Monday, May 6, 2013

GEMA DEKLARASI IADI YOGYAKARTA: "DDI ANTARA TITIK DAN KOMA"



Histori DDI Sebagai Ormas Berbasis Ummat dan Pesantren

Oleh: Dr. KH. M.A. Rusdy Ambo Dalle

Prolog
Darud Dakwah wal-Irsyad disingkat DDI, merupakan organisasi massa (ormas) Islam terbesar di Indonesia timur dan terbesar ketiga nasional setelah Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Salah satu harapan besar para tokoh founding father saat mendeklarasikan berdirinya ormas ini adalah perlunya membangun sistem pendidikan berbasis kemasyarakatan; menggiatkan bidang dakwah dan sosial kemaslahatan umat yang luas.

Untuk membina pribadi-pribadi muslim yang cakap dan bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni dikalangan umat Islam; dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang  mempertaruhkan jiwa raganya demi mengusir kolonialisme dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.

DDI kini dalam perkembangannya telah tersebar di 20 propinsi dipelosok tanah air seluruhnya ditangani 8 Pengurus Wilayah, 274 Pengurus Daerah, 392 Pengurus Cabang, dan 127 Pengurus Ranting, dengan jumlah madrasah 1029 buah, 89 buah pondok pesantren dan 18 buah penguruan tinggi.

Histori Berdirinya DDI
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI), pertama kali berdiri pada 11 Januari 1938 Miladia atau 20 Dzulqaidah 1357 Hijria di Mangkoso, Sulawesi Selatan dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Pada tahun 1947, atas inisiatif dari masing-masing: AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), AGH. Daud Ismail (Kadi  Soppeng), Syekh H. Abdul Rahman Firdaus dari Parepare bersama ulama-ulama besar lainnya diadakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah wal-Jamaah se-Sulawesi Selatan, dan salah satu keputusannya adalah membentuk organisasi massal yang orientasinya lebih luas, yang kemudian disebut “Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI)”.

Deklarasi DDI dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 Hijria bertepatan dengan 17 Februari 1947,  guna menghindari kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerling karena pengaruh Aruppalakka.

Pendiri (Founding Father) DDI
Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) yang pada awal berdirinya tanggal 11 Januari 1938 di Mangkoso, Sulawesi  Selatan bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) didirikan oleh:

  1. KH. Abdurrahman Ambo Dalle dari MAI Mangkoso
  2. Sayyid Abdul Rahman Firdaus dari Pare-pare
  3. KH. Abduh Pabbaja Dari Allakuang
  4. KH. Alie Yafie
  5. KH. Abdul Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)
  6. KH. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng)
  7. KH.M. Tahir (Qadhi Balanipa Sinjai)
  8. KH.M Zainuddin (Qadhi Majene)
  9. Abdul Hafid (Qadhi Sawitto) 

Dan beberapa ulama senior dan yunior lainnya pada waktu itu, serta memutuskan KH. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Ketua Umum, serta Gurutta KH. Muhammad Abduh Pabbaja sebagai sekjen.

DDI Berbasi Ummat dan Pesantren
Sejarah Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) sebagai organisasi dibentuk pada 1947 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan, oleh para ulama sunni, tepatnya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai penganut faham Ahlussunah Wal-Jama’ah. Puluhan tahun sebelumnya, para ulama ini secara perorangan telah memiliki pondok pesantren, atau semacamnya, yang berbasis di desa-desa.

Ada dua konteks sejarah yang menjadi rahim lahirnya DDI ketika itu. Pertama, negara (pemerintah) belum tergerak untuk menghimpun para ulama ke dalam satu wadah, sebagaimana yang kita kenal sekarang dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Karenanya, para ulama berusaha membentuk wadah sendiri berdasarkan aliran keagamaan yang mereka anut. Dalam konteks inilah DDI menjadi tempat berhimpun para ulama untuk membumikan faham Ahlussunnah Wal-Jamaah, dengan bermula di Sulawesi Selatan, dengan arus dari desa ke kota, suatu arus gerak yang sebaliknya dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya.

Kedua, pada akhir Desember 1946 Belanda berkerjasama dengan golongan federalis membentuk NIT (Negara Indonesia Timur) melalui Konferensi Denpasar, dengan ibukotanya Makassar. Realitas politik yang demikian mendapat resistensi dari golongan unitaris (biasa juga disebut aliran republiken), suatu golongan yang banyak dianut oleh para penguasa lokal (tepatnya para bangsawan) di luar Kota Makassar dan golongan terdidik di Kota Makassar. Kombinasi kedua golongan resistan ini diwujudkan dalam dua bentuk gerakan

Pertama, gerakan politik melalui institusi formal; yakni Parlemen NIT; kedua, gerakan bersenjata melalui kelaskaran yang berbasis di desa-desa. Berikut ini beberapa bidang penting yang menjadi basis DDI untuk merealisasikan tujuan didirikannya, sekaligus menjadi ciri khas DDI yang juga akan menjelaskan secara otomatis eksestensi DDI sebagai organisasi berbasis Umat dan Pesantren, sebagaimana judul di atas:

Basis Massa (Ummat)
Beberapa organisasi keagamaan berafiliasi kepartai politik, ada juga yang berafiliasi atau membentuk kelaskaran tersendiri. DDI yang berbasis di desa-desa tidak membentuk sayap kelaskaran atau sayap partai politik, bahkan karena kurang tertarik untuk berafiliasi ke partai politik tertentu. Mungkin dilatari oleh aktifitas kelaskaran yang banyak bergerak di desa-desa, di mana DDI berbasis, maka secara individu beberapa orang DDI bergabung ke wadah kelaskaran tertentu, bahkan ada di antara mereka yang menjadi tokoh penting dalam gerakan kelaskaran di desanya.

Dalam dua bentuk konteks sejarah lahirnya DDI sebagaimana dipaparkan secara ringkas di atas, dapat difahami sikap DDI dalam merespon kondisi eksternal kontemporer, suatu respon yang diberikan berdasarkan situasi jaman tertentu. DDI memberi respon secara kelembagaan jika faktor eksternal itu menyangkut aqidah, tetapi merespon secara individual jika kondisi eksternal berkait ke masalah profan-duniawi.

DDI juga biasanya memberi respon secara kelembagaan terhadap kondisi eksternal sebagai maksud memperkuat eksistensi DDI dan meningkatkan upaya pembinaan umat, terutama jika negara (pemerintah) kurang menjangkau segmen-segmen tertentu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Dalam konteks inilah dapat difahami upaya DDI mendirikan beberapa institusi sosial yang kurang ditangani oleh negara; seperti: rumah bersalin, apotik, percetakan, koperasi, dan sebagainya. Pada level lembaga pendidikan, DDI juga aktif mendirikan sekolah-sekolah umum, bahkan melakukan feksibilitas kurikulum di pondok-pondok pesantren.

Basis Politik
DDI dalam menggeluti dunia sejarahnya tidak pernah berafilisi dengan salah satu partai politik secara kelembagaan. Kalau harus berpartisipasi aktif dalam momen politik tertentu, misalnya Pemilu, maka orang-orang DDI (utamanya pucuk pimpinan) cenderung melakukannya secara individu. Mungkin dengan pilihan strategi politik seperti inilah yang membuat DDI senantiasa dipandang sebagai “gadis cantik” yang selalu menggiurkan baik oleh pemerintah maupun kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat, tidak terkecuali oleh Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya. Praktek politik dengan bertumpu pada kapasitas individu cukup memperkaya orang-orang DDI untuk bekerja dengan cara-cara politik demi kepentingan DDI, dengan tanpa mengakomodasi elemen politik secara kelembagaan ke dalam institusi DDI. Entah disengaja atau tidak, kencederungan ini masih berlangsung sampai sekarang, dan mungkin masih dapat menjadi pilihan strategis pada masa-masa datang. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa kini ada kelompok politik tertentu (tepatnya politisi tertentu) yang mencoba mempautkan diri atau kelompoknya secara kelembagaan ke DDI.

Mungkin ini adalah strategi yang tidak terlalu salah, tetapi sayangnya dalam kelompok ini terdapat beberapa kepentingan politik yang tidak selalu sealiran di antara anggota kelompok itu sendiri.

