PKNU sebagai pembawa aspirasi politik warga NU, memilik akar dalam kehidupan politik kita.

Sejarah politik yang melatarbelakangi PKNU juga harus diketahui. Di samping perkembangan tersebut, tentu saja ada kejadiankejadian politik lain yang harus diketahui untuk membuat kita mengenal NU. Umpamanya sejarah politik kita mencatat pondok pesantren sebagai basis NU.Para pendiri dan angkatan-angkatan permulaan NU adalah jebolan pondok pesantren.

Di luar itu, mereka juga memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, seperti identifikasi diri mereka sebagai bagian dari perkembangan keadaan di luar NU. Umpamanya saja dalam dukungan kepada pemerintah dan sebagainya. Untuk menjaga hubungan baik dengan lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh pemerintahan itu, justru hubungan dekat mereka dengan NU disembunyikan, karena pada waktu itu hubungan politik antara sistem pemerintahan kita dan Golkar sedang berada pada tahap yang paling tinggi.

Nah, hal semacam inilah yang kemudian dialami oleh berbagai organisasi Islam, seperti DDI, Nahdlah al-Wathon (NW) di Pulau Lombok. Tuan Guru Zainudin di Pancor, sebagai pendiri NW,harus menempuh jalan yang sama,seperti Syekh Ambo Dalle pendiri DDI. Hal yang sama juga terjadi dalam hubungan antara Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dengan Al-Wasliyah.

Secara keyakinan aqidah, tidak ada perbedaan, tetapi kedua-duanya berbeda dalam sikap politik, terutama dalam hal hubungan politik dengan Golkar. Akibat seperti pemunculan DDI itu,dalam pandangan penulis,adalah hal yang tidak begitu diperhatikan dalam perkembangan NU oleh para pemimpinnya sendiri. Mengapakah hal seperti itu sampai terjadi? Karena dalam kurun waktu 32 tahun NU berpolitik, organisasi itu dibiarkan menjadi kuda tunggangan para pemimpin NU sendiri. Jadi tidak ada pihak di lingkungan NU yang mencoba melihat persoalan secara menyeluruh.

Apa yang terjadi dengan berdirinya dua DDI dan dua NW tanpa adanya kebutuhan untuk mempelajari sejarah dari pihak PBNU sendiri jelas sekali memperlihatkan kebodohan sejarah.Setelah begitu banyak anak-anak muda NU sendiri yang terserak-serak di banyak organisasi Islam, terbukti dengan jelas bahwa pihak NU tetap belum memikirkan kaum nahdliyyin sebagai sebuah elemen politik yang bulat. Sebagai contoh,melalui Muktamar Banjarmasin 1936,para pendiri NU menetapkan bahwa untuk melaksanakan syari'ah tidak diwajibkan adanya negara Islam.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang menganggap harus ada negara Islam, tetapi dalam pandangan keagamaan mereka, tetap seperti orang-orang NU umumnya, yang antaranya berada di lingkungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Tentu saja ada reaksi atas sikap seperti itu. Di satu pihak, ada yang menganggapnya sebagai kewajaran saja,ada pula yang menganggap telah terjadi penyimpangan politik. Memang,tiap gerakan memiliki perkembangan politiknya sendiri yang menjadikan kajian tentang perkembangan politik di sebuah negara menjadi sangat menarik.

Akan tetapi, tentu saja bagi mereka yang melihat perkembangan yang terjadi di belakang sejarah lahiriah saja. Kalau kita menukik lebih dalam, tampak bahwa apa yang kita anggap kejadian demi kejadian biasa-biasa saja, sebenarnya merupakan bahan kajian perkembangan politik. Hal-hal seperti itulah yang dapat kita 'tarik' dari buku 'DDI dalam Simpul Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan', yang ditulis secara rinci oleh Prof Dr Abdul Muis Kabri itu. Karena itu, masih terbuka lebar peluang untuk melakukan kajian mendalam, seperti untuk menulis disertasi tentang gerakan-gerakan tradisional Islam.

Di samping gerakan- gerakan Islam modernis seperti Ikhwanul Muslimin,ternyata kajian mendalam tentang kelompokkelompok tradisional juga diperlukan. Dari perbandingan antara keduanyalah kita akan mampu memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang diri kita sendiri. Ini adalah bagian dari perkembangan sejarah yang bersifat penolakan atau penerimaan gagasan atau sikap hidup tertentu.

Sesuatu yang sebenarnya wajar-wajar saja terjadi dalam hidup berkelompok dalam sejarah manusia.Namun,justru pengamatan seperti inilah yang jarang disadari para pelakunya. Penolakan atau penerimaan sebuah gagasan,menyimpan dalam dirinya variasi yang sangat tinggi dari perkembangan yang dialami oleh sebuah kelompok, apakah itu tradisional ataupun modern. Pahamkah kita akan arti sebenarnya dari pola perkembangan seperti itu? (Sindo/23/4)

** Sumber Tulisan: http://gp-ansor.org
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA