Petikan Wawancara Tim IMC dengan Drs. KH. Helmy Ali
By: Rahman Yanse
Dalam pertemuan Tudang sipulung di Samarinda, untuk
pertama kalinya sejak IAPDIKA dibentuk, gerakan perubahan yang disuarakan
mendapat dukungan dari banyak pihak, ratusan alumni dan tokoh DDI dari berbagai
daerah memenuhi ruangan balai kota pemkot Samarinda memberi dukungan dan
mendengarkan orasi IAPDIKA, kegiatan orasi ini merupakan bagian dari program
sosialisasi gerakan perubahan yang disuarkan IAPDIKA keberbagai daerah, dan
sejak terbentuknya IAPDIKA sudah melakukan berbagai kegiatan diantaranya
membentuk caban regional di setiap provinsi dan kota, melakukan rakernas, membuat
perhelatan “tudang sipulung” seperti saat ini dan, InsyaAllah, pada tanggal
25 Mai mendatang akan diadakan deklarasi dan Dialog Nasional, melihat berbagai
kegiatan dan agenda yang telah dan akan dilakukan IAPDIKA sebagai bagian dari
gerakan moral yang diperjuangkannya.
Tobloid IAPDIKA dan IAPDIKA Media Centre (IMC) melakukan
wawancara dengan berbagai tokoh DDI dan salah satu di antaranya yang dikenal
sebagai Tokoh LSM dan cukup akrab dengan alumni DDI adalah Bapak Drs. KH. Helmy
Ali Yafie berikut petikan wawancarnya:
IAPDIKA Media Centre :
Apa pandangan Bapak tentang IAPDIKA yang baru saja
muncul dalam pergerakan perubahan ditubuh DDI?
Helmy Ali Yafie:
IAPDIKA ini unik,,,, muncul setelah melihat secara
langsung sebuah realitas, bahwa tempat yang dulu membentuk mereka menjadi orang
seperti sekarang ini, ternyata telah berubah. Kabalangang sudah tidak lagi
memiliki fondasi dan roh, sebagimana yang mereka kenal dulu. Tidak ada lagi yang
bisa dibanggakan disitu. Menurut mereka Kabalangang sekarang tidak lebih dari
sebuah hutan bangunan yang berantakan. Dalam perkembangannya kemudian mereka
melihat bahwa sebenarnya ada yang lebih dalam dari itu. Kalabalangang menjadi
seperti itu karena DDI, organisasi yang menaunginya telah keluar dari jalurnya,
sebagai organisasi pendidikan dan da’wah. Kondisi DDI yang penuh dengan konflik
dan intrik mempengaruhi keadaan Kaballangang seperi sekarang ini. Jadi tidak
cukup memperbaiki Kaballangang.
Sebenarnya, kalau diperhatikan secara cermat, sudah
sejak lama ada orang galau dengan situasi DDI, dan mencoba membangun gerakan
semacam ini, untuk mengembalikan DDI pada jalurnya. Hanya saja tidak sebesar
sekarang ini, mungkin karena tidak dikomunikasikan dengan baik dan tidak
diorganisir secara baik. Mungkin karena aktor-aktornya memiliki kendala dan
trauma. Aktor-aktor itu tidak cukup solid, tidak mendapat dukungan. Karena yang
diajak kebanyakan memiliki hambatan psychologis. Misalnya banyak diantara
mereka adalah pegawai negeri, yang memiliki ketakutan terndiri. Takut
kehilangan posisi, atau dilemparkan ketempat terpencil, dan sebagainya. Kondisi
mental seperti itu bisa dimainkan dengan sangat baik oleh pihak tertentu yang
memiliki kepentingan dalam DDI. Isue itu menjadi semacam teror bagi yang
bersikap kritis. Maka banyak yang takut berbeda dengan arus utama yang memegang
kendali. Efeknya aktor-aktor yang mencoba menggalang dukungan itu tidak hanya
tidak memperoleh dukungan tetapi juga dipinggirkan atau diisolasi. Maka gerakan
semacam ini menjadi timbul tenggelam.
Tetapi gerakan ini sekarang berbeda. Ini di motori
dan didukung oleh sebuah generasi baru, yang relative independen, yang memiliki
pengalaman berbeda dengan yang sebulumnya. Mereka tidak lagi bisa ditakut-takuti
dengan ancaman kehilangan mata pencaharian.
IAPDIKA Media Centre :
Bagaimana pandangan anda terhadap DDI sekarang ini?
apakah memang dianggap terpuruk atau bagaimana?
Helmy Ali Yafie:
Tentu ini ada kaitannya dengan keadaan DDI
sekarang, atau beberapa tahun belakangan ini. DDI, yang merupakan organisasi
pendidikan dan da’wah, yang berbasis pada pesantren, dianggap telah keluar dari
jalur, dan karena itu kehilangan roh dan arah. Badannya tetap pendidikan dan
da’wah, tetapi tanpa roh pendidikan ada da’wah, lebih mirip organisasi politik.
Coba saja lihat kalau ada muktamar, atau konprensi, suasana tidak berbeda
dengan muktamar sebuah parpol. Peserta di mobilisasi sedemikian rupa untuk
mempengaruhi suasana rapat untuk memenangkan suatau kepentingan tertentu.
Suasananya hingar binger, penuh ketegangan, pokoknya menakutkan deh.
Kekuatan-kekuatan luar diundang masuk untuk menyelesaikan persolan. Ini kan
artinya tidak percaya kepada kawan. Logikanya kan, seharusnya kalau persoalan
internal ya kita pecahkan bersama, tanpa campur tangan dari luar.
Lebih jauh, perhatian peserta didorong hanya fokus
kepada pemilihan pemimpin. Tema utama muktamar adalah siapa yang akan menjadi “ketua”,
bukan program atau kegiatan (untuk kestabilan dan kemajuan pendidikan); kalaupun
(program) dibicarakan itu hanya prioritas kesekian. Jadi memang orang tidak
melihat lagi, “dari mana mau kemana DDI dan ada dimana DDI” tidak dipersoalkan.
Setelah pemimpin terpilih maka segala persoalan sudah selesai. Selanjutnya mau
dibawah kemana DDI, ya terserah pemimpin saja. Hal seperti itu tidak pernah
terjadi di zaman generasi pertama DDI.
Karena hanya bicara pemipin, atau kekuasaan, maka
terjadi intrik-intrik, lalu orang saling menyudutkan, saling melecehkan. Jangan
kepada sesama kawan, saudara seperguruan, kapada guru pun tidak apa
penghargaan.
Efek yang lebih jauh adalah DDI kehilangan
kewibawaan. DDI sebenarnya sebagai sebuah organisasi cakupannya Nasional.
Tetapi sekarang ini secara nasional DDI tidak cukup dikenal. Dulu, pada
masa-masa generasi pertama, nama DDI cukup harum sampai ketingkat nasional.
Saya kira nama-nama seperti Anregurutta Ambodalle, Anregurutta Pabbaja, dan
Anregurutta Ali Yafie, bukan nama asing di tingkat nasional. Beliau-beliau itu
misalnya aktif di MUI dan mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di MUI.
Boleh jadi beliau-beliau tidak datang ke MUI sebagai utusan DDI, tetapi semua
orang tahu kalau beliau-beliau adalah tokoh DDI. Ditingkat nasional orang
perorang atau institusi meminta fatwa kepada beliau-beliau itu jika menghadapi
persoalan yang sulit dipecahkan. Beliau-beliau menjadi rujukan. Bahkan suaranya
bisa mempengaruhi sebuah kebijakan di tingkat nasional; tidak hanya pada social
keagamaan dan pendidikan.
Itu tidak berarti bahwa tokoh-tokoh sekarang tidak
memiliki kualitas memadai. Saya kira ada banyak tokoh DDI sekarang ini yang kualitas
keilmuanya tidak di ragukan. Tetapi tokoh-tokoh tersebut tidak cukup memperoleh
kesempatan untuk tampil ditingkat nasional, karena tidak di fasilitasi oleh
organisasi.
Ini ada kaitannya dengan kepemimpinan organisasi.
Pada Zaman gurutta, atau generasi pertama, sangat menonjolkan kebersamaan,
penghargaan satu sama lain. Mementingkan kemaslahataan umum. Gurutta memang ada
dipuncak hirarky, dan selalu menjadi kata akhir, tetapi dalam proses-proses
pengambilan keputusan Beliau selalu meminta pandangan yang lain. Beliau
memutuskan berdasarkan masukan-masukan dan pertimbangan-pertimbangan yang lain.
Selalu ada musyawarah. Tentu ada perbedaan, karena perbedaan karakter, tetapi
perbedaan itu dikelola dengan penuh empati, sehingga santun. Kepemimpinan pada
generasi pertama itu, kurang lebih sama dengan apa yang kita kenal sekarang ini
dengan istilah “kepemimpinan kolektif”, atau kepemimpinan yang
partipatif-demokratis. Sangat aspiratif (mendengar suara yang datang dari
bawah). Maka birokrasi yang dibangun pun tidak kaku dan berbelit.
Yang juga menonjol adalah saling mempromosikan,
saling mendahulukan. Yang lebih senior menyiapkan dan memberi panggung kepada
yang lebih muda, atau yang sudah memperoleh banyak kesempatan member ruang
kepada yang belum memperoleh kesempatan. Tidak saling memotong, atau saling
meminggirkan, maka kemudian tidak heran kalau kemudian banyak tokoh yang bisa
tampil dipanggung-panggung regional dan nasional.
IAPDIKA Media Center:
Anda cukup dekat dengan kader-kader DDI yang pro
status qou. hal ini ditandai dengan kedatangan beberapa alumni Kaballangang ke
kediaman anda di Jampue dan menyampaikan kepada anda bahwa tidak pantas
menyandingkan pa Rusdy dengan pa Muiz dalam muktamar karena kasihan nanti pa Rusdy....
bagaimana anda melihat permintaan ini?
Helmy Ali Yafie:
Saya kira tidak kejadian seperti itu. Tetapi oke,
Kita bicara soal kepemimpinan DDI. Kalau melihat keadaan sekarang ini tampaknya
memang DDI, kalau mau berdiri tegak dengan kokoh dalam masyarakat, memerlukan
orang-orang memiliki memahami visi-misi organisasi (DDI sebagai organisasi
pendidikan dan da’wah, yang berpijak pada ajaran Islam Ahlussunnah awal
Jama’ah) secara utuh, memiliki keluasan hubungan, dan memiliki komitmen untuk
membangun kembali DDI pada jalurnya (sebagai organisasi pendidikan dan dakwah,
seperti yg saya sebuatkan diatas), memiliki pemahaman tentang sejarah DDI.
Orang-orang seperti ini sebenarnya ada sekarang ini. Mereka itu memiliki
karakter yang sangat kuat, sebagai “orang DDI”, mati-hidupnya bersama DDI.
Sekarang ini yang memiliki karakter seperti ada beberapa orang, salah satunya
Bapak Dr. KH. Rusdy. Kepemimpinan Bapak Rusdy tidak diragukan, sebab dia lahir
dan besar bersama DDI. Beliau mengalami pahit getir DDI. Tidak ada orang yang
lebih merepresentasikan keadaan DDI sebenarnya, kesakitan DDI, kecuali beliau
itu.
Saya kira tidak ada orang yang meragukan
kepemimpinan beliau itu. Sebab segala persyaratan (keilmuan dan karakter) ada
pada beliau. Kalau memang orang DDI tulen yang melakukan pemilihan (untuk menentukan
pimpinan DDI) maka bisa dikatakan otomatis pilihan itu jatuh kepada beliau.
Tetapi pertanyaan adalah apakah forum pemilihan hanya diikuti oleh orang DDI
tulen. Kalau tidak, muktamar itu rawan untuk di manipulasi, dan kalau itu
terjadi maka keadaannya menjadi berbeda. Kalau bercermin pada pengalaman masa
lalu, atau proses-proses pemilihan diberbagai tempat sekarang ini, kekhawatiran
ini cukup beralasan.
IAPDIKA Media Center:
Menurut pandangan anda apakah kader-kader IAPDIKA
dan “passelle pasau” yang dicanangkan oleh anak-anak IAPDIKA diharapkan
akan mampu membawa DDI ke arah yang lebih baik?
Helmy Ali Yafie:
Seperti yang sebutkan tadi DDI sekarang mengalami
apa yang disebut berjalan ditempat, atau bahkan berjalan mundur, dan itu yang
mendorong munculnya gerakan dari kalangan anak muda DDI, yang tergabung dalam
IAPDIKA. Ini generasi baru, yang relative merdeka dan mandiri. Mereka tidak
terbebani oleh kepentingan-kepentingan pihak-pihak dari luar DDI yang memiliki
kepentingan terhadap DDI. Mereka bergerak karena risau dengan keadaan yang saya
sebutkan tadi.
Jadi ini gerakan tidak didasarkan atas pertimbangan
untung-rugi, tetapi ini adalah panggilan hati. Ini murni. Bebas dari
kepentingan politik. Ini sebenarnya bisa disebut “gerakan moral”. Semata-mata
untuk mengembalikan DDI pada jalurnya, supaya DDI bisa berdiri kokoh di tengah
masyarakat yang tergerus oleh proses modernisas itu yang seringkali tidak
manusiawi.
IAPDIKA Media Center:
Seandainya nanti IAPDIKA berhasil melakukan
terorbosan baru dalam DDI, apakah anda siap menjadi salah satu pigur di DDI
khususnya membantu DDI di tingkat nasional.
Helmy Ali Yafie:
Saya kira ada banyak tokoh yang lebih kompoten.
Barangkali kapasitas saya tidak cukup untuk menjadi figure. Tetapi sebagai
orang lahir dari rahim DDI, maka menjadi kewajiban bagi saya untuk membantu
DDI, tentu sesuai dengan kapasitas yang saya miliki.
IAPDIKA Media Center:
Saat ini masih banyak anak-anak DDI yang kurang
mendukung pergerakan IAPDIKA, apa saran anda kepada anak IAPDIKA dan anak-anak
DDI lainnya yang tidak mau bergabung ke dalam IAPDIKA?
Helmy Ali Yafie:
Begini, sebenarnya kita seringkali tidak menyatakan
pendapat sendiri, tetapi menyatakan pendapat orang lain, bahkan kita sering
tidak memilih sesuai dengan pilihan kita tetapi lebih banyak memilih pilihan
orang lain. Itu karena kita tidak jernih melihat persoalan. Kekaburan pandangan
kita bisa macam-macam penyebabnya. Mungkin karena bujukan orang lain yang
memang memiliki kemampuan membujuk luar biasa, karena bisa memberi janji-janji
(pangkat, jabatan, dsb) yang masuk akal, dan sebagainya. Bisa juga karena kita
diberi sesuatu, misalnya uang, atau jasa tertentu,yang membuat kita merasa
berhutang budi. Bisa juga karena dia memanipulasi perasaan-perasaan (sentiment)
kita. Itu sih manusiawi. Tetapi perlu kita lakukan sebenarnya membangun
kemampuan untuk melihat hal-hal mendasar yang punya konsekuensi luas dan dalam
terhadap kehidupan. Tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Satu dua fakta
belumlah cukup untuk sebuah kesimpulan. Memang tidak baik menunda-nunda
kesimpulan. Tetapi terburu-buru mengambil kesimpulan bisa berakibat fatal.
Dalam hal seperti ini kita perlu cermat untuk dapat melihat persoalan secara
jernih.
IAPDIKA Media Center:
Kira-kira pertemuan silaturrahim warga DDI di Samarinda
ini memiliki bobot untuk mempersatukan warga DDI?
Helmy Ali Yafie:
Saya kira banyak hal yang dibicarakan dalam acara
silaturrahmi di Samarinda, baik yang dilakukan secara formal maupun yang tidak
formal. Misalnya bahwa salah satu mimpi semua orang, semua unsure dalam DDI
adalah “DDI yang satu” sebagai sebuah organisasi dan sebagai sebuah gerakan
pendidikan dan dakwah. Adanya dua DDI ini karena terpaksa. Itu terjadi karena
DDI dianggap telah keluar dari jalur, dan kehilangan roh. Kalau ada gerakan
untuk mengembalikan DDI ke jalurnya, mengembalikan semangatnya, maka tidak akan
ada lagi dua DDI. Tetapi kalau itu tidak dilakukan maka tidak hanya ada dua, tetapi
mungkin ada tiga, empat DDI dan seterusnya. Ini adalah sebuah landasan. Artinya
pertemuan Samarinda memberikan landasan bergerak yang cukup jelas untuk
bergerak memperbaiki keadaan yang ada sekarang ini.
IAPDIKA Media Center:
Konsep apa kira kira yang harus dibuat dalam
kepemimpinan lembaga DDI sehingga tidak ada perpecahan antara DDI sebagaimana
sekarang ini?
Helmy Ali Yafie:
Saya kira kita harus kembali kepada prinsip-prinsip
kepemimpinan (keiikhlasan, pengabdian, mengutamakan kemashlahatan umum,
keberpihakan) yang pernah diajarkan dan dipraktekkan oleh Gurutta, kepemimpinan
yang menjadi khas pada para ulama. Boleh jadi kedengaran tidak realistis
sekarang. Tetapi itulah prinsip. Itu yang kemudian memberikan landasan,
sehingga pemimpin bisa mendengarkan, bisa memberdayakan umatnya, para
pengikutnya. Mendidik dan Memfasilitasi mereka sehingga menjadi manusia yang
utuh dan seimbang. Memang sekarang ini banyak dikembangkan mitos (modernisasi)
bahwa nilai-nilai seperti itu tidak relevan. Kita lebih banyak didorong menjadi
orang yang lebih invidualistik dan pragmatis; kita kemudian melakukan sesuatu
atas dasar pertimbangan untung-rugi. Banyak diantara kita yang termakan oleh
mitos modern itu, dan efeknya adalah berada kondisi seperti yang dialami DDI
sekarang ini; terbelah. Itu mitos, yang menjauhkan kita dari nilai-nilai yang
menjadi landasan kita bertindak, dan itu tampaknya dikembangkan agar kita bisa
dikontrol. Tetapi lihat apa yang dilakukan oleh kawan-kawan IAPDIKA ini. Mereka
melakukan itu semua tanpa pertimbangan untung rugi, penuh dengan semangat
kebersamaan, untuk sebuah cita-cita luhur.
Tegasnya DDI perlu kembali kepada kepemimpinan
ulama dengan ciri seperti yang saya sebutkan di atas. Kepemimpinan yang
mendidik, mencerdaskan, menguatkan dan memberdayakan orang; bukan yang
memperdayakan. Boleh jadi karakter itu tidak dimiliki satu orang, maka
kepemimpinan kolektif juga bisa menjadi salah satu opsi. Yang jelas, orang yang
mempimpin DDI seharusnya adalah Ulama, dengan basis dan tradisi pesantren (DDI)
yang jelas. Dulu ada yang mengatakan bahwa ulama itu lemah dalam manajemen.
Saya kira itu juga mitos. Buktinya dulu (generasi pertama) DDI bisa jalan
dengan sangat baik, dan besar; di tangan para ulama.
No comments:
Post a Comment