Basis Pendidikan (Pesantren)
Secara kuantitas lembaga-lembaga pendidikan DDI yang kini terdapat di 20 propinsi secara obyektif dibentuk, didirikan, dan didanai atas swadaya masyarkat dan biasanya juga difasilitasi oleh pemeintah setempat. Peran DDI adalah menjaga dan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan DDI dengan berbagai cara: penyesuaian kurikulum, sirkulasi tenaga pengajar keberbagai daerah, studi lanjut bagi siswa ke Timur Tengah, mendatangkan tenaga pengajar dari luar negeri, dan lain-lain cara. Harus difahami bahwa sumbangsih negara (pemerintah) dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan DDI dilakukan oleh negara bersamaan ketika pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan pendidikan secara mandiri, utamanya di desa-desa.

Kini di era reformasi negara mulai serius dengan menyediakan anggaran 20 persen dalam bidang pelayanan pendidikan, utamanya pendidikan dasar. Hal ini dibarengi pula dengan restu pemerintah terhadap masuknya modal asing dibidang pendidikan. Dalam kaitan dengan basis pendidikan ini , kendala lainnya yang ingin dikemukakan di sini adalah suksesnya rezim orde baru menekan laju pertumbuhan penduduk bersamaan dengan “dipaksakannya” penerapan kebijakan KB (Keluarga Berencana) diawal tahun 1980-an sampai jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Dampaknya dibidang pendidikan adalah sejumlah sekolah (utamanya tingkat dasar) mengalami kekurangan murid, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh badan swasta.

Realitas dunia pendidikan sebagaimana dimaksud di atas perlu dicermati oleh DDI jika ingin tetap eksis dalam pelayanan pendidikan formal. Beberapa strategi yang ingin dicantumkan di sini; diantaranya:

  • Bermitra dengan pemodal dalam dan luar negeri
  • Mendirikan perguruan tinggi umum didaerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya
  • Meningkatkan mutu pengajaran bahasa-bahasa asing; Arab, Inggris, Jepang, dan Mandarin, disetiap madrasah atau pondok pesantren
  • Mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi calon dai.

Tentu banyak lagi yang dapat dilakukan oleh DDI, catatan pentingnya adalah pada segmen mana negara belum menjangkaunya, ke situlah DDI harus berkiprah.

Basis LSM
DDI harus cermat memilih dan menentukan peran sosial yang ingin dilakoninya, pada satu sisi cukup besar peluang DDI untuk berperan dibidang sosial, karena sekarang di era reformasi negara tidak cukup anggaran untuk menyediakan dan melaksanakan sendiri semua peran, sehingga yang dilakukan oleh negara adalah memfokuskan diri pada peran tertentu yang diwajibkan oleh konstitusi.

Pada sisi lain, dengan berkurangnya peran negara, banyak peran sosial yang kini ditekuni secara sungguh-sungguh oleh organisasi-organisi non pemeintah, utamanya LSM. Tidak dapat disangkal bahwa banyak LSM yang lebih profesional dalam menangani bidang-bidang sosial kemasyarakatan dibanding organisasi kemasyarakatan lainnya yang mungkin usianya jauh lebih tua. Masih luas peluang bagi DDI untuk berperan aktif di bidang sosial. Fakta membuktikan bahwa perhatian LSM selalu fokus pada masalah tertentu, tetapi sering bersifat instan. Karenanya, terbuka peluang bagi DDI untuk bermitra dengan LSM, bagaimana bentuknya kerjasama itu?, sehingga agenda-agenda LSM dapat disinergikan dengan program-program DDI.

Selain itu, perlu kecermatan untuk melihat peran sosial yang kurang mendapat perhatian dari negara dan belum dijangkau oleh LSM. Mungkin juga DDI dapat menciptakan beberapa sayap, baik secara permanen maupun secara temporer, untuk merumuskan dan menangani secara serius peran-peran sosial tertentu. Dalam kaitan dengan saya-sayap ini, tidak terlalu salah untuk melakukan kerjasama dengan lembaga lainnya, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.

Basis Ketokohan (Pigur)
Salah satu statemen masyarakat luas tentang sejarah ketokohan di DDI adalah sentralisasi figur pada orang tertentu, tepatnya pucuk pimpinannya saja. Statemen ini tidak terlalu salah, walaupun mungkin kurang obyektif. Ketika K.H. Abdurrahman Ambo Dalle masih hidup, selalu pucuk pimpinan DDI, terdapat beberapa orang DDI yang menjadi tokoh dan ditokohkan karena peran mereka pada bidang yang mereka masing-masing tekuni. Hanya saja, kebanyakan orang DDI yang ditokohkan oleh masyarakat ketika itu tidak serta-merta melengketkan simbol-simbol DDI pada dirinya. Ini adalah satu doktorin DDI kepada setiap kadernya untuk tidak mengikutkan simbol-simbol DDI jika mereka berperan di luar kelembagaan DDI, karena hanya dengan doktrin inilah yang memungkinkan DDI sejak dulu sampai sekarang dapat terlepas dari kemungkinan praktek KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme).

Salah satu hal yang kurang difikirkan pada masa kepemiminan K.H. Abdurrahman Ambo Dalle adalah penciptaan kader yang dapat menjadi tokoh dan ditokohkan dengan “satu badan seribu wajah”, sebagaimana yang terdapat pada diri beliau yang kini menjadi mitos dalam beribu wujud. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle ke mana-mana hanya berbadan satu, tidak ada selain DDI, untuk DDI, dan hanya DDI, tetapi wajahnya dibentuk (ditokohkan) oleh berbagai kalangan. Setelah K.H. Abdurrahman Ambo Dalle meninggal yang ikut terkuburkan ternyata bukan hanya jasad beliau, tetapi badan yang satu, DDI, nyaris pula dikafani oleh orang-orang tertentu atau kelompok tertentu yang hanya mengenal beliau dari satu sisi wajah sejarah, tetapi mewujudkannya dalam beribu wajah mitos berdasarkan kepentingan politiknya.

Di era reformasi sekarang harus ada upaya sistimatis untuk tetap menghidupkan dan memakmurkan badan yang satu itu, DDI dengan menciptakan kader sebanyak mungkin yang nantinya dapat menjadi tokoh dan ditokohkan oleh masyarakat. Mungkin wajah (ketokohan) mereka sangat spesifik, tetapi itu cukup penting selama wajah yang spesifik itu terdapat nur DDI.

Regenerasi DDI (Passelle Pasau)
Semestinya dan kami sangat mengharapkan peran aktif PB (Pengurus Besar) DDI meningkatkan, mengoptimalkan dan memfasiltiasi - jika perlu - wadah-wadah pengkaderan yang ada ditubuh DDI seperti IMDI (Ikatan Mahasiswa DDI), IPDI (Ikatan Pemuda DDI, (FADI (Fatayat DDI), IADI (Ikatan Alumni DDI). Serta mendukung dan mensupport penuh setiap wadah-wadah pengkaderan baru yang didirikan oleh warga DDI yang meginginkan perbaikan, seperti IADI (Ikatan Alumni DDI) Yogyakarta yang mendeklarasikan kelahirannya hari ini, dan IAPDIKA (Ikatan Alumni Pesantren DDI Kaballangang) yang akan dideklarasikan pula pada 25 Mei 2013 mendatang di Makassar.

Karena institusi-instansi ini sangat potensial melahirkan “Passelle-passelle pasau” (kader-kader multi talenta), sehingga pada setiap kesempatan kader-kader DDI dapat tampil prima pada semua lini, dan pada waktunya kader-kader itu dapat tampil sebagai tokoh yang cukup menentukan jalannya sejarah dalam bidang ketokohannya.

Secara internal DDI telah mengatur dalam anggaran dasarnya tentang proses regeranasi dalam kepemimpinan DDI. Maka suatu kecelakaan sejarah jika pengurus IMDI, IADI, IAPDIKA, IP DDI, dan FADI,  tidak melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap proses regenerasi kepemimpinan DDI. Dimaksudkan kecelakaan sejarah, karena organisasi tradsional sekalipun selalu memiliki elemen yang terencana tentang proses regenerasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempersiapkan Passelle Pasau” (calon pengganti yang multi talenta). Salah seorang tokoh dalam pewayangan Jawa memilih cara dibunuh oleh orang lain yang telah lama dikader dan dipersiapkannya untuk mengganti kempimpinannya, karena putera mahkota yang memenuhi syarat menurut aturan adat tidak memiliki keterampilan dan kecerdasan yang justru sangat dibutuhkan dalam mengukir sejarah dinasti itu.

Jakarta, 02 Mei 2013


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

Blog Archive

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA