Histori DDI
Sebagai Ormas Berbasis Ummat dan Pesantren
Oleh: Dr. KH. M.A. Rusdy Ambo Dalle
Prolog
Darud Dakwah wal-Irsyad disingkat DDI, merupakan organisasi massa (ormas)
Islam terbesar di Indonesia timur dan terbesar ketiga nasional setelah Nahdhatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Salah satu harapan besar para tokoh founding father
saat mendeklarasikan berdirinya ormas ini adalah perlunya membangun sistem
pendidikan berbasis kemasyarakatan; menggiatkan bidang dakwah dan sosial
kemaslahatan umat yang luas.
Untuk membina pribadi-pribadi muslim yang cakap dan bertanggung jawab atas
terselenggaranya ajaran Islam secara murni dikalangan umat Islam; dan menjamin
kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu
sedang mempertaruhkan jiwa raganya demi mengusir kolonialisme dan
mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.
DDI kini dalam perkembangannya telah tersebar di 20
propinsi dipelosok tanah air seluruhnya ditangani 8 Pengurus Wilayah, 274
Pengurus Daerah, 392 Pengurus Cabang, dan 127 Pengurus Ranting, dengan jumlah
madrasah 1029 buah, 89 buah pondok pesantren dan 18 buah penguruan tinggi.
Histori Berdirinya DDI
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI), pertama kali berdiri pada 11 Januari 1938 Miladia atau 20 Dzulqaidah 1357 Hijria di Mangkoso, Sulawesi Selatan dengan nama Madrasah Arabiyah
Islamiyah (MAI). Pada tahun 1947, atas inisiatif dari
masing-masing: AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), AGH. Daud Ismail
(Kadi Soppeng), Syekh H. Abdul Rahman Firdaus dari Parepare bersama ulama-ulama
besar lainnya diadakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah wal-Jamaah
se-Sulawesi Selatan, dan salah satu keputusannya adalah membentuk organisasi
massal yang orientasinya lebih luas, yang kemudian disebut “Darud Dakwah
wal-Irsyad (DDI)”.
Deklarasi DDI dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,
bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 Hijria bertepatan dengan 17
Februari 1947, guna menghindari
kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas
dari operasi pembantaian Westerling karena pengaruh Aruppalakka.
Pendiri (Founding
Father) DDI
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) yang pada awal berdirinya tanggal 11 Januari 1938 di Mangkoso,
Sulawesi Selatan bernama Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI) didirikan oleh:
- KH. Abdurrahman Ambo Dalle dari MAI Mangkoso
- Sayyid Abdul Rahman Firdaus dari Pare-pare
- KH. Abduh Pabbaja Dari Allakuang
- KH. Alie Yafie
- KH. Abdul Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)
- KH. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng)
- KH.M. Tahir (Qadhi Balanipa Sinjai)
- KH.M Zainuddin (Qadhi Majene)
- Abdul Hafid (Qadhi Sawitto)
Dan beberapa ulama senior dan yunior lainnya pada waktu itu, serta memutuskan KH.
Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Ketua Umum, serta Gurutta KH. Muhammad Abduh Pabbaja sebagai sekjen.
DDI Berbasi Ummat dan Pesantren
Sejarah Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) sebagai organisasi
dibentuk pada 1947 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan, oleh para ulama sunni,
tepatnya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penganut faham Ahlussunah
Wal-Jama’ah. Puluhan tahun sebelumnya, para ulama ini
secara perorangan telah memiliki pondok
pesantren, atau semacamnya, yang berbasis di desa-desa.
Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI
ketika itu. Pertama,
negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke dalam satu
wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI (Majelis Ulama
Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk wadah sendiri berdasarkan
aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam konteks inilah DDI menjadi tempat berhimpun
para ulama untuk membumikan faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan bermula di
Sulawesi Selatan, dengan arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang
sebaliknya dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya.
