Disentegrasi Kepemimpinan Ditubuh Ormas DDI
Alumni DDI Mangkoso '90 (Pengamat IAPDIKA) |
Meminjam istilah mantan presiden Mesir Mr. Anwar
sadat: “Al-umamu lan tataqaddama wa qulubuhum mutafarriqah” (Bangsa
tidak akan maju selama idealisme berbeda-beda), nampaknya inilah yang terjadi
ditubuh organisasi massa (ormas) terbesar di Indonesia Timur “Darud Dakwah
wal-Irsyad (DDI) ini.
Awal disentegrasi kepemimpinan di tubuh oraganisasi
rintisan Gurutta Ambo dalle dan ulama-ulama besar Sulawesi Selatan ini bermula
- kalau tidak salah ingat – pada tahun 1989, dan mu'tamar DDI yang diselenggarakan pada
tahun itu merupakan pemicu utama terjadinya disentegrasi kepemimpinan DDI
tersebut. Namun, saat itu masih tetap terjalin penyatuan di antara mereka pada
level ikatan emosinal terhadap Gurutta Ambo Dalle sebagai tokoh sentral.
Maka dari muktamar DDI ’89, memunculkan tiga kubu
besar di dalam kepemimpinan DDI: Pertama, kubu Prof. Dr. Abdul Muiz
Kabry (status quo); kedua, kubu
Mangkoso (ingin mengembalikan kepemimpinan DDI ke tangan ulama); dan ketiga,
adalah kubu abu-abu (tidak menentukan pilihan atau tidak mengerti apa-apa).
Kubu Muiz Kabry, yaitu penguasa tunggal LBBP (Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh) DDI sepeninggal Gurutta Ambo Dalle, yang pada rezim
Soeharto dikenal sangat mesra dengan orde baru sehingga kelompok ini juga
sering disebut sebagai “Kubu Orde Baru DDI”, peran lobi-lobi kubu ini sangat
signifikan di dalam kancah kekuasaan (Nasional dan Locol), maka tidak heran
kelompok ini banyak menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan,
termasuk menanamkan budi kepada pengikut-pengikutnya untuk mendukung dan
melanggengkan kekuasaannya. Dan menganggap dirinya lebih menguasai sistem
managerial dalam menjalankan roda organisasi, serta merasa lebih layak memimpin
DDI ke arah yang lebih baik dan maju.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, popularitas
kubu ini semakin menurun, bahkan surut nyaris ketitik nol. Hal ini diakibatkan
oleh kejenuhan pengikut-pengikutnya karena sudah terlalu lama dipuncak
kekuasaan dan tidak menjanjikan sesuatu perubahan yang mendasar, yang
ditonjolkan adalah arogansi-arogansi yang berlebihan, sampai keluar
ungkapan-ungkapan yang tidak senonoh dari penggede-penggede kubu ini seperti “langkahi
dulu mayat saya”, dan lain sebagainya yang tidak pantas keluar dari seorang
ulama dan tokoh masyarakat.
Bahkan sebagian dari pendukung-pendukung setia kubu
ini semakin resah dan prihatin menyaksikan kemunduran yang di alami DDI dari
berbagai dimensinya, mulai dari moral menjalankan organisasi yang arogan;
penyalah gunaaan (menghilangkan) aset-aset murni DDI; penggunaan dana-dana umat
yang tidak transparan; mengekalkan kekuasaan; alergi terhadap pembaharuan dan
regenerasi; serta lain sebagainya. Yang semuanya – na’uzubillah – bertujuan
untuk menguasai DDI sebagai “milik sendiri”.
Contoh yang paling konkrit pada kasus ini adalah
Pesantren Kaballangang, selama sekita 20 tahun mereka menancapkan taring-taring
kekuasaan di Kaballangang ternyata pesantren kebanggaang Gurutta Ambo Dalle
ini, bukannya mengalami kemajuan menggembirakan tetapi justru sebaliknya,
terpuruk sampai keliang paling rendah neraka jahannam. Maka dari sinilah
awalnya, terutama setelah reuni akbar alumni Kaballangang akhir 2012 lalu, yang
melahirkan kelompok dinamis baru yang menamakan dirinya “Ikatan Alumni
Pesantren DDI Kaballangang (IAPDIKA)”.
Lalu dari reuni IAPDIKA terakhir inilah timbul
kemarahan-kemarahan yang keluar dari nurani para alumni pontren ini, yang rata-rata mereka adalah kelompok
anak-anak muda profesional sukses dan mapan dari segi materi dan finansial,
mereka pasimis dan prihatin melihat pesantren dan simbol-simbol kebanggaan
mereka yang ada di dalam pesantren itu terbengkalai, tidak terurus bahkan
sebagian sudah tidak berfungsi dan menghilang dari tempatnya.
Kemarahan alumni ini akhirnya berkembang menjadi
obrolan hangat di antara para alumni, simpatisan, dan pemuka-pemuka DDI, yang tercermin
dari maraknya situs-situs alumni di jejaring sosial (Facebook, Tweeter, Blog, dan
Web Site khusus), seperti Grup “Ikatan Passelle Pasau-na Gurutta Ambo Dalle”
ini, dan sebelumnya telah ada grup “Komunitas Anak-anak kaballangang”, dan
lain-lain. Dan semuanya meneriakkan perubahan dan regenerasi ditubuh organisasi
DDI, dengan mengusung slogan “Menyongsong Purnama DDI 2014”.
IAPDIKA sendiri sebagai lokomotif gerakan ini, dari
semenjak terbentuknya hingga kini tidak pernah berhenti berjuang (siang dan
malam) untuk merealisasikan perubahan yang paripurna ditubuh ormas DDI ini. Mereka
intensif mengadakan pertemuan-pertemuan rutin dan tidak rutin di antara anggota
seperti RAKERNAS I di Jakarta, dan pertemuan Mamuju yang dirangkaikan dengan
penerimaan tanah wakaf 10 Ha dari simpatisan DDI untuk pembangunan pesantren
modern.
Mengadakan silaturahim ke tokoh-tokoh besar DDI,
simpatisan dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya; membentuk
koordinator-koordinator wilayah seperti IAPDIKA Regional Jabodetabek dan Sektor
Luar Negeri; IAPDIKA Regional Sulbar; IAPDIKA Regional Kaltim; IAPDIKA Regional
Kalsel; IAPDIKA Regional Batam; dan lain-lain. Dan merekayasa lembaga “Passelle
Pasau” yang diharapkan mampu mengemban amanah luhur Gurutta Ambo Dalle untuk
memakmurkan DDI ke masa purnamanya yang gemilang. Serta mematangkan konsep
paten untuk memenangkan “Passelle Pasau” secara konstitusi di muktamar DDI 2014
mendatang.
Adapun kubu Mangkoso, yang kala itu dimotori oleh Gurutta
(alm) AGH. Abdul Wahab Zakaria, MA, beliau dan kubunya mengingkan DDI dipimpin
oleh ulama dan intelektual Islam yang ada di DDI, dan nama-nama besar yang ada
pada saat itu, yang telah bersedia menerima titah dari Gurutta Ambo Dalle adalah
Dr. AGH. Rusdy Ambo Dalle, Prof. AGH.
Faried Wajedi, MA, Prof. Dr. AGH. Abdur Rahim Arsyad, MA, dan Prof. Dr. AGH. Andi
Syamsul Bahri Galigo.
Namun karena situasi muktamar saat itu memanas dan pemilihan
pemimpin tertinggi DDI berjalan cukup alot, sehingga para peserta muktamar
sepakat menyerahkan keputusan final dan tertinggi kepada Gurutta Ambo Dalle
untuk menunjuk langsung “Passelle Pasau”-nya guna melanjutkan perjalanan roda
Ormas DDI setelah beliau. Maka kubu Mangkoso yakin bahwa Gurutta sudah menyiapkan
kandidat Passelle Pasau yang akan di baiat bersama.
Akan tetapi detik-detik menjelang pengumuman final Gurutta
Ambo Dalle di atas podium kehormatan muktamar, tiba-tiba datang Muiz Kabry
menghampiri Beliau dan membisikinya bahwa seorang Menteri dari Jakarta datang
ingin menemui Gurutta padahal itu hanya isapan jempol belaka dan tidak ada
Menteri yang datang melainkan hanya akal-akalan Muiz saja. Nah, ketika Gurutta
pergi meninggalkan podium untuk menemui Menteri bohongan tersebut, maka saat
itulah dimanfaatkan oleh kubu Muiz Kabry mengadakan pemelihan tidak fair dan
tanpa sepengetahuan Gurutta, yang memilih Muiz Kabry sebagai Pemimpin tertinggi
DDI pasca Gurutta Ambo Dalle.
Maka kenyataan inilah dibaca oleh kubu Mangkoso bahwa
ada konspiraci terselubung yang telah mengotori kemurnian demokrasi ditubuh Ormas DDI. Dan ketidak
puasan inilah yang memicu kubu Mangkoso memilih muparaqah dan tidak membaiat
pengurus DDI hasil rekayasa Muiz. Walaupun demikian mereka masih tetap taat
patuh kepada Gurutta Ambo Dalle. Dan mereka tidak berusaha mengadukan
kecurangan ini kepada Gurutta dan Gurutta sendiri kelihatannya tidak mempermasalahkan
pilihan baru peserta muktamar ini, sehingga banyak yang beranggapan bahwa
diannya Gurutta adalah ridhonya.
Terakhir kubu ketiga adalah kelompok abu-abu, mereka
umumnya tidak mengetahui permasalahan, mungkin karena kedekatan emosional sebagai
teman atau sekampung atau faktor kepentingan, maka mereka memihak kepada kubu
Muiz dengan taqlid buta, tetapi kelompok ini sudah mulai mencoba mengorek
informasi dari berbagai pihak untuk mengetahui persoalan yang sebenarnya. Maka dengan
adanya wadah “Ikatan Passelle Pasau-na Gurutta Ambo Dalle (IPPAD) Center” yang
dibuat oleh saudara KITA, Uwwae,,,,, Insya Allah, kita bisa saling sharing
informasi guna mendapatkan pencerahaan tentang nilai-nilai DDI dan Gurutta Ambo
Dalle yang sebenarnya, SEMOGA!
No comments:
Post a Comment