Sunday, January 6, 2013

KENANGAN DR. MUHAMMAD SUAIB TAHIR BERSAMA ANREGURUTTA AMBO DALLE (I)



Tulisan dari Hulu Lembah Sungai Nil, Africa:

Purnama di Kaballangang:

(Mengenang al-Marhum Gurutta Ambo Dalle)

Oleh: Suaib Tahir
Banyak komentar teman-teman di facebook “Komunitas anak DDI Kaballangang” mengenai suka duka dan pengalaman indah selama bermukim di Pesantren. Ada yang memaparkan pemikiran serta ide untuk kemajuan Pesantren dan juga ada yang suka share tentang ilmu pengetahuan dan pnegalamn yang dimiliki serta kegiatan yang dilakukan setiap hari dengan tujuan menyambung komunikasi dan tali silatuhrrahim antara satu dengan yang lain. Ada juga yang hanya mengklick ‘ share” dan membaca koment setiap teman-teman. Yang menarik sekali karena munculnya kembali semangat untuk mengabdikan dan memberikan apa yang dimiliki untuk kemajuan Pesantren tanpa ada kepentingan apapun. Lebih dari itu, kawan-kawan dan teman-teman dan yang tidak semasa kembali saling mengenal dan semuanya asyik bercanda tanpa ada batas yang memisahkan, sehingga rasanya kembali seperti dulu sebagaimana halnya ketika masih mondok di Pesantren. Karena itu, walaupun jauh dari teman-teman dan lama tak ketemu, saya juga ingin share pengalaman-pengalaman tentang Pesantren yang kita cintai.

Barakka’na Gurutta:

Hampir semua teman-teman yang pernah bersama dan belajar dari Al Marhum Gurutta ketika kecil pernah ditiup mulutnya oleh Gurutta, dengan harapan orang tua kita waktu itu, agar anak-anaknya kelak dikemudian hari menjadi orang yang baik dan berguna bagi masyarakat dan agama. Menjadi guru agama atau pendai adalah idola orang-orang tua kita dulu khususnya mereka yang dari pedalaman. Saya sendiri ketika masih kecil, kebetulan salah seorang kakak saya namanya Hamzah Tahir juga ikut sama Gurutta di Ujung Lare sehingga setiap kali perayaaan Maulid Nabi atau Isra Miraj di kampung saya, Gurutta datang menghadiri undangan. Biasanya sebelum gurutta kembali ke Pare-Pare, orang tua kami, mengumpulkan anak-anaknya untuk dibacakan doa-doa dan ditiup mulutnya agar Barakka’na Gurutta dapat juga diperoleh anak-anaknya. Budaya ini kelihatan primitive namun pada waktu yang sama menunjukkan betapa tingginya kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan serta pribadi Gurutta. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang tua kita dulu, kemungkinan sudah tidak lagi ditemukan di masyarakat saat ini. Selain karena, kemungkinan sudah tidak ada lagi sosok ulama yang dipercaya oleh masyarakat sebagimana Gurutta dulu, juga mungkin karena masyarakat sudah tidak lagi menjadikan guru Agama sebagai idola setiap orang tua di kampung. Hubungan keluarga kami dengan Gurutta jauh sebelum kami mondok di Kaballangang sudah berlangsung dengan baik. Selain karena daerah kami terdapat salah satu cabang DDI yang cukup besar juga umumnya warga masyarakat di kampung kami adalah pendukung NU. Hubungan baik telah dimanfaatkan oleh keluarga kami untuk senantiasa agar Gurutta selalu mendokan dengan harapan usaha-usaha yang dilakukan selalu mendapat berkah dari Allah Swt. Penomena ini bukan saja terjadi pada diri keluarga kami tetapi hampir semua warga masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang sering didatangi Gurutta.

Perjalanan menuju Kaballangang:

Kebiasaan Pengurus Besar DDI adalah mengutus setiap Guru dari Pusat ke cabang atau ranting DDI di setiap daerah, bukan saja di Sulawesi tetapi juga ke daerah-daerah lainnya seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi Tengah dan lain-lain. Pengiriman tenaga Guru dari Pusat ke cabang atau ranting, selain dimaksudkan untuk menghidupkan berbagai cabang dan ranting juga untuk mempraktekkan ilmu yang telah diperoleh dari Gurutta. Yang sangat menarik karena hampir semua Guru-Guru DDI yang dikirim ke cabang atau ranting memiliki integritas tinggi terhadap DDI dan penuh kesabaran dan keihklasan dalam menjalankan tugas dan amanah yang diberikan oleh Gurutta. Saya sendiri selama belajar di Kaballangan, 3 (tiga) kali mendapat tugas mengajar di Cabang DDI, antara lain di Lambur, Sumatera Selatan (Jambi), Pinrang dekat Cempae dan yang terakhir di Pangkep dekat Bonto-Bonto. Guru DDI yang pertama dikirim ke ranting di kampung kami adalah Ustaz Burhanuddin Abdel Aziz, beliau berasal dari Takkalasi dan pernah mondok di Mangkoso kemudian pindah ke Kaballangang dan selanjutnya melanjutkan kuliah di Mesir atas beasiswa Al Azhar (Kini Ketua MUI di Enrekang). Ustaz Burhanuddin dikenal sangat baik dan alim, bahkan yang bersangkutan diberikan julukan oleh masyarakat di kampung kami sebagai calon Ahli Syurga, beliau tidak pernah marah, murah senyum dan sangat baik hati kepada setiap orang. Orang tua kami sangat mencintainya dan setiap selesai Sholat Isya, ia diundang makan malam di rumah kami. Kami sekeluarga rasanya tidak sempurna makan malam tanpa kehadiran Ustaz Burhanuddin. Sebagai wujud kehormatan dan kecintaan keluarga kami kepada Ustaz Buhanuddin, orang tua kami mempersilahkan menggunakan fasilitas yang ada di rumah kami setiap kali ia membutuhkan seperti, sepeda motor untuk digunakan berdakwa dan berceramah ke mana-mana di sekitar daerah kami. Kami semua mencintai dan menghomati setiap Guru DDI yang dikirim ke kampung kami karena mengangap sebagai Duta Gurutta seperti, Ustaz Yahya Ahmad, Ustaz Bustang Hak, Ustaz Rajab dan Ustaz Tamuddin. Satu tahun lebih kami diajar oleh Ustaz Burhanuddin mulai dari mata pelajaran Akhlaq, Mahfudzat, Tajwid, Fiqih, Hadis, dan tata cara menulis bahasa Arab. Ilmu-ilmu yang pernah diajarkan Ustaz Burhanuddin ketika masih di kampung sangat tinggi nilainya, karena sampai saat ini, ilmu tersebut masih tersimpang dalam memori kami dan menjadi pelita hidup setiap saat. Ustaz Burhanuddin tidak puas melihat kesungguhan orang tua kami untuk melihat anak-anaknya menjadi orang yang baik sebagimana gurunya. Karena itu, ia mengajak kami untuk ikut bersama dia masuk ke Pesantren Kaballangan setelah tamat Sekolah Dasar dan setelah selesai tugasnya. Orang tua kami menyambut baik keinginan tersebut dan merestuinya. Ustaz Burhan hanya menjelaskan bahwa yang dibutuhkan belajar di Kaballangang hanya periuk, kompor, piring, beras, ikan asing dan uang sebesar Rp. 5000 setiap bulan. Tidak banyak biaya yang dibutuhkan dan tidak banyak permintaan dan tuntutan di Pesanteren. Kami-pun mengiyakan kekinginan Ustaz dan orang tua dan mempersiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan. Sejak itu, kami menunggu-nunggu waktu keberangkatan karena perjalanan dimaksud akan merupakan yang pertama kalinya memisahkan kami dengan keluarga dan sanak famili.
Pondok Pesanteren Manahilil Ulum Kaballangang:
Menurut catatan bahwa Pondok Pesanteren Manahilil Ulum DDI Kaballangang dibuka pada tahun 1977 (Mohon koreksi), setelah AlMarhum Gurutta memutuskan pindah dari Ujung Lare, Pare-Pare ke Kaballangan, Pinrang. Kaballangang adalah sebuah tempat yang dipilih Gurutta untuk membangun dan mendirikan Pesanteren baru setelah melihat Ujung Lare mulai padat. Menurut Gurutta sebagaimana yang sering diceritakan bahwa pemilihan Kaballangan sebagai tempat baru bagi Gurutta setelah melihat dalam mimpi bulan Purnama jatuh di Kaballangang karena itu, Guruta memilih Kaballangang setelah sebelumnya mencalonkan beberapa daerah yang akan menjadi alternatif Ujung Lare.
Setelah tamat SD pada akhir tahun 1980 dan sebelum menerima Ijazah, kami bersama Ustaz Burhanuddin berangkat ke Kaballangan dengan menggunakan Dokar atau Bendi dari kajuangin menuju Bungi. Kami transit di Bungi selama dua jam untuk menunggu mobil Datsun yang biasanya mengangkut para pebisnis- ikan asin, ikan bandeng dan gula merah dari Bungi menuju pasar Pekkabata dan pasar Pinrang. Dari Bungi ke Pinrang belum ada jalanan aspal sehingga perjalanan dari Bungi menuju Kaballangan memakan waktu sekitar 1 jam lebih. Setelah sampe di Kaballangan rambut jadi pirang seperti orang bule karena penuh dengan debu sehingga memaksa kami harus cuci rambut dulu di selokan air yang ada di dekat Plakat Pesantren yang terletak dekat jalan masuk ke Pesantren. Setelah itu, kami kembali menyusuri jalan masuk ke Pesantren dengan menjinjing semua peralatan dan bekal-bekal dari kampung seperti beras, periuk dan pakaian yang hanya dimasukkan dalam kantong beras serta perlengkapan lainnya. Perasaan tak menentu, badan penuh keringat dan tak tahu bagaimana suasana hidup di Pesanteren Kaballangang. Muncul perasaan khawatir dan takut karena jalan masuk menuju Kaballangan masih sangat sepi bahkan jembatan menuju area Pesanteren masih tradisonil yang dibuat dari kayu dan hanya cukup dilewati satu mobil saja. Suasana sangat tenang dan tidak ada hiruk pikuk seperti di Jalan raya, hanya petani-petani kampung yang lewat dari gunung Pasandorang membawa barang-barang jualannya seperti sayur, ubi dan lain-lain. Setelah masuk di area Pesantren yang masih terbuka luas tanpa pagar, kami melewati sebuah kebun yang dirawat dan dikelola oleh salah seorang santri waktu itu (Ustaz Jamaluddin), dari dekat kebun, kelihatan satu Gedung warna biru muda, yaitu rumah Gurutta (kini rumah Ustaz Haji Yunus). Di seberang sana, sekitar 200 meter, terlihat dua gedung mewah yang kemudian ternyata, Gedung tersebut adalah Gedung sekolah yang ditempati sebagian teman-teman Pesantren. Tidak jauh dari situ, nampak satu rumah besar dari kayu yang dihuni oleh beberapa teman. Menurut informasi bahwa rumah tersebut adalah sumbangan dari salah seorang tokoh masyarakat di Leppangang (Puang Milu) yang juga menyumbangkan seluruh tanahnya di Kaballangan yang menjadi area Pesantren DDI sekarang ini. Hanya tiga Gedung yang ada pada saat itu sementara lainnya adalah Padang ilalang yang diisi dengan domba-domba milik Gurutta dan beberapa ekor sapi.kami sangat terharu karena baru pertama kali melihat domba yang berkeliaran di sepanjang padang sehingga menciptakan suasana baru dalam pikiran kami. Umumnya domba di Indonesia dan negara-negara yang memiliki musim dingin memiliki bulu yang cukup tebal tetapi di Arab dan Afrika umumnya tidak memiliki bulu yang tebal. Kata ahli kulit bahwa itu adalah salah satu satu hikmal dan keadilan Tuhan karena domba yang ada di negara-negara dingin, bulunya menjadi selimut saat hawa sangat dingin. Setelah tiba di Gedung sekolah, Ustaz Burhanuddin memperkenalkan kami kepada Ustaz Sulaeman dari Kaluppang yang saat itu sedang menulis di ruangannya, beliau tersenyum dan senang atas keberhasilan Ustaz Burhanuddin menambah jumlah santri. Salah satu kriteria keberhasilan Guru DDI yang ditugaskan mengajar di Cabang atau Ranting waktu itu, adalah keberhasilan membawa santri baru dari tempat tugasnya. Setelah Ustaz Burhanuddin dan Ustaz Sulaeman chatting beberapa saat, kami- pun di bawah menuju ruangan yang masih dalam bagian Gedung yang kemudian menjadi tempat tinggal kami selama hampir satu tahun. Di Ruangan ini, kami bersama Ustaz Yahya, Arif Kassim dan masih ada satu orang lain lagi dari Jeneponto, kemudian disampingnya adalah kamarnya Ustaz Sulaeman. Tidak ada ranjang atau kursi, yang hanya adalah kumpulan meja sekolah yang nantinya kami susun setiap malam sebagai ranjang. Dapurpun hanya memanfaatkan kamar kecil yang ada di samping dua Gedung Sekolah sementara tempat mandi hanya di sebuah sumur kecil yang kini sudah ditutup dan dijadikan jalan raya persis di samping rumah Gurutta yang baru. Suasana siang dan malam ibarat di buang di tengah padang, tidak ada listrik, tidak ada orang dan hanya dihibur dengan tempahan angin malam yang kencang khususnya di waktu subuh. Sementara di siang hari hanya dihibur dengan suara domba dan sapi. Setelah 2 (dua) hari kami bergabung dengan teman-teman, Ustaz Burhanuddin meninggalkan kami dan pergi ke Takkalasi untuk bersilaturrahim dengan orang tuannya sekaligus menyampaikan bahwa tugasnya di kampung kami telah selesai. Setelah beberapa bulan kemudian, Ustaz Burhanuddin kembali ditugaskan di Jawa Timur tepatnya di Pulae Karameang, kampungnya saudara Askar. Selama hampir lebih satu minggu kami belum mengikuti pengajian apapun, karena selain Gurutta masih berada di tempat lain karena berbagai undangan yang harus dipenuhi, Ustaz Sulaeman juga sering kembali ke kampungnya di Kaluppang sehingga waktu-waktu kami hanya dimanfaatkan bercerita dengan teman-teman baru seperti Sdr. Arif Kassim, Rajab dan lain-lain. Dari Pesanteren ke Kaluppang hanya ditempuh dengan jalan kaki karena kendaraan masih sangat sulit sehingga Ustaz Sulaeman sering kelelahan. Ustaz Suleman yang juga tinggal di samping ruangan kami dan bertindak sebagai kepala sekolah, sekali kali mengumpulkan dan mengajar kami yang kadang hanya diikuti oleh 5-6 orang santri saja, setelah itu bubar dan pergi main bersama teman atau masak-masak bersama. Pada awalnya Pesantren DDI Kaballangan hanya dihuni oleh beberapa orang saja, gurunyapun sangat-sangat terbatas. Yang saya ingat waktu itu, dan mereka adalah senior adalah, Ustaz Sulaeman, Amin Shomad, Amin Appa, Kadir Salandra, Akib Dollae, Ahmed Khaedar, Yahya Ahmad, Rajab, Arif Kassim, Andi Yusuf, Andi Abu, Ustaz Jamaluddin, Darwis, anaknya kepada Desa Kaballangang, Ustaz Bachtiar, Ustaz Bacharuddin, Muslimin, Arsyad, Makmur semuanya dari Sumatera. Sementara yang baru adalah saya sendiri. Namun beberapa minggu kemudian, datang kawan baru dari Pekkabata dan Cullu dan masih ada beberapa kawan lainnya yang saya agak lupa. Anehnya waktu itu, hampir semua anak-anak Pesantren yang ada di Kaballangang, umumnya dari luar bukan dari Pinrang apalagi dari Kaballangan sendiri kecuali putra kepala Desa, itupun bukan penduduk asli. Pengajian biasanya diadakan di ruang tamu rumah Gurutta an waktunya tidak menentu, tergantung kapan Gurutta ada di Pesanteren, kadang sore, kadang setelah Isya dan kadang juga setelah sholat subuh, semuanya tergantung keberadaan Gurutta di Kaballangang. Selain itu, belum ada Guru-Guru yang berani menggantikan Gurutta ketika Gurutta sedang berada di luar Pesanteren khususnya untuk pengajian kitab-kitab utama seperti, Irsyadul Ibad, Durratunasihin, Syarhul Hikam, Kifayatul Akhyar, Risalah Al Bahiyat dan lain-lain. Sementara sekolah waktu itu juga tidak menentu dan tergantung kesiapan Ustaz Sulaeman untuk mengajar. Pakaian pun tidak ada yang resmi sebagai pakaian sekolah dan umumnya hanya menggunakan sarung atau kofya. Suatu hal yang sangat menarik waktu itu adalah melacak waktu-waktu pengajian Gurutta dan sekolah sehingga kita sering kali menunggu berjam-jam untuk mengikuti pengajian yang akan disampaikan oleh Gurutta atau Ustaz Sulaeman, bahkan sering kali kami saling menanyakan antara satu dengan yang lain apakah Gurutta sudah ada di tempat atau belum karena jika Gurutta ada di Pesantren maka tidak ada satupun santri yang akan absen mengikuti pengajian.
Di sore hari kalau Gurutta tidak ada biasanya kami kumpul main takraw atau ke gunung mencari jambu atau pergi ke danau dekat pesanteren mencari buah-buahan atau mancing ikan. Suasana sangat relaks, santai, rukun dan damai. Kamipun semuanya seperti saudara kandung dan satu keluarga, yang lebih tua menempatkan dirinya sebagai kakak dan yang lebih muda menempatkan dirinya sebagai adik. Sayapun perlahan-lahan mulai belajar bahasa bugis dari teman-teman yang fasih berbahasa bugis, maklum sejak kecil lahir di daerah yang beketulan bahasanya bukan bahasa Bugis. Ustaz Yahya dan senior-senior waktu itu yang datang dari Jeneponto atau Bantaeng juga perlahan-lahan belajar bahasa bugis. Biasanya kalau Ustaz Sulaeman tidak ada di pesanteren, maka yang menggantikan mengajar adalah Ustaz Yahya, Kak Amin Shomad atau Amin Appa atau Ustaz Jamaluddin sebagai senior waktu itu dan umumnya mereka menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa Pengantar.
Ada satu hal yang sering disebut Gurutta setiap memberikan pengajian, khususnya jika menyinggung tentang Kaballangang. Beliau sering mengatakan bahwa kata “ Kaballangang” berasal dari kata “ Belanga”. Artinya tempat untuk mengisi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi setiap orang. Karena itu, Kaballangan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki nilai dan bermanfaat bagi setiap orang. Sementara arti kata “ Manahil Ulum” dalam bahasa Arab adalah sumber Ilmu pengetahuan. “Manahil” bersumber dari kata “Manhal” artinya tempat mengambil atau sumber sesuatu. Dengan demikian pemilihan “Kaballangang” sebagai tempat Gurutta yang baru untuk mengembangkan Pesanterennya sangat sesuai dengan nama Pesanteren yang digunakan yaitu; Pesantren Manahilil Ulum Kabalangang”. Jadi kata Manahilil Ulum dan kata Kaballangan sangat erat kaitannya. Saya sangat yakin bahwa Gurutta pada awalnya ingin menjadikan Ponpes Kaballangan sebagai “Pusat Ilmu dan Keilmuan Agama”. Paling tidak di Sulawesi Selatan. Namun Iradah Allah lain, karena Gurutta berpulang ke ramhatullah setelah melettakkan dasar-dasar utama yang akan memajukan Pesantren di kemudian hari.
Oleh karena itu, untuk sementara saya berasumsi bahwa semangat yang kini dihembuskan oleh Alumni-Alumni Pondok Pesanteren DDI Manahilil Ulum Kaballangang yang telah tersebar di berbagai daerah dan provinsi bahkan negara dengan berbagai profesi dengan membentuk sebuah organisasi baru yang bernama IAPDIKA yang tujuannya untuk menghidupkan Pesanteren DDI Manahilil Ulum Kaballangang, merupakan sebuah manifestasi dari Keramat (Karamah) Gurutta sebagai seorang Sufi dan sebagai wujud titian atas cita-cita Gurutta sebelumnya. Untuk itu, semangat tersebut perlu dipertahankan dan dipelihara dengan baik dan berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan visi-misi Gurutta dalam mengembangkan pendidikan dan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat setelah Gurutta meninggalkan kita selama kurang lebih 17 tahun yang lalu.
Masih bersambung cappo…………….. KLIK DI SINI
 Purnama Kabalangang mulai bersinar, Reformasi di Kaballangang, Vonis Gurutta adalah sebuah hikmah, pesan-pesan spiritual Gurutta dan Purnama Kaballangang mulai redup.
Artikel berhubungan:
  1. Haul Gurutta Ambo Dalle
  2. Isra'-Mi'raj Ke Elle Salewo-E Bersama Gurutta H. Jamalu
  3. Seorang Muhajir Fakir

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

Blog Archive

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA