PENGAJIAN SYA’BAN:
“Keutamaan & Beberapa Hukum
Penting Di Bulan Sya’ban al-Mubarak”
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وبعد!
Tidak terasa oleh kita, jelang beberapa hari lagi –
Insya Allah – (Kamis, 15/ 08/ 1433 H bertepatan 5/ 07/ 2012 M) yang akan datang,
kita akan memasuki suatu malam yang sangat mulia di sisi Allah, disebutkan di
dalam al-Qur’an sebagai “Lailatin Mubarakatin” (QS: 44: 1-6), yaitu
Malam Nishfus Sya’ban al-Mubarak. (Lihat: Menghidupkan BulanSya’ban al-Mubarak).
Malam ini bisa disebut sebagai “Malam Festival Amal Shaleh”, di mana pada malam mulia itu diangkat dan dilaporkan segala amal shaleh orang mu’min. Sebagaimana dalam sabda rasulullah SAW:
Malam ini bisa disebut sebagai “Malam Festival Amal Shaleh”, di mana pada malam mulia itu diangkat dan dilaporkan segala amal shaleh orang mu’min. Sebagaimana dalam sabda rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah bersua pada setiap malam Nishfus Sya’ban, maka Dia
mengampuni segala makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan pelaku dosa besar,” (HR: Ibn Majah: 1390 |
Lihat juga: At-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir: 22/ 223, No: 590 | Shahihul
Jami’, No: 831 | Asshahihah, No: 1144).
Sumber asli: Tulisan ini |
Oleh karena pentingnya malam nishfus
Sya’ban ini, saya ingin mewasiatkan beberapa hal penting berkenaan dengan
keutamaan dan beberapa hukum sangat prinsif dalam rangka Memeriahkan Festival
Amal Shale di bulan Sya’ban, sebagai berikut:
Keutamaan Puasa Sya’ban:
Syahru Sya’ban, adalah bulan ke-8 dari kelender hijriah –
Islam, banyak sekali catatan sejarah dan peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi di bulan ini sepanjang masa. Bulan Sya’ban juga merupakan pengantar
memasuki bulan suci Ramadhan, oleh karena mendapat perhatian khusus di sisi
nabi besar Muhammad SAW, berbeda dari bulan-bulan lainnya.
Adalah Usamah bin Zaid pernah meminta penjelasan
dari nabi SAW mengatakan: Ya Rasulallah! Saya tidak pernah melihat anda
berpuasa suatu bulan-pun dari bulan-bulan yang lain seperti yang anda lakukan
pada bulan Sya’ban, Beliau bersada: “Bulan itu-lah banyak di lalaikan oleh
manusia karena terjepit antara Rajab dan Ramadhan, pada bulan itu dilaporkan
segala amal kehadirat Allah penguasa alam semesta, maka saya ingin amal saya dilaporkan
dalam keadaan berpuasa” (HR. An-Nasai: 2357).
Bulan ini juga dimanfaatkan oleh para ummahatul
mu’minin untuk mengganti puasanya yang tertinggal pada bulan Ramadhan yang
lalu, adalah ‘Aisyah ra pernah menuturkan: “Pada bulan ini-lah saya selalu menggatikan
puasa Ramadhan saya, tidak ada waktu menggatinya selain di bulan Sya’ban,
karena sibuk mendapingi rasulullah SAW.” (Muslim: 1146).
Kesempatan ini juga bagus dipergunakan untuk
menyambut bulan suci Ramadhan yang penuh kebaikan dan kemulian, yaitu dengan
berpuasa dan memperbanyak amal shaleh di dalamnya. Ummul mu’minin ‘Aisyah ra
meriwayatkan: “Bahwasanya rasulullah SAW banyak berpuasa sehingga kita
menyangka kalau beliau berpuasa terus-menerus, beliau juga makan siang sehingga
kita menyangka kalau dia tidak pernah berpuasa.
Seumur hidupku (kata: ‘Aisyah ra), saya tidak
pernah melihat sekalipun rasulullah SAW berpuasa satu bulan penuh kecuali pada
bulan Ramadhan, dan saya juga tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasanya
di suatu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban.” (Muslim: 1156).
Hukum Melalaikan Puasa Di awal-awal Sya’ban dan Larangan Berpuasa Setelah Nishfus Sya’ban:
Adapun orang-orang yang meninggalkan puasa pada
paroh pertama bulan Sya’ban karena satu dan lain hal atau sengaja, maka mereka
telah menyia-nyiakan pestival kebaikan. Dan dilarang baginya berpuasa setelah
melewati pertengahan bulan Sya’ban, sebagaimana dalam hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Apabila
telah lewat pertengahan Sya’ban, maka janganlah berpuasa,” (Lihat: Sunan
Abu Daud: 2337).
Dalil-Dalil Larangan Puasa Setelah Nishfus Sya’ban:
- Hadits riwayat Abu Daud: “Apabila telah lewat pertengahan Sya’ban, maka janganlah berpuasa”. (Sunan Abu Daud: 2337).
- Riwayat an-Nasai: “maka berhentilah berpuasa,” (Lihat: Mu’jam Ibn al-Moqri: Hal. 60 No: 96).
- Ibn Majah (1651): “Apabila telah lewat nishfus Sya’ban maka tidak ada lagi puasa hingga datang Ramadhan”.
- Ibn Hibban (3589): “Maka makanlah hingga datang Ramadhan”, diriwayat lainnya (3591): “tidak ada puasa setelah lewat pertengahan Sya’ban hingga masuk Ramadhan”.
- Ibn Oday: “Apabila lewat pertengahan Sya’ban maka makanlah” (al-Mu’jam al-Ausath: 2/ 264, No. 1936, Moshnaf Abderrazaq as-Shan’ani: 4/ 161 No: 7325).
- Al-Baihaqi (4/ 352 No: 7961): “Apabila telah berlalu pertengahan sya’ban maka berhentilah sampai masuk Ramadhan”.
- At-Tirmizi: “Jika tersisa setengah dari bulan Sya’ban maka janganlah berpuasa”.
Larangan keras berpuasa ketika menjelang akhir bulan Sya’ban, rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
ada di antara kalian mendahulukan puasa Ramadhan sehari atau dua hari
menjelang, kecuali seseorang telah terlebih dahulu bernazar pada hari itu atau
sudah terbiasa melakukan puasa sunnah Senin dan Kamis, maka ia boleh puasa pada
hari itu.” (HR: Bukhari No. 1914, Muslim No: 1082, dan selainnya).
Peristiwa-Peristiwa Sejarah Penting Terjadi Di Bulan Sya’ban:
1. Pengenalan Kelender Hijriah pertama kali dalam Islam, yang perhitungannya
diawali dari tahun pertama hijrah nabi SAW ke Madinah. Peristiwa penting ini
terjadi di bulan Sya’ban tahun ke-16 setelah hijrah dan ditetapkan bulan
Muharram sebagai awal tahun, yaitu pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar
bin Khattab ra setelah musyarah panjang bersama para sahabat senior. (Ibn
Katsir, Assirah: 2/ 287).
2. Perintah puasa Ramadhan dan wajib zakat fitrah di syariatkan pada bulan
Sya’ban ini.
3. Peristiwa penting dalam sejarah hukum syariat Islam lainnya terjadi pada
bulan Sya’ban, adalah pengalihan kiblat dari Baitil Maqdis ke Baitil
Haram, ditandai dengan turunnya perintah ayat al-Qur’an mengalihkan kiblat,
Allah berfirman:
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (١٤٤)
Artinya: “sungguh Kami telah melihat
mukamu (Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu
ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya,
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS: 02:
144).
Peralihan kiblat yang munomental itu terjadi pada tahun ke-2 setelah
hijrah, atau memasuki bulan ke-16 kedatangan di Madinah, kata Ibn Katsir: Ada
yang juga yang mengatakan memasuki bulan ke-17, kedua pendapat itu semuanya
tercatat dalam Kitab Asshahihain.... Wallahua’lam!
Bittaufiiq,,,, semoga bermanfaat!
Jakarta, Ahad 11 Sya’ban 1433H/ 01 Juli 2012 M.
Artikel yang berhubungan:
Karya Terbaru Penulis:
Beli Bukunya Sekarang! |
No comments:
Post a Comment