Renungan Jum’at (25 Maret 2013):
Memahami Slogan Gurutta: “Anukku Anunna DDI, Anunna
DDI Tannia Annuku”
Judul di atas sudah sangat populer di antara kita warga DDI bahkan menjadi
inspirasi perjuangan IAPDIKA. Walaupun slogan tersebut sudah berulang kali
disinggung di komunitas ini. Bahkan adik Kita Rahma Thiya
Rahim telah memposting pandangan Gurutta Prof. Dr. Rahim Arsyad
mengenai interpretasi slogan ini. Namun, saya tetap tertarik untuk menulis tema
yang fenomenal ini sebagai renungan pekan kita.
Mengingat selama ini banyak yang mengangkat slogan itu bahkan diantara kita
ada yang menunjukkan bukti-bukti nyata dan mempertanyakan sejauh mana
implementasi slogan tersebut di dalam lingkup keluarga Gurutta. Sebagai warga
DDI yang masih sangat junior bila dibandingkan dengan mahaguru-mahaguru kita
baik mereka yang berada di Pare-Pare, Kaballangang, Mangkoso atau ditempat
lain, tentulah pengetahuan dan pemahaman kami sangat terbatas tentang nilai
slogan tersebut dan masih perlu mengkaji dan memahami secara utuh slogan yang
filosofis dan diplomatis ini.
Bahkan perlu menginventarisasi data yang ada untuk sampai kepada sebuah
hipotesa yang akurat sehingga tidak terperangkap dalam pemahaman yang hirarkis.
Meskipun demikian, saya juga terpanggil untuk mengungkapkan apa yang saya bisa
fahami atas slogan indah ini dan membutuhkan koreksi jika memang dianggap
salah.
Saya yakin, bahwa slogan di atas yang telah dipopulerkan oleh Gurutta sejak
awal memimpin dan merintis DDI adalah sebagai motivator untuk mengembangkan
lembaga pendidikan dan dakwah yang telah dibangun dan sebagai sugesti untuk
beramal dan bekerja demi pendidikan dan dakwah. Slogan ini memang sangat
filosofis dan diplomatis, tetapi sangat jelas ibarat Purnama di malam hari yang
sudah tidak perlu lagi diperdebatkan. Namun perlu dipahami agar tidak menjadi
persoalan yang melilit diantara kita semuanya.
Menurut pemahaman saya dan mungkin sudah menjadi kesepahaman bersama bahwa
Gurutta adalah seorang sosok yang luar biasa yang sulit ditemukan pada masanya,
dulu dan sekarang, bukan saja di Sulawesi tetapi juga di tempat lain. Gurutta
telah mempersembahkan seluruh hidupnya demi agama dan masyarakatnya yang dia
cintai. Sejak awal Gurutta telah memberikan hidupnya untuk sebuah pendidikan
agama dan pengabdian ke masyarakat yang tak terhingga sehingga hampir satu
jam-pun dalam riwayat hidupnya tidak ada yang sia-sia. Seluruh hidupnya telah
diisi dengan kebajikan untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya, bukan saja
di Sulawesi tetapi juga hampir seluruh tanah air.
Gurutta ibarat seorang Sufi yang larut dalam kecintaannya terhadap Tuhannya
sehingga melupakan semua apa yang dia miliki untuk dirinya dan keluarganya.
Bahkan tidak terdapat ruang sedikitpun dalam hatinya untuk dunia dan
keluarganya, hatinya hanya dipenuhi cinta kepada Allah sehingga semua yang
dimilikinya hanyalah milik Allah dan untuk Allah. Gurutta-pun demikian dalam
mengembang dakwah dan pendidikan untuk masyarakatnya, seluruh harta, jiwa dan
tenaganya semua dicurahkan hanya untuk pendidikan dan dakwah demi sebuah agama
dan masyarakat yang sangat dicintainya.
Diantara kita pun, mungkin juga pernah mengalami suasana kebathinan seperti
itu, yaitu ketika kita jatuh cinta kepada seseorang sehingga menjadikan semua
milik kita adalah milik yang dikasihi; dompet dan kendaraan semua
dipersembahkan hanya untuk yang dicintai. Suasana kebathinan seperti inilah
yang dialami Gurutta terhadap DDI sehingga muncul sebuah slogan yang sangat
menarik dan tetap up to date untuk sebuah pengabdian. Slogan ini jugalah
telah membuat kita terperangkap dalam sebuah perhelatan dengan mereka yang
tidak sepaham dengan kita.
Menurut hemat kami bahwa di masa Gurutta khususnya pada periode awal berdirinya
DDI, tentulah tidak sama dengan era sekarang ini. Dulu, seseorang melihat ke
DDI karena melihat Gurutta atau dalam pemahaman sederhana, DDI tidak ada tanpa
Gurutta, sehingga dengan demikian apapun yang ingin disumbangkan oleh seseorang
untuk kebaikan tentulah harus diberikan langsung kepada Gurutta. Guruttapun
menjadi tumpuan pemberian oleh setiap dermawan yang ingin menyumbangkan
hartanya karena meyakini dan percaya bahwa pemberiannya akan mendapatkan berkah
dari Allah SWT.
