MAI Mangkos
Cikal Bakal Lahirnya DDI
Oleh: H.
Abdurrahman Hadi Al Mahdali
Dalam
catatan sejarah, pesantren Darud Dakwah
wal-Irsyad (DDI) dikenal di
sulawesi sejak zaman Gurutta AGH. Abdurahman Ambo Dalle di Mangkoso, Barru, Ketika itu Gurutta Ambo Dalle.
Membuka sebuah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso, dan menjadikannya
pusat pendidikan di Sulawesi. Para santri yang berasal dari berbagai daerah
datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal
dari Malaysia.
Pesantren
MAI Mangkkoso, merupakan cikal bakal berdirinya Madrasah madrasah DDI di
sulawesi. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban
mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah Madrasah
madrasah dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di pesantren MAI
Mangkoso.
Kesederhanaan
pesantren MAI Mangkoso dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan,
metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi
kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Ciri khas dari
pesantren MAI Mangkoso ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan
Anre Gurutta. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi
lebih seperti anak dan orang tua.
Materi yang
dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan
lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab kuning. Di antara kajian
yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena
mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat
membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena
dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat
(sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam
pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu
orientied”.
Masa
pendidikan tidak didibatasi, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau
keputusan Anre Gurutta bila dipandang santri telah cukup menempuh studi
padanya. Biasanya anre Gurutta menganjurkan santri tersebut untuk keluar
mengajar di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para
santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari anre Gurutta
Lokasi
pesantren MAI Mangkoso dahulu tidaklah seperti yang ada sekarang di Mangkoso
atau di pesantren DDI lainnya, Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak
dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar.
Bentuk, sistem dan metode pesantren MAI Mangkoso dapat dibagi kepada empat
periodisasi yaitu
Pertama,
periode MAI Mangkkoso yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan
penguatan kitab kitab Kuning.
Kedua,
Periode integrasi MAI Mangkoso Menjadi DDI, yang mencerminkan pengembangan MAI
Mangkoso dalam bingkai DDI sebagai organisasi induk yang menaungi Madrasah
madrasah yg didirikan Alumni MAI Mangkoso
Ketiga
Priode Pesantren MAI Mangkoso menjadi pesantren DDI berstatus otonom yang
mandiri, pasca dipindahkannya kantor PB DDI di Parepare
keempat,
priode Pesantren DDI Mangkoso menjadi DDI AD pasca meninggalnya AGH Abd.Rahman
Ambo Dalle. yang menunjukkan keinginan pesantren DDI Mangkoso kembali ke Mabda
DDI yang dinilai telah keluar dari jalur sebagai organisasi pendidikan, dan
Da’wah.
Periodisasi
ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Pesantren MAI Mangkoso,
Pesantren DDI Mangkoso, dan Pesantren DDI AD Mangkoso. sebab pesantren MAI
mangkokso sendiri berasal dari Pesantren MAI sengkang, yang dibina oleh AGH
As’ad. Demikian
juga halnya dengan DDI, sebelumnya telah ada. Justru yang menjadi cikal bakal
DDI adalah pesantren MAI Mangkoso yang sudah berkembang, sementara DDI AD adalah
Pesantren DDI Mangkoso yang ingin mengembalikan DDI kemabdanya/Khittahnya
sebagai Organisasi Pendidikan dan Da’wah, Pembagian di atas didasarkan pada
perkembangan pesantren MAI Mangkoso dari dulu hingga kini.
Sifat
kemodernan MAI Mangkoso, tidak hanya terletak pada bentuk Kelembagaan yang
menyerupai sistem Pesantren pada umumnya di jawa, tapi juga pada bentuk
koordinasi dalam pengembangannya. Hal ini tercermin dari didirikannya
organisasi bernama DDI, Berbeda dengan MAI Sengkan yang tidak membuka cabang dalam
pengembangannya. sehingga tidak memerlukan wadah yang lebih besar dalam
pengorganisasiannya sejenis DDI, Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sikap kehati
hatian AGH Aa’ad yang lebih menekankan pada asepek kualitas dari pada kuantitas
pada setiap santrinya, hingga tidak membuka cabang didaerah lain kecuali di
Sengkan Wajo.
Dalam hal
ini, pesantren MAI Mangkoso telah berani melangkah maju menuju perubahan yang
saat itu mendirikan organisasi masih dianggap langka. Namun demikian bukan
tidak beralasan. pengorganisasian Madrasah Alumni yang ditarapkan pesantren MAI
Mangkoso adalah untuk mendobrak mitos bahwa Madrasah Alumni tidak munkin di
diorganisir sehingga sulit berkembang dan selalu ketinggalan zaman. Prinsip
inilah yang mengispirasi lahirnya DDI sebagai wadah yang menjembatani
kepentingan Pesantren MAI mangkosos dengan Madrasah Alumninya, sekaligus
menjadi terobosan baru pada saat itu karena MAI Mangkoso berhasil
mengintegrasikan semua Madrasah Alumninya ke dalam organisasi DDI agar MAI
Mangkoso beserta Madrasah madrasah Alumninya dapat mengikuti perkembangan zaman
dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
No comments:
Post a Comment