Thursday, January 10, 2013

CATATAN: HAUL ANREGURUTTA AMBO DALLE KE-13 (THN. 2009):



K.H. ABD. RAHMAN AMBO DALLE
(Kiprahnya Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Lewat Darud Da’wah Wal Irsyad)

Oleh: Saiful Jhd

1. Seputar Pribadi dan Keluarganya:

K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle yang akrab dipanggil “Gurutta” oleh para santri dan masyarakat pada umumnya di wilayah Indonesia Timur, adalah sosok ulama kharismatik di Sulawesi Selatan, bahkan beliau tidak asing lagi bagi umat Islam Indonsia. Lembaga pendidikan yang didirikanya tersebar luas di hampir seluruh wilayah Indonseia. Waktu kelahirannya tidak dapat ditetapkan secara pasti, jadi hanya diperkirakan sekitar tahun 1900. Namun, dalam sebuah wawancara, Ambo Dalle berkisah, bahwa ia dilahirkan pada hari Selasa. Itu sekitar lima tahun sebelum kolonial Belanda mengubah sejarah di Sulawesi Selatan, menanam kekuasaan sebagai penjajah. 

Ambo Dalle adalah putra semata wayang dari kedua orang tuanya. Ayahnya bernama Pung Ngati Daeng Patobo, dan ibunya bernama Andi Cendra Dewi, yang lazim dipanggil Puang Cendaha. Beliau dilahirkan di Desa Ujung”E, kecamatan Tanasitolo kabupaten Wajo, sekitar 7 km di sebelah utara kota Sengkang. Oleh orang tuanya diberi nama Ambo Dalle. Ambo artinya bapak, Dalle artinya rezeki. Dengan nama ini, terkandung harapan agar kehidupan sang anak senantiasa murah rezeki dari sisi Allah. Adapun nama Abdurrahman baru disandangnya ketika ia mulai belajar mengaji. 

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle sama halnya dengan anak-anak lainnya suka bermain-main dengan teman sebayanya dan disayangi oleh teman-temannya, apalagi memang perangainya sangat halus sebagai seorang anak bangsawan yang terpandang di kampungnya, lebih-lebih lagi kedua orang tuanya sangat menyayangi beliau sebagai anak semata wayang. 

Kemudian pada masa remaja, Ambo Dalle dipenuhi dengan kesibukan belajar, menuntut ilmu pengetahuan terutama dikampung halamannya sendiri, dan kedua orang tuanya sangat menyanginya, sehingga keduanya senantiasa menjaganya dari pelbagai hal yang merusak perkembangan jiwanya di masa depan. Dari sini dipahami, bahwa kedua orang tua Ambo Dalle mempunyai hasrat agar putranya kelak menjadi orang besar atau ulama yang disegani dan dibanggakan. Dan ternyata setelah Ambo Dalle dewasa, profesi “keulamaan” itulah menjadi kawasan dimana Ambo Dalle menghabiskan waktunya dan umurnya dengan berbagai aktivitas, yakni sebagai alim ulama, mubaligh, pendidik, dan ilmuan, bahkan aktivis partai politik (PSII) yang akhirnya sebagai tokoh sentral organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) yang didirikannya sampai akhir hanyatnya. 

Dalam kehidupan berkeluarga, Ambo Dalle pernah mengawini perempuan sebanyak empat orang. Masing-masing isteri beliau bernama:
1) Andi Tenri;
2) Puang Sohora;
3) Andi Selo. 

Dari ketiga isterinya itu tidak satupun yang dikarunia anak, lalu Ambo Dalle menceraikannya. Kemudian isterinya yang keempat, Hj Sitti Marhawa, yang akrab dipanggil oleh santri “Puang Hawa”, dari isteri beliau inilah yang membuahkan keturunan sebanyak tiga orang putra, yaitu M. Ali Rusydi, Abd. Halim Mubarak dan M. Rasyid Ridah.