Oleh karena itu, saya justru berasumsi yang lebih ekstrim lagi bahwa pada
dasarnya semua milik DDI adalah milik Gurutta karena tanpa Gurutta maka DDI
tidak akan ada, maka Guruttalah yang berhak untuk memanfaatkan seluruh
pemberian orang termasuk yang ada di DDI dan dialah yang berhak memanfaatkan
sesuai dengan keinginannya.
Dalam menyikapi kepercayaan masyarakat, Gurutta tidak terlena dan tetap
menyadari dan meyakini bahwa semua pemberian dan semua yang dimiliki adalah
milik Allah. Oleh karena itu, Gurutta mengikrarkan pada dirinya bahwa miliknya
adalah miliki DDI agar semua orang tahu bahwa Gurutta berdakwah bukanlah karena
popularitas atau kekayaan akan tetapi semata-mata karena agama dan masyarakat.
Saya sangat mendukung pendapat Gurutta Prof. Dr. Rahim Arsyad bahwa slogan
Gurutta jangan dipahami secara harpiyah.
Dengan demikian, menurut pemahaman kami bahwa slogan “Annukku Anunna
DDI, Anunna DDI Tannia Annukku”, adalah suatu ungkapan Gurutta yang
memberikan indikasi pengabdiannya terhadap dakwah dan pendidikan, tetapi secara
hakekat dan hukum positif, bahwa harta dan kekayaan tersebut adalah tetap milik
Gurutta. Dalam artian semua usaha yang telah dibangun untuk mendukung dakwah
dan pendidikan adalah miliknya.
Sebuah contoh kongkrit dan sederhana, misalnya “Gurutta mendapatkan
sumbangan dari seorang dermawan, lalu sumbangan tersebut digunakan untuk
membeli mobil atau membangun rumah”. Mobil yang dibeli Gurutta atau rumah yang
dibangun tentulah digunakan Gurutta untuk memenuhi seluruh keperluan operasionalnya
dalam mengurus DDI atau jika dibangun untuk kediaman tentulah dimaksudkan untuk
berkumpul dan beristirahat bersama keluarganya sehingga Gurutta dapat mengatur
kegiatannya. Jika ada pertanyaan yang muncul, apakah mobil atau rumah itu milik
DDI atau milik Gurutta? Maka pertanyaan itu akan sangat naïf khususnya jika
pertanyaan itu keluar dari anak-anak DDI. Itulah mungkin yang dimaksud ustaz
Rahim dengan “Mabusung”.
Sebagai seorang primitif seperti saya ini, tentulah mengatakan bahwa mobil
atau rumah adalah milik Gurutta dan jika nantinya Gurutta meninggal dunia maka
keluarganyalah berhak untuk menggunakan atau memanfaatkan harta tersebut tanpa
harus ada resistensi dari pihak siapapun, karena kita juga harus tahu bahwa
Gurutta selama hidupnya tidak pernah lepas dari berbagai posisi kehormatan baik
ditingkat daerah maupun ditingkat Nasional mulai dari seorang Hakim hingga
seorang anggota MPR-RI dan berbagai posisi lain. Semua posisi kehormatan itu,
Gurutta memperoleh tunjangan setiap bulan dan tunjangan ini jugalah sebagiannya
dimanfaatkan untuk membangun dan membiayai berbagai usaha untuk mendukung
kehidupan keluarganya dan lembaganya seperti, apotik, percetakan dan rumah
sakit bersalin.
Lalu apakah kita akan mengklaim bahwa itu adalah milik DDI? dan harus
diserahkan ke DDI atau apalah dan lain sebagainya setelah Gurutta meninggal.
Tentu pemikiran seperti ini terlalu hina bagi kita yang tumbuh dan berkembang
dan menimba ilmu di DDI tanpa mengeluarkan uang banyak bila dibanding dengan
pendapatan setiap alumni sekarang ini apalagi kalau kita menyandarkan hidup
dalam DDI.
Ini tentu sangat berbeda, jika seorang dermawan membangun sebuah asrama dalam
kompleks pesantren, maka bangunan dimaksud adalah milik pesantren bukan milik
Gurutta. Karena itu saya berkesimpulan bahwa slogan Gurutta “Annukku Anunna
DDI, Annunna DDI Tannia Annuku” adalah sebuah motivator untuk dirinya dan
semua orang disekitarnya untuk berbakti di jalan Allah melalui harta, jiwa dan
raga dan tidak menjadikan lembaga pendidikan dan dakwah sebagai tempat untuk
mengumpulkan kekayaan sebagaimana yang dilakukan para pendeta-pendeta di zaman
dulu. Sekian.
No comments:
Post a Comment