Kedua,
pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan federalis
membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi Denpasar, dengan
ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian mendapat resistensi dari
golongan unitaris (biasa juga disebut aliran republiken), suatu golongan yang
banyak dianut oleh para penguasa lokal (tepatnya para bangsawan) di luar Kota
Makassar dan golongan terdidik di Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan
resistan ini diwujudkan dalam dua bentuk gerakan:
Pertama, gerakan
politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT; kedua, gerakan
bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa. Berikut ini beberapa
bidang penting yang menjadi basis DDI untuk merealisasikan tujuan didirikannya,
sekaligus menjadi ciri khas DDI yang juga akan menjelaskan secara otomatis
eksestensi DDI sebagai organisasi berbasis Umat dan Pesantren, sebagaimana
judul di atas:
Basis Massa (Ummat)
Beberapa organisasi
keagamaan berafiliasi kepartai politik, ada juga yang berafiliasi atau
membentuk kelaskaran tersendiri. DDI yang berbasis di desa-desa tidak membentuk
sayap kelaskaran atau sayap partai politik, bahkan karena kurang tertarik untuk
berafiliasi ke partai politik tertentu. Mungkin dilatari oleh aktifitas
kelaskaran yang banyak bergerak di desa-desa, di mana DDI berbasis, maka secara
individu beberapa orang DDI bergabung ke wadah kelaskaran tertentu, bahkan ada
di antara mereka yang menjadi tokoh penting dalam gerakan kelaskaran di
desanya.
Dalam dua bentuk konteks sejarah lahirnya DDI sebagaimana
dipaparkan secara ringkas di atas, dapat difahami sikap DDI dalam merespon
kondisi eksternal kontemporer, suatu respon yang diberikan berdasarkan situasi
jaman tertentu. DDI memberi respon secara kelembagaan
jika faktor eksternal itu menyangkut aqidah, tetapi merespon secara individual
jika kondisi eksternal berkait ke masalah profan-duniawi.
DDI juga biasanya memberi respon secara kelembagaan
terhadap kondisi eksternal sebagai maksud memperkuat eksistensi DDI dan
meningkatkan upaya pembinaan umat, terutama jika negara (pemerintah) kurang
menjangkau segmen-segmen tertentu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Dalam
konteks inilah dapat difahami upaya DDI mendirikan beberapa institusi sosial
yang kurang ditangani oleh negara; seperti: rumah bersalin, apotik, percetakan,
koperasi, dan sebagainya. Pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan
sekolah-sekolah umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-pondok
pesantren.
Basis Politik
DDI dalam menggeluti dunia
sejarahnya tidak pernah berafilisi dengan salah satu partai politik secara
kelembagaan. Kalau harus berpartisipasi aktif dalam momen politik tertentu,
misalnya Pemilu, maka orang-orang DDI (utamanya pucuk pimpinan) cenderung
melakukannya secara individu. Mungkin dengan pilihan strategi politik seperti
inilah yang membuat DDI senantiasa dipandang sebagai “gadis cantik” yang selalu
menggiurkan baik oleh pemerintah maupun kekuatan-kekuatan politik yang ada
dalam masyarakat, tidak terkecuali oleh Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya.
Praktek politik dengan bertumpu pada kapasitas individu cukup memperkaya
orang-orang DDI untuk bekerja dengan cara-cara politik demi kepentingan DDI,
dengan tanpa mengakomodasi elemen politik secara kelembagaan ke dalam institusi
DDI. Entah disengaja atau tidak, kencederungan ini masih berlangsung sampai
sekarang, dan mungkin masih dapat menjadi pilihan strategis pada masa-masa
datang. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa kini ada kelompok politik tertentu (tepatnya
politisi tertentu) yang mencoba mempautkan diri atau kelompoknya secara
kelembagaan ke DDI.
Mungkin
ini adalah strategi yang tidak terlalu salah, tetapi sayangnya dalam kelompok
ini terdapat beberapa kepentingan politik yang tidak selalu sealiran di antara
anggota kelompok itu sendiri.
Basis Pendidikan (Pesantren)
Secara kuantitas lembaga-lembaga pendidikan DDI yang kini
terdapat di 20 propinsi secara obyektif dibentuk, didirikan, dan didanai atas
swadaya masyarkat dan biasanya juga difasilitasi oleh pemeintah setempat. Peran
DDI adalah menjaga dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di
lembaga-lembaga pendidikan DDI dengan berbagai cara: penyesuaian kurikulum,
sirkulasi tenaga pengajar keberbagai daerah, studi lanjut bagi siswa ke Timur
Tengah, mendatangkan tenaga pengajar dari luar negeri, dan lain-lain cara. Harus
difahami bahwa sumbangsih negara (pemerintah) dalam pendirian lembaga-lembaga
pendidikan DDI dilakukan oleh negara bersamaan ketika pemerintah belum dapat
menyediakan pelayanan pendidikan secara mandiri, utamanya di desa-desa.
Kini
di era reformasi negara mulai serius dengan menyediakan anggaran 20 persen
dalam bidang pelayanan pendidikan, utamanya pendidikan dasar. Hal ini dibarengi
pula dengan restu pemerintah terhadap masuknya modal asing dibidang pendidikan.
Dalam kaitan dengan basis pendidikan ini , kendala lainnya yang ingin
dikemukakan di sini adalah suksesnya rezim orde baru menekan laju pertumbuhan
penduduk bersamaan dengan “dipaksakannya” penerapan kebijakan KB (Keluarga
Berencana) diawal tahun 1980-an sampai jatuhnya Soeharto dari kursi
kepresidenan. Dampaknya dibidang pendidikan adalah sejumlah sekolah (utamanya
tingkat dasar) mengalami kekurangan murid, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh badan swasta.
Realitas
dunia pendidikan sebagaimana dimaksud di atas perlu dicermati oleh
DDI jika ingin tetap eksis dalam pelayanan pendidikan formal. Beberapa strategi
yang ingin dicantumkan di sini; diantaranya:
- Bermitra dengan pemodal dalam dan luar negeri
- Mendirikan perguruan tinggi umum didaerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya
- Meningkatkan mutu pengajaran bahasa-bahasa asing; Arab, Inggris, Jepang, dan Mandarin, disetiap madrasah atau pondok pesantren
- Mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi calon dai.
Tentu
banyak lagi yang dapat dilakukan oleh DDI, catatan pentingnya adalah pada
segmen mana negara belum menjangkaunya, ke situlah DDI harus berkiprah.
Basis LSM
DDI harus cermat memilih dan menentukan peran sosial yang
ingin dilakoninya, pada satu sisi cukup besar peluang DDI untuk berperan
dibidang sosial, karena sekarang di era reformasi negara tidak cukup anggaran
untuk menyediakan dan melaksanakan sendiri semua peran, sehingga yang dilakukan
oleh negara adalah memfokuskan diri pada peran tertentu yang diwajibkan oleh
konstitusi.
Pada
sisi lain, dengan berkurangnya peran negara, banyak peran sosial yang kini
ditekuni secara sungguh-sungguh oleh organisasi-organisi non pemeintah,
utamanya LSM. Tidak dapat disangkal bahwa banyak LSM yang lebih profesional
dalam menangani bidang-bidang sosial kemasyarakatan dibanding organisasi
kemasyarakatan lainnya yang mungkin usianya jauh lebih tua. Masih luas peluang
bagi DDI untuk berperan aktif di bidang sosial. Fakta membuktikan bahwa
perhatian LSM selalu fokus pada masalah tertentu, tetapi sering bersifat
instan. Karenanya, terbuka peluang bagi DDI untuk bermitra dengan LSM, bagaimana
bentuknya kerjasama itu?, sehingga agenda-agenda LSM dapat disinergikan dengan
program-program DDI.
Selain
itu, perlu kecermatan untuk melihat peran sosial yang kurang mendapat perhatian
dari negara dan belum dijangkau oleh LSM. Mungkin juga DDI dapat menciptakan
beberapa sayap, baik secara permanen maupun secara temporer, untuk merumuskan
dan menangani secara serius peran-peran sosial tertentu. Dalam kaitan dengan
saya-sayap ini, tidak terlalu salah untuk melakukan kerjasama dengan lembaga
lainnya, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
Basis Ketokohan (Pigur)
Salah
satu statemen masyarakat luas tentang sejarah ketokohan di DDI adalah
sentralisasi figur pada orang tertentu, tepatnya pucuk pimpinannya saja.
Statemen ini tidak terlalu salah, walaupun mungkin kurang obyektif. Ketika K.H.
Abdurrahman Ambo Dalle masih hidup, selalu pucuk pimpinan DDI, terdapat
beberapa orang DDI yang menjadi tokoh dan ditokohkan karena peran mereka pada
bidang yang mereka masing-masing tekuni. Hanya saja, kebanyakan orang DDI yang
ditokohkan oleh masyarakat ketika itu tidak serta-merta melengketkan
simbol-simbol DDI pada dirinya. Ini adalah satu doktorin DDI kepada setiap
kadernya untuk tidak mengikutkan simbol-simbol DDI jika mereka berperan di luar
kelembagaan DDI, karena hanya dengan doktrin inilah yang memungkinkan DDI sejak
dulu sampai sekarang dapat terlepas dari kemungkinan praktek KKN (Kolusi,
Korupsi, Nepotisme).
Salah satu hal yang kurang difikirkan pada masa
kepemiminan K.H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah penciptaan kader yang dapat
menjadi tokoh dan ditokohkan dengan “satu badan seribu wajah”, sebagaimana yang
terdapat pada diri beliau yang kini menjadi mitos dalam beribu wujud. K.H.
Abdurrahman Ambo Dalle ke mana-mana hanya berbadan satu, tidak ada selain DDI,
untuk DDI, dan hanya DDI, tetapi wajahnya dibentuk (ditokohkan) oleh berbagai
kalangan. Setelah K.H. Abdurrahman Ambo Dalle meninggal yang ikut terkuburkan
ternyata bukan hanya jasad beliau, tetapi badan yang satu, DDI, nyaris pula
dikafani oleh orang-orang tertentu atau kelompok tertentu yang hanya mengenal
beliau dari satu sisi wajah sejarah, tetapi mewujudkannya dalam beribu wajah
mitos berdasarkan kepentingan politiknya.
Di era reformasi sekarang harus ada upaya sistimatis
untuk tetap menghidupkan dan memakmurkan badan yang satu itu, DDI dengan
menciptakan kader sebanyak mungkin yang nantinya dapat menjadi tokoh dan
ditokohkan oleh masyarakat. Mungkin wajah (ketokohan)
mereka sangat spesifik, tetapi itu cukup penting selama wajah yang spesifik itu
terdapat nur DDI.
Regenerasi DDI (Passelle Pasau)
Semestinya dan kami sangat mengharapkan peran aktif PB (Pengurus
Besar) DDI meningkatkan, mengoptimalkan dan memfasiltiasi - jika perlu - wadah-wadah pengkaderan yang ada ditubuh
DDI seperti IMDI (Ikatan Mahasiswa DDI), IPDI (Ikatan Pemuda DDI, (FADI
(Fatayat DDI), IADI (Ikatan Alumni DDI). Serta mendukung dan mensupport penuh
setiap wadah-wadah pengkaderan baru yang didirikan oleh warga DDI yang
meginginkan perbaikan, seperti IADI (Ikatan Alumni DDI) Yogyakarta yang
mendeklarasikan kelahirannya hari ini, dan IAPDIKA (Ikatan Alumni Pesantren DDI
Kaballangang) yang akan dideklarasikan pula pada 25 Mei 2013 mendatang di
Makassar.
Karena institusi-instansi ini sangat potensial melahirkan
“Passelle-passelle pasau” (kader-kader multi talenta), sehingga pada
setiap kesempatan kader-kader DDI dapat tampil prima pada semua lini, dan pada
waktunya kader-kader itu dapat tampil sebagai tokoh yang cukup menentukan
jalannya sejarah dalam bidang ketokohannya.
Secara
internal DDI telah mengatur dalam anggaran dasarnya tentang proses regeranasi
dalam kepemimpinan DDI. Maka suatu
kecelakaan sejarah jika pengurus IMDI, IADI, IAPDIKA, IP DDI, dan FADI, tidak melakukan upaya-upaya antisipatif
terhadap proses regenerasi kepemimpinan DDI. Dimaksudkan kecelakaan sejarah,
karena organisasi tradsional sekalipun selalu memiliki elemen yang terencana
tentang proses regenerasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
mempersiapkan “Passelle Pasau” (calon
pengganti yang multi talenta). Salah seorang
tokoh dalam pewayangan Jawa memilih cara “dibunuh” oleh orang lain yang
telah lama dikader dan dipersiapkannya untuk mengganti kempimpinannya, karena
putera mahkota yang memenuhi syarat menurut aturan adat tidak memiliki keterampilan dan kecerdasan
yang justru sangat dibutuhkan dalam mengukir sejarah dinasti itu.
Jakarta, 02 Mei 2013
No comments:
Post a Comment