2. Pendidikan Yang Pernah Diikuti:

Sebagai anak tunggal, Ambo Dalle tidak dibiarkan menjadi anak manja oleh orang tuanya. Sejak dini ia diserahkan kepada bibinya, Imaddi, lalu kepada kakeknya, La Caco, imam Ujung’E , maupun pada seorang haffiz Alquran, ustaz H. Muhammad Ishaq untuk belajar mengaji. Kemudian Ambo Dalle melanjutkan pendidikannya ke kota Sengkang, selain masuk ke Volk School (sekolah Rakyat) juga mengikuti kursus bahasa Belanda di (HIS) Hollandsch Inlandsch Sengkang. 

Selepas itu, beliau melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Syarikat Islam (SI) di Makassar. Disinilah ia berkenalan dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan terikat secara emosional dengan partai tersebut. Walaupun secara formal tidak terlibat dalam pergerakannya. Tampaknya Ambo Dalle tetap menjadikan PSII sebagai pilihan pribadinya selama partai ini eksis dan belum berfusi dengan partai lain. Menjelang Pemilu 1971—pemilu terakhir yang diikuti PSII sebagai partai independen—Ambo Dalle mendukungnya dengan membagi kartu keanggotaan partai tersebut kepada santri-santrinya, sekalipun tidak memaksa mereka mengikuti pilihannya. 

Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Guru Syarikat Islam, Ambo Dalle kembali ke Sengkang untuk melanjutkan dan memperdalam ilmu agamanya. Beliau memasuki sekolah Darul ‘Ulum pimpinan Sayyid Muhammad al-Mahdaliy,  juga mengikuti pengajian kitab pada Syekh H. Syamsuddin, Syekh H. Ambo Amme, Syekh Abd. Rasyid Mahmud al-Jawwad, dan Sayyid Abdullah Dahlan, serta Sayyid Hasan al-Yamani. 

Kemudian pada tahun 1928 K.H. Muhammad As’ad (1907-1952),—yang akrab disapa oleh santrinya “Gurutta Sade’”—pada waktu itu baru berusia 21 tahun, masih sangat muda, tetapi ilmu agamanya amat luas karena beliau lahir dan dibesarkan di kota Mekah serta menamatkan pendidikannya di Madrasah al-Falah di kota tersebut, kembali ke Sengkang dan membuka pengajian pesantren di rumahnya pada pertengahan 1930. Ambo Dalle, yang sangat antusias belajar agama, bergabung dengan pengajian tersebut. Karena memang Ambo Dalle sudah memiliki ilmu agama yang cukup, apalagi tekun mengikuti mengajian Kiai Muh. As’ad, walaupun usia gurunya lebih muda sekitar 7 tahun dibanding dengan usia Ambo Dalle, namun tidak lama kemudian Ambo Dalle diangkat oleh Kiai Muh. As’ad sebagai asisten yang memiliki tingkatan ilmu pengetahuan setaraf dengan gurunya. 

Pengajian pesantren Kiai Muh. As’ad mendapat perhatian dan sambutan yang hangat dari masyarakat termasuk pemerintah setempat, sehingga santri-santrinya tidak saja berasal dari daerah Wajo, tetapi juga datang dari luar daerah. Atas saran dari pemerintah setempat, Kiai Muh. As’ad setuju untuk mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem sekolah atau madrasah, seperti yang telah dirintis oleh Muhammadiyah. Sejak saat itu terbentuklah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang terdiri dari empat tingkat, yaitu Awaliyah, Ibtidaiyah, I’dadiyah, dan Tsanawiyah. Ambo Dalle, salah satu pengajar madrasah itu, kemudian diberi kepercayaan oleh Kiai Muh. As’ad untuk mengelolahnya. 

Akhirnya pada tahun 1935, Ambo Dalle berangkat ke tanah suci Mekah untuk pertama kalinya, selain untuk menunaikan ibadah haji, juga menetap beberapa bulan dengan maksud memperdalam ilmu agama yang telah dipelajarinya di Wajo. Pada masa belajar di Mekah itu, Ambo Dalle diberi sebuah kitab oleh seorang gurunya, yaitu kitab Hazinah al-Asrar al-Kubra. Menurut gurunya, di dalam kitab itu sudah tercantum semua yang ingin diketahui tentang masalah gaib. Dan ternyata dari kitab itulah, Ambo Dalle mendapatkan dan mengamalkan rahasia kehidupan para wali di masa silam. Dari situlah, sehingga Ambo Dalle memiliki sifat-sifat kewalian, yang tidak dimiliki oleh banyak ulama lain, apalagi orang awam. Dalam mengarang buku misalnya, berawal dari mimpi Ambo Dalle membaca kitab dan langsung dihafalnya, dan pada saat bangun dari tidurnya, hafalan itu kemudian ditulis dalam buku. 

Setelah kembali ke Tanah Air, Ambo Dalle meneruskan pengelolaan MAI Sengkang, serta oleh santri-santrinya mulai dipanggil dengan penuh rasa hormat dan takzim sebagai Gurutta (guru atau guru kita), sebuah gelar yang setara dengan Kiai Senior di Jawa. Dari madrasah inilah, lahir ulama sekaligus tokoh pendidik Islam Sulawesi Selatan yang terkemuka, seperti K.H.M. Daud Ismail, K.H. Hobe, K.H. Muhammad Yunus Maratan, K.H. Muhammad Abduh Pabbajah, K.H. Muhammad Amberi said, K.H. Junaid Sulaiman, K.H. Muhammad Yusuf Hamzah, K.H. Abdul Muin Yusuf, K.H. Muhammad Amin Nashir, K.H. Marzuki Hasan dan tentunya Ambo Dalle sendiri, yang merupakan murid angkatan pertama Kiai Muh. As’ad.

3. Dari Sengkang ke Mangkoso:

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikanya yang modern (sistem madrasah) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah. Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ia mengirimkan delegasi agar Kiai Muh.As’ad berkenan mengutus seorang guru yang dapat mendirikan dan memimpin madrasah yang sama di Mangkoso. Mulanya Kiai Muh. As’ad keberatan. Akan tetapi, setelah didesak berkali-kali, dan kebetulan isteri AmboDalle berasal dari Soppeng Riaja, akhirnya Kiai Muh. As’ad merelakan murid dan asisten terkasihnya itu berangkat ke Mangkoso. 

Tanggal 11 Januari 1939 adalah hari yang paling berkesan bagi masyarakat Soppeng Riaja sebab pada hari itu Ambo Dalle beserta keluarganya tiba di Mangkoso. Pihak kerajaan telah menyiapkan tempat tinggal dan fasilitas pendidikan yang diperlukan. Semua calon santri telah menunggu, dan biaya hidup mereka, termasuk guru-gurunya, ditanggung oleh raja sendiri sehingga dengan cepat madrasah itu berkembang. Santrinya berdatangan dari berbagai tempat. 

Malangnya, kehadiran penjajah Jepang di Indonesia ternyata merupakan penghalang bagi kemajuan madrasah tersebut. Jepang berusaha menghambat dan membatasi semua langkahnya. Namun, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia menyuruh para santrinya agar tidak belajar di kelas-kelas, tetapi di kolong-kolong rumah penduduk. Ternyata, cara ini justru mengundang peminat yang kian banyak. Baru setelah Jepang menyerah, Ambo Dalle berhasil melanjutkan cita-citanya, mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Mangkoso. 

Dalam pengelolaan MAI Mangkoso, Ambo Dalle dibantu sejumlah tenaga pendidik yang cakap, seperti K.H.Burhanuddin, K.H. Makki Barru, K.H. Abd. Rasyid Ajakkang, K.H. Muhammad Yattang Sengkang, K.H. Hannan Mandalle, K.H. Haruna Rasyid Sengkang, K.H. M. Amberi Said, K.H.M. Qasim Pancana, K.H. Ismail Kutai, K.H. Abd. Kadir Balusu, dan K.H. Muhammdiyah. menyusul kemudian K.H.M. Aqib Siangka, K.H. Abd. Rahman Mattemmang, dan K.H.M. Amin Nashir. Berkat pengelolaannya yang baik, MAI Mangkoso berkembang pesat dan menjadi salah satu tujuan utama pencari ilmu agama Islam di Sulawesi Selatan. Santri-santrinya, yang pada mulanya hanya terbatas dari daerah Mangkoso dan sekitarnya, kini mulai berdatangan dari berbagai penjuru Sulawesi Selatan, bahkan dari Kalimantan dan Sumatera. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1941 dibuka tingkat Aliyah Lil-Banin untuk menampung lulusan santri putera yang berkeinginan melanjutkan pendidikan, menyusul tingkat Aliyah Lil-Banat untuk puteri yang dibuka pada 1944. 

Secara organisatoris, MAI Mangkoso tidak ada hubungan dengan MAI Sengkang. Namun, dari segi kejiwaan ada hubungan batin yang akrab antara Ambo Dalle dengan mantan gurunya K.H. Muhammad As’ad. Terutama dalam membina nasionalisme dan kepahlawanan disamping keagamaan yang kuat. Buktinya, para santri banyak yang gugur sebagai kusuma bangsa pada zaman revolusi fisik. Malahan, daerah Paccekke, yang bersebelahan dengan kompleks MAI Mangkoso, merupakan basis gerilyawan republik yang berbaur dengan masyarakat umum dan santri.

C. DDI Wadah Perjuangan Mencerdaskan Bangsa:

1. Musyawarah Alim Ulama Se-Sulawesi Selatan dan pengintegrasian MAI: 

Atas inisiatif K.H.M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng), K.H. Abdurrahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), dan Syekh Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama K.H. Abduh Pabbajah dari Allakuang beserta ulama lainnya, diadakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah se-Sulawesi Selatan yang dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H. bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerlin karena pengaruh Aruppalakka. 

Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemaslahatan umat untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni di kalangan umat Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang bertarung mempertahankan jiwa raganya guan mengusir penjajah Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945. 

Namun dari organisasi yang akan dibentuk itu menjadi perdebatan dalam musyawarah dengan munculnya tiga nama, yakni al-‘Urwatul Wutsqa dari K.H.M Tahir Usman, Nasrul Haq oleh K.H. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal Irsyad oleh Syekh Abd. Rahman Firdaus. Dengan melalui proses yang demokratis maka nama Darud Da’wah Wal Irsyad yang mendapat sepakatan forum musyawarah. Karena Ambo Dalle selaku pimpina MAI yang telah memiliki cabang dibeberapa daerah, maka oleh musyawarah alim ulama diamanatkan untuk memimpin organisasi DDI. 

Menindaklanjuti amanat yang diembang oleh musyawarah alim ulama, Ambo Dalle segera mengadakan musyawarah dengan guru-guru MAI Mangkoso dengan utusan cabang lainnya dari berbagai daerah. Dalam musyawarah yang diadakan di Mangkoso ini disepakati pengintegrasian MAI Mangkoso beserta cabag-cabangnya ke dalam DDI. Dengan demikian, MAI Mangkoso yang semula merupakan lembaga pendidikan keagamaan, lewat proses integrasi ini berubah menjadi organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan usaha sosial. 

Sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasarnya, DDI “beraqidah keagamaan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah” Istilah Ahlussunah Wal Jama’ah dalam hal ini lebih merupakan istilah idiologis yang merangkum gambaran menyeluruh tentang segala aspek kehidupan manusia. Dalam bidang teologi, sistem nilai yang dianut dan dikembangkan DDI adalah faham Asy’ariyah. Dalam bidang fikhi, sumber pengambilan hukumnya adalah Alquran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas, serta lebih cenderung kepaham mazhab Syafi’iyah. yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Sementara tujuan organisasi ini adalah:

  1. Memajukan kecerdasan umum dan peradaban manusia;
  2. Menyampaikan ajaran-ajaran Islam dan meyadarkan umat hidup bertaqwa;
  3. menuntun umat ke arah pelaksanaan ajaran-ajaran Islam guna terwujudnya individu-individu yang berakhlakul karimah;
  4. Memelihara persatuan dalam kaum muslimin dan perdamaian dalam masyarakat.

2. Parepare Sebagai Pusat Organisasi DDI:
Pada 1950 pimpinan pusat DDI, yang sejak 1947 berkedudukan di Mangkoso, pindahke Parepare mengikuti kepindahan Ambo Dalle yang mendapat tawaran menduduki posisi Qadhi Swapraja Mallusetasi di Parepare. Letak kota ini memang cukup strategis serta lebih memadai dalam rangka peningkatan koordinasi dan pengembangan cabang-cabang DDI di Sulawesi Selatan. 

Menjelang kepindahan Ambo Dalle ke Parepare, sebuah madarasah DDI dibangun di kota ini, yang berlokasi disebelah selatan Mesjid Raya Parepare. Belakangan, bangunan ini dijadikan Rumah Sakit Bersalin dan Apotik Addariyah DDI untuk merealisasikan cita-cita organisasi tersebut di bidang sosial. Pada 1957, juga dibangun kampus baru pondok pesantren di daerah Ujung Lare Parepare untuk mengakomodasi perkembangan DDI yang cukup pesat. Sejumlah cabang juga dibuka pada masa itu. Kampus baru ini luasnya sekitar 3 Ha dilengkapi dengan Kantor Pusat Pengurus Besar DDI disamping lokasi belajar para santri. 

Sebagai gambaran berakarnya DDI di Kota Parepare dapat dilihat dari 29 madrasah yang ada dalam kota ini, 25 diantaranya adalah madrasah DDI yakni, 4 buah tingkat Raudhatul Athfal atau TK, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 buah tingkat Tsanawiyah, dan 3 buah tingkat Aliyah. Bahkan di kota ini pula berkedudukan Universitas Islam DDI (UI-DDI) yang membawahi fakultas-fakultas berikut:

  1. Fakultas Tarbiyah di Pinrang;
  2. Fakultas Syariah di Mangkoso;
  3. Fakultas Tarbiyah di Pangkajene Sidrap;
  4. Fakultas Tarbiyah di Polmas;
  5. Fakultas Tarbiyah di Pangkep;
  6. Fakultas Tarbiyah di Majene;
  7. Fakultas Tarbiyah di Maros;
  8. Fakultas Syariah di Pattojo;
  9. Fakultas Tarbiyah dan Ushuluddin tingkat Doktoral di Parepare;
  10. STKIP dan STIIP di Polewali dan Majene.

Namun hingga 1953, pendidikan yang diselenggarakan DDI masih terbatas pada imu-ilmu keagamaan dan bahasa Arab. Baru pada muktamar ke-5 yang diadakan di Parepare pada pertengahan 1953, pendidikan yang diselenggarakan DDI diperluas dengan menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya. Secara terprogram, upaya pengembangan ini dirumuskan dalam Konferensi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan DDI, yang diadakan di Parepare pada 1954.

Pada tahap ini, DDI pimpinan Ambo Dalle telah mengembangkan sayapnya untuk mengelola lembaga pendidikan mulai dari tingkat permulaan (TK) sampai tingkat lanjutan atas, baik yang bersifat umum, kejuruan, serta keagamaan (madrasah dan pesantren). Sekolah-sekolah umum yang dikelola adalah Taman Kanak-kanak Islam (TKI), Sekolah Rakyat Islam (SRI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI), yang perimbangan pelajaran agama dan umumnya mengikuti kurikulum yang ditetapkan Departemen P&K bagi sekolah-sekolah negeri yang sederajat. 

Sementara sekolah Kejuruan yang dikelola DDI antara lain meliputi Sekolah Kemasyrakatan Islam (SKI), Kursus Dagang Islam (KDI), Sekolah Guru Islam (SGI), Sekolah Guru Taman Kanak-kanak Islam (SGTKI), dan Sekolah Kerumahtanggaan Islam (SKTI), yang kurikulmnya diatur sendiri. Belakangan , sekolah-sekolah kejuruan ini ditambahkan dengan Pendidikan Qurra’ wa al-Huffazh. 

3. DDI dalam Masa Kekuasaan DI/TII:
Pada masa kekuasaan gerombolan DI/TII yang mulai beroperasi sekitar 1950 di seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara di bawah pimpinan Kahar Muzakkar, posisi DDI mengalami kesulitan pengembangan disebabkan perbedaan idiologi yang dianut oleh DDI dengan idiologi keagamaan yang diperjuangkan oleh DI/TII. Karena itu, dalam Piagam Malakua sebagai landasan manifesto perjuangan DI/TII pada pasal 13 dinyatakan bahwa Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) adalah organisasi kontra revolusioner yang harus/wajib di lenyapkan. Dan dari sudut pandang aparat (TNI), DDI dicurigai karena ada kemiripan nama dengan DI/TII, ditambah lagi keberadaan Ambo Dalle sebagai tokoh DDI dilingkungan DI/TII memperkuat dugaan itu setelah sekelompok pasukan DI/TII dibawah pimpinan Nurdin Pisok menculiknya di desa Belang-Belang, kabupaten Maros, pada tanggal 18 Juli 1955 sewaktu Ambo Dalle dalam perjalanan dari Parepare ke Makassar untuk mengurus persiapan pembentukan perguruan tinggi DDI. 

Penculikan Ambo Dalle dilatarbelakagi keinginan Kahar Muzakkar untuk memperoleh dukungan rakyat Sulawesi Selatan terhadap perjuangannya dengan memanfaatkan kharisma kiai di kawasan ini. Pada tahun pertama penculikan, Ambo Dalle difungsikan oleh Kahar Muzakkar dan diangkat sebagai Ketua Dewan Penasehat DI/TII. Beberapa waktu kemudian ia dinobatkan sebagai Wakil Presiden merangkap Menteri Pendidikan, sehingga pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara berada dalam kontrol DI/TII kecuali daerah yang dikuasai gerombolan TKR dibawah pimpinan Hamid Ali dan Usman Balo yang tidak memiliki idiologi politik yang jelas kecuali karena ketidakpuasan terhadap pemerintah. 

Setelah datangnya seorang ulama dari solo, K.H. Maksum, yang berpengaruh terhadap kebijakan Kahar Muzakkar terutama fatwanya yang membolehkan seorang pria dapat menikah dengan sembilan wanita, ditolerir dan dikembangkan oleh Kahar Muzakkar sedangkan Ambo Dalle menolak fatwa ini, maka mulailah terjadi konflik idiologi keagamaan secara terbuka dalam internal DI/TII. Akibat dari konflik ini, terjadi peristiwa Penselonan—pembuangan tawanan dilingkungan DI/TII—terhadap Ambo Dalle ke desa Lambae Sulawesi Tenggara karena dianggap berbahaya secara idiologi keagamaan pada masa itu oleh kelompok K.H. Maksum dengan menggunakan kekuasaan Kahar Muzakkar. 

Keberadaan Ambo Dalle dalam kekuasaan DI/TII membuat banyak madrasah DDI mengalami kevakuman. Apalagi banyak guru-guru yang dikirim mengajar ke daerah-daerah pengunungan menjadi korban, entah diculik oleh pasukan DI/TII atau dibunuh oleh pasukan TNI karena dicurigai sebagai anggota DI/TII. Memang pada saat itu, aparat (TNI) sempat mencurigai beberapa anggota organisasi Islam seperti Muhammadiyah, PSII, dan DDI telah memberikan dukungan, baik diam-diam maupun terang-terangan terhadap gerakan DI/TII di daerah. Kecurigaan tersebut berimbas kepada kegiatan madrasah-madrasah DDI. Meskipun demikian, secara organisasi DDI tetap berjalan dengan tampilnya K.H.M. Abduh Pabbajah sebagai Ketua Umum DDI mengantikan Ambo Dalle kemudian pada periode selanjutnya oleh K.H.M. Ali al-Yafie. 

Kondisi seperti itu berlansung hampir sembilan tahun sampai Ambo Dalle berhasil keluar dari hutan pada 1963, saat Kodam XIV Hasanuddin dibawah pimpinan Brigjen M. Yusuf melancarkan operasi kilat. Saat berada kembali di tengah-tengah warga DDI, Ambo Dalle segera melakukan konsolidasi organisasi dengan mengadakan Musyawarah Pendidikan Pengurus Besar DDI di Mangkoso dan mendirikan Perguruan Tinggi DDI yang diberi nama Universitas Islam DDI (UI-DDI) dengan Ambo Dalle sebagai rektornya. 

4. DDI dan Dinamika Politik Praktis:
Secara kelembagaan, DDI tidak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat politik praktis. Hal ini tercermin dalam pasal 2 Peraturan Dasar DDI yang pertama “Badan ini tidak mencampuri soal-soal politik”. Namun, untuk menyalurkan aspirasi politik warga DDI menghadapi pemilu pertama, Ambo Dalle selaku ketua umum Pengurus Besar DDI menyarankan agar warga DDI memberikan suara kepada partai Islam yang memasang orang-orang DDI sebagai calon legislatifnya. Bahkan, untuk optimalisasi suara partai Islam, Ambo Dalle memutuskan ikut Pemilu 1955 atas namanya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dan memperbanyak suara umat Islam kemudian disalurkan kepada partai politik Islam (PSII, NU, PERTI, dan Masyumi) yang kebetulan menempatkan warga DDI sebagai calon anggota legislatif. 

Keterlibatan sejumlah tokoh DDI dalam ranah politik praktis tersebut—walau atas namanya sendiri—mulai terasa imbasnya kedalam DDI menjelang muktamar ke-11 tahun 1969. Saat itu muncul kesan adanya persaingan pengaruh diantara tokoh-tokoh DDI. Bahkan, DDI seakan-akan ingin diseret ke dalam naungan salah satu partai politik Islam yang ada. 

Gejolak itu mencapai kulminasi dalam Muktamar ke-11 yang berlangsung di Watan Soppeng. Muktamar pun berlangsung cukup hangat, itu disebabkan adanya salah satu kekuatan dalam DDI yang ingin memasukkan unsur salah satu partai politik ke dalam lembaga DDI. Akibatnya, muktamar berakhir dengan menyisahkan masalah yang “menggantung”. Masalah itu muncul kembali pada muktamar berikutnya. 

Pada perkembangan selanjutnya, gejolak politik kembali menerpa DDI saat menghadapi Pemilu 1977. Saai itu, partai-partai politik melakukan fusi dan yang tinggal hanya 3 partai (PPP, Golkar dan PDI). 

Atas dasar untuk menyelamatkan DDI dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, setelah melalui istikharah, akhirnya Ambo Dalle menyatakn diri bergabung dengan Golkar dan menjadi calon anggota legislatif. Meskipun keterlibatan Ambo Dalle atas nama pribadinya, bukan lembaga, namun tak urung sikap politik Ambo Dalle ditentang oleh beberapa tokoh DDI. Sikap itu dianggap sudah keluar dari tujuan perjuangan DDI. Akibatnya, hal itu berimbas pada pondok pesantren DDI Parepare yang dipimpin langsung oleh Ambo Dalle. Kampus DDI Ujung Lare dan Ujung Baru ditinggalkan oleh santri-santri. Imbas itu juga terasa sampai ke cabang-cabang DDI. Melihat kondisi itu, Ambo Dalle merasa frusttasi dan berniat pindah ke Kalimantan Timur. Tetapi dalam suasana ketidakpastian ini, datang tawaran dari Bupati Pinrang untuk hijrah ke kotanya, dan bagi Ambo Dalle telah disiapkan suatu areal yang bisa dibangun pesantren. Ambo Dalle segera menerima tawaran ini, kemudian pindah ke Pinrang dan mendirikan Pesantren DDI Kaballangan. 

Peristiwa dan pengalaman pahit Pemilu 1977 memberikan kesadaran kepada warga dan tokoh-tokoh DDI untuk mempertegas kembali independensi DDI. DDI harus kembali ke Mabda’nya. Maka, dalam muktamar ke-14 1979 di Parepare dicetuskan Deklarasi Ujung Lare yang berisi indepensi DDI. Dalam deklarasi itu juga dicantumkan tentang pemakaian kembali lambang DDI yang diciptakan Ambo Dalle. 

Upaya Ambo Dalle untuk mendekatkan diri kepada pemerintah demi perkembangan DDI kelihatannya tidak lagi mendapatkan oposisi yang keras dari warga DDI setelah itu. Indikasi tentang hal ini bisa dilihat pada Pemilu 1982, di mana pesantren DDI di Parepare maupun Kaballlangan, Pinrang, yang dikelola langsung oleh Ambo Dalle tidak lagi mengalami kegoncangan dalam pemilu tersebut. Demikian pula ketika rezim Soeharto memaksakan Pancasila sebagai “asas tunggal” bagi organisasi sosial, DDI tidak mengalami masalah untuk menerimahnya dalam muktamar ke-15 pada 1984 di Kaballangan. Dalam “Deklarasi Kebulatan Tekad” yang dikeluarkan di Kaballangan pada pertengahn Maret 1984, dinyatakan berlakunya asas tunggal Pancasila bagi DDI. Itulah sebabnya terdapat kesan kuat bahwa Ambo Dalle ingin rukun terhadap pemerintah.

D. Penutup:

Sebagaimana lazimnya para kiai yang telah sampai pada derajat waliyullah, Ambo Dalle juga diyakini oleh murid-muridnya memiliki karamah. Banyak cerita supranatural yang beredar di kalangan warga DDI tentang hal ini. Bahkan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, ingatan mereka paling menonjol tentang Ambo Dalle adalah peristiwa-peristiwa supranatural. Banyak masyarakat datang untuk meminta “air penyembuh” darinya. 

Tahun-tahun terakhir Ambo Dalle dijalaninya dalam keadaan lumpuh total. Setelah terjatuh di kamar mandinya dan terserang stroke, Ambo Dalle mengalami kelumpuhan dan penurunan kondisi fisik secara draktis. Semua aktivitas yang bersifat fisikal tidak lagi dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain. Namun, dalam kondisi fisik semacam itu, Ambo Dalle masih tetap aktif mengelola DDI dan perguruannya, bahkan masih bertandang ke berbagai cabang DDI di daerah untuk berdakwah, mengunjungi murid dan mengembangkan perguruannya. 

Setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit lantaran usia, pada permulaan Nopember 1996 Ambo Dalle kembali dibawa ke RS Akademis Ujung Pandang untuk dirawat. Ini merupakan kunjungan terakhirnya ke rumah sakit, setelah tiga minggu dirawat, Kiai kharismatik ini dipanggil pulang oleh Khaliqnya seusai shalat Jumat, 29 Nopember 1996. Siang itu juga jenazahnya dibawa pulang ke kediamannya di Parepare. 

Di pagi hari berikutnya—Sabtu, 30 Nopember 1996—jenazah Ambo Dalle diberangkatkan ke Mangkoso dan dimakamkan di bagian depan kompleks mesjid Pesantren DDI Mangkoso, berdampingan dengan dua makam rekannya, H. Andi Muh. Yusuf Andi Dagong dan K.H. Amberi Said, yang pada masa lalu sangat berjasa dalam mengembangkan pesantren tersebut. 

Dan Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), sebagai amanah yang diwarisankan Ambo Dalle kepada warga DDI, kini dalam perkembangannya telah tersebar di 20 propinsi dipelosok tanah air seluruhnya ditangani 6 Pengurus Wilayah, 53 Pengurus Daerah, 307 Pengurus Cabang dan 87 Pengurus Ranting dengan jumlah madrasah 1025 buah, 75 buah pondok pesantren dan 15 buah penguruan tinggi.

Artikel berhubungan:

  1. Haul Gurutta Ambo Dalle 
  2. Kenangan DR Muhammad Suaib Tahir Bersama Anregurutta (1) 
  3. Kenangan DR MuhammadSuaib Tahir Bersama Anregurutta (2)
  4. Kenangan DR MuhammadSuaib TahirBersama Anregurutta (3) 
  5. Mengejar Berkahnya Gurutta KeTanah Bugis
  6. Seorang Anak Polisi MemburuBarakka’ Ke Kaballangang
  7. Barakka’-na Anregurutta AmboDalle
  8. Isra'-Mi'raj Ke Elle Salewo-E Bersama Gurutta H. Jamalu  
  9. Seorang Muhajir Fakir


No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

Blog Archive

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA