Monday, January 7, 2013

KENANGAN DR MUHAMMAD SUAIB TAHIR BERSAMA ANREGUTTA AMBO DALLAE (2)



Tulisan dari Hulu Lembah Sungai Nil, Africa

Sambungan dari tulisan sebelumnya: “Pernama di Kaballangan, Mengenang Al Marhum Gurutta”

Purnama Mulai Bersinar Di Kaballangang


Kisah Gurutta tentang mimpinya melihat Purnama jatuh di Kaballangang ketika masih berada di Ujung Lare, adalah sebuah mimpi yang benar dan memiliki arti dan hikmah yang sangat tinggi nilainya di kemduian hari. Pada sekitar tahun 1981-1985, merupakan era kebangkitan Ponpes Kaballangang yang ditandai dengan munculnya minat dari berbagai daerah untuk melanjutkan sekolah ke Kaballangang, bukan saja di tanah Bugis tetapi juga di berbagai provinsi lainnya hingga ke Flores. Bahkan para orang tua di berbagai daerah sebelum anaknya tamat SD, sudah dipersiapkan masuk ke Kaballangang. 

Guru-guru yang dikirim Gurutta ke seantoro Indonesia seperti ke Palu, Samarinda, Banjarmasin, Jawa Timur, Jambi, Riau, toil-toli dan lain-lain masing-masing membawa santri baru ke Kaballangang paling sedikit 3 (tiga) atau 5 (lima) orang calon santri, sehingga dalam kurun waktu tiga empat tahun, Pesantren DDI Manahilil Ulum mulai padat. Begitupula, orang-orang kaya di Ujung Pandang, Kalimantan, Palu atau di daerah lainnya juga mulai tertarik memasukkan anak-anaknya ke Pesantren Kaballangang sehingga Kaballangang menjadi tempatnya bekumpul anak orang kaya, menengah dan sederhana. 

Tidak terasa Kaballangan drastis berubah menjadi kota kecil santri. Setiap hari Gurutta sibuk menerima tamu karena seorang wali murid merasa tidak puas datang ke Kaballangan tanpa pertemuan dengan Gurutta, kami pun setiap saat sibuk menyediakan teh atau kue-kue manis yang dikirim oleh keluarga Gurutta dari Pare-Pare. Pada waktu yang sama, Gurutta juga memutuskan memindahkan semua santri putra di Ujung Lare ke Kabllangang dengan tujuan memisahkan Pesantren Putra dan Putri. Kaballangan khusus untuk putra dan Ujung Lare khusus untuk putri. 

Keputusan Gurutta ini menjadikan Pesantren Kaballangang semakin ramai karena selain santri baru yang berdatangang hampir setiap hari, juga santri lama yang selama ini mondok di Ujung lare pindah dan bergabung ke Kaballangang. Yang sangat menarik karena Pesantren Putri di Ujung Lare juga semakin ramai dan diminati di berbagai daerah. 

Kondisi tersebut di atas membuat  Gurutta semakin sibuk untuk mencari sumber bantuan baik dari pemerintah maupun dari para dermawan Bugis yang kaya raya di Ujung Pandang atau di tempat lain termasuk orang-orang kaya di Pinrang dan sekitarnya. 

Di tengah-tengah kesibukan Gurutta untuk melobby ke sana ke mari demi kemajuan Pesantren, Gurutta tetap memperhatikan jadwal pengajian dan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu berada di Pesantren khususnya pada waktu-waktu pengajian. Yang saya amati ketika itu, Gurutta biasanya meninggalkan Pesantren setelah Sholat Isya atau setelah melakukan pengajian, jika ada urusan ke Ujung Pandang atau ada undangan yang harus dipenuhi karena beliau harus nginap di Ujung baru, kemudian paginya ke Ujung Pandang, kecuali undangan tersebut hanya disekitar daerah Pinrang, biasanya Gurutta berangkat sebelum Magrib dan kembali pada malam yang sama untuk mengejar pengajian subuh di Pesantren. 

Seingat saya, Gurutta tidak pernah mengeluh dan tidak pernah menolak jika ada orang yang mengundangnya. Salah satu kelebihan Gurutta dan mungkin sulit diikuti oleh santrinya adalah tidak pernah memandang siapa yang mengundangnya dan tidak pernah menolak undangan siapapun mulai dari yang kaya raya sampai yang fakir miskin, dari kota sampe ke pedalaman semua dipenuhi dan didatangi tanpa ada keluhan dan koment setelah itu. Semua diapresiasi dengan baik dan selalu menunjukkan senyum dan penuh harapan setiap kali selesai memenuhi undangan. 

Pengalaman mengatur jadwal Gurutta ketika masih di Pesantren, ternyata dikemudian hari sangat bermanfaat bagi kami setelah bekerja di Kedutaan. Upaya Gurutta untuk memenuhi fasilitas pesantren seperti pembangunan Asrama, sekolah, jaringan listrik, pembangunan mesjid Al Wasila, perbaikan jalan masuk ke Pesantren dan perumahan guru semuanya terpenuhi sesuai dengan waktu yang diinginkan. Entah bantuan itu darimana, yang jelasnya Gurutta tidak pernah meminjam duit untuk pembangunan Pesantrennya semua berjalan seperti air tanpa ada hambatan. Bahkan yang sangat menakjubkan karena pada waktu yang sama Gurutta juga membangun sebuah rumah yang sangat besar pada waktu itu. 

Masih segar diingatan saya, kalau Gurutta ke Ujung Pandang untuk pertemuan dengan Gubernur atau Sekwilda selalu menyampaikan bahwa Pesantrennya berjalan baik dan santrinya semakin banyak. Beliau tidak pernah meminta sumbangan secara langsung atau fasilitas lain yang diinginkan akan tetapi hanya menyinggung kemajuan yang ada di pesantrennya sehingga dengan demikian Gubernur dan Pejabat lainnya dapat memahami maksud Gurutta. Biasanya setelah itu, ada kunjungan pejabat ke Pesantren atau Bupati untuk mengetahui kebutuhan Pesantren, lalu kemudian diikuti dengan berbagai proyek pembangunan baik berasal dari pemerintah maupun dari swasta sehingga dari waktu ke waktu pembangunan infrastruktur pesantren mulai terpenuhi satu persatu. 

Kalau saya juga tidak salah, pada tahun-tahun itu juga (mohon koreksi), para alumni DDI yang belajar di Mesir seperti, Ustaz Haji Yunus Shamad LC (kini PB DDI), Ustaz Haji Abdul Rahim Arsyad MA (kini Professor Doktor), Ustaz Haji Andi Syamsul Bahri, MA, (Kini Professor Doktor dan bermukim di Brunei) Ustaz Haji Lukmanul Hakim LC (Pimpinan Pesantren Poleko, Ustaz Abbas Remmang, LC, dan Bapak Dr. Rusydi Ambo Dalle (Putra Gurutta) kembali ke Kaballangang untuk membantu Gurutta. 

Bahkan pada masa itu, Kaballangang juga mendapat satu jatah Guru dari Al Azhar Mesir yaitu, Syech Ali Ahmed dan juga jatah dari LSM asing yang bekerjasama dengan Depag RI untuk mengajar bahasa Inggris, yaitu Mr. Robert Kingham. Menarik sekali perkembangan dan kemajuan pesantren Kaballangan waktu itu dan bahkan merupakan salah satu pesantren yang terbesar di Sulawesi yang sering menjadi tujuan kunjungan pejabat tinggi negara baik dari Pusat maupun dari Provinsi apalagi dari Pemda yang hampir setiap minggu muncul ke Kaballangang untuk mengetahui segala perkembangan yang terjadi dan menanyakan langsung kepada Gurutta apa-apa yang dibutuhkan. 

Perumahan Guru yang disediakan oleh Gurutta khususnya mereka yang alumni Mesir, mungkin sulit ditemukan di Pesantren manapun saat itu. Demikian pula rumah-rumah santri yang merupakan sumbangan dari setiap Bupati, juga sangat bagus bila dibanding dengan yang ada di Pesantren lain. Begitupula Asrama-asrama santri yang terdiri dari bangunan-bangunan Inpres, semuanya memiliki standar yang cukup bagus bila dibanding dengan berbagai pesantren di tempat lain kecuali Pesantren yang mengenakan pembayaran bagi santrinya seperti IMMIM di Makkassar. 

Ketika saya ditunjuk oleh Gurutta sebagai salah satu penerima beasiswa dari Al Azhar untuk mewakili DDI bersama Ustaz Halim, Kepala Tsanawaiyah Waktu itu dan guru kami, pada tahun 1988, suasana di Pesantren sangat maju dan pesat sehingga rasanya untuk meninggalkannya sangat berat. Lapangan Bola Volley sudah permanen, sebelumnya hanya menggunakan tiang kayu dan net tali dan kain sarung yang diikat, lapangan Bola di seberang jalan juga sudah rapi, asrama-asrama santri sudah dilengkapi listrik dan kelihatan cantik, sumur umum sudah banyak, rumah Gurutta sudah jadi dan mewah kelihatan, Mesjid Al Wasila sudah diresmikan oleh Wapres Sudarmono waktu itu, Listrik sudah masuk sehingga setiap santri sudah bebas menggunakan listrik untuk memutar lagu-lagu scorpion atau break dance dalam kamarnya, jalanan di pesantren sudah rapih, ada warung dan kantin milik ibunya ustaz Idris, ada pos keamanan, ada piket setiap saat, ada pintu Gerbang, pengajian kitab kuning lancar, training dakwah ramai setiap malam Jum’at, santri sudah menggunakan pakaian resmi putih-putih atau putih hitam dengan kofya saat masuk sekolah, guru-guru sudah banyak baik dari Mesir maupun dari dalam negeri, pelajaran di sekolah sudah terdiri dari berbagai materi umum seperti matematika, IPA, IPS dan bahasa Indonesia, Guru-Guru sudah pada disiplin, gaji guru sudah ada, tukang pos dari Pekkabata sudah lancar masuk ke Kaballangang membawa wesel. Undangan Ancaba dan pajjaguru semakin banyak dan sudah punya coordinator Ancaba dan lain-lain sebagainya, semuanya sudah lengkap menjadikan Pesantren sebagai hunian yang nyaman, damai dan bermakna. 

Pesantren mencapai awal puncak kemajuan pada paroh tahun 80-an ke atas dan sangat berbeda ketika kami baru masuk ke Kaballangang. Saya pun waktu itu sudah mulai mendapat tugas dari Gurutta untuk mengajar anak-anak yang baru datang ke Pesantren walaupun hanya terbatas bagi mereka yang tinggal di rumah Gurutta, khususnya mereka yang belum tamat SD seperti, Zainuddin Mubarak (Landrover), Tirmisi, Martunas, Adiknya Nuh dari Palu, Patung anaknya Gurutta Amin Natsir di Jakarta dan masih ada lainnya yang masuk kategori Pemula di Pesantren. 

Sementara Ustaz Haji Jamalu dan para Ustaz lainnya yang sudah senior biasanya mereka mengajar di Mesjid Al Wasila setelah selesai sholat Isya sebagai pelajaran tambahan bagi setiap santri berminat. Masa-masa itu, Gurutta selalu kelihatan bahagia dan senang jika melihat santrinyai berbondong-bondong menuju Mesjid atau sekolah. Bahkan seringkali dari bagian belakang rumahnya di sore hari, Gurutta memperhatikan dari jauh kegiatan santri di Asrama dan bangunan lainnya. 

Di Asrama sana ada si Hatta, Mustaming Maddu, Iskandar, Muhamemin, Agus, Rahmat, Lukman, Syahrulla, Muntaha, Taslim dan lain-lain yang hampir semuanya ada di komunitas Anak DDI Kababllangang. Gurutta hanya selalu mengatakan Masya Allah anak-anakku semakin banyak dan mudah-mudahan mereka menjadi anak yang baik dan bermanfaat di kemudian hari dan dapat memuwudkan harapan orang tuanya masing-masing. 

Rasa kasih sayang Gurutta terhadap anak-anak Kaballangan tidak pernah membedakan antara mereka yang tinggal di rumahnya dengan yang tinggal di Asrama, semuanya dianggap sebagai anaknya bahkan setiap saat, Gurutta selalu berusaha mengingat-ingat nama setiap santrinya dan sering kali menanyakan kepada kami “ini siapa lagi namanya” yang dari sini anaknya si…ini.. atau si.. itu dan lain-lain sebagainya”. Ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih saynag serta perhatian Gurutta terhadap semua anak-anak santrinya di Kaballangang diperlakukan sama semuanya. 

Ketika sudah berada di Mesir, kami sering mendengar cerita dari kawan-kawan yang baru datang dari Kaballangan seperti  Sdr. Hatta, Mustaming Maddu, Sdr. Abdul Rahman Arsyad, Zainuddin Mubarak (Landrover) dan lain-lain bahwa Kaballangang semakin maju dan pesat, Gurutta mengharapkan agar kami semua anak-anak DDI belajar bersungguh-sungguh supaya cepat kembali ke Kaballangang untuk membantu Gurutta yang sudah semakin tua dan mulai kewalahan menangani Pesantrennya. 

Gurutta sangat mengharapkan kami semua untuk kembali ke Pesantren mengabdikan ilmu yang telah diperoleh. Ketika teman-teman bercerita tentang Kaballangang, kami rindu dan kangen mengenang masa-masa bersama Gurutta, perasaan pun seakan-akan Gurutta selalu bersama kami dan mengikuti setiap tindakan dan tingka laku kami di Cairo. Kami sering bercerita tentang keistimewaan yang ada pada Gurutta seperti, uang yang tiba-tiba ada di lemari ketika ingin membangun atau membeli sesuatu yang sangat diinginkan, tetapi tidak ada bantuan dari pihak lain dan keistimewaan-keistimewaan lainnya yang dimiliki Gurutta. 

Kami semua berbangga sebagai anak-anak Pesantren Kaballangang karena kami mampu menunjukkan prestasi yang baik di Al Azhar sebagaimana teman-teman mahasiswa Indonesia yang berasal dari Pesantren yang sudah sangat terkenal seperti Gontor dan lain-lain. Mahasiswa Indonesia-pun di Cairo mengenal baik alumni-alumni DDI yang dianggap mampu mengikuti pelajaran di Al Azhar sebagaimana mahasiswa lainnya dari berbagai belahan dunia. Karena itu tidak mengherankan kalau Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS) Cairo, Mesir, ketika itu, umumnya dipimpin oleh anak-anak DDI, bahkan tidak sedikit alumni DDI yang sering masuk dalam kepengurusan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Cairo, Mesir. Saya sendiri selain aktif di kepengurusan KKS dan PPMI juga aktif memberikan bimbingan kepada mahasiswa baru KKS dan lain-lain. 

Suatu hal yang patut kami syukuri karena selama di Cairo, kami tidak pernah kesulitan materi selain karena ada beasiswa dari Al Azhar, juga karena kami menerima beasiswa setiap bulan dari ICMI sebagai bantuan bagi 25 orang mahasiswa Indonesia yang berprestasi di Al Azhar sebesar US$ 250 perbulan. Prestasi-prestasi yang kami capai bersama teman-teman DDI lainnya semuanya tidak terlepas dari Barakka’na Gurutta. 

Enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1993, kami kembali menginjakkan kaki di Pesantren Kaballangang setelah menyelesaikan S1 di Al Azhar. Kami kembali berlibur ke Indonesia karena kebetulan mendapat tiket gratis dari Al Azhar. Tentu kami patut bersyukur karena selain telah menyelesaikan studi secara tepat waktu dan lulus masuk ke Dirasat Ulya (Post Graduated) yang paling sulit dicapai oleh setiap mahasiswa asing waktu itu, kami juga bersyukur karena telah menginjakkan kaki ke Mekka, Madina (Saudi Arabia), Yerussalem (Palestina), Tel-Aviv (Israel), Nairobi (Kenya), Sofia (Bulgaria) dan masih ada beberapa negara lainnya. Yang semakin menambah kebahagian kami karena dalam perjalanan pulang ke tanah air, akan transit lagi di Bangkok untuk sejenak menyaksikan cantiknya gadis-gadis Bangkok. Dalam hati kecil, selalu mengatakan bahwa semua ini adalah berkah dan doa Gurutta serta orang tua, karena seorang santri Kaballangang yang datang dari satu pelosok kampung yang terisolir, bisa belajar di Al Azhar dan menyelesaikan kuliah secara tepat waktu.  

Setelah tiba di Ujung Pandang pada pukul 09.00 pagi dengan Garuda Airways, kami langsung ke terminal mengambil bis umum Jurusan Polmas. Kami tidak langsung ke kampung halaman kami, akan tetapi kami terlebih dahulu mampir di Kaballangang dengan harapan bisa bertemu Gurutta. Sayangnya ketika itu, Gurutta sedang tidak ada di tempat dan kami hanya bertemu dengan Saudara Rasyid Ridha (putra Gurutta), Sdr. Amboe, Sdr. Akib Dollae, Ustas Sultan dan Ustaz Bakri yang saat itu sebagai tenaga pengajar di Pesantren. 

Sebagai wujud kegemberiaan teman-teman waktu itu, Sdr. Amboe meminta istrinya agar ayam yang ada di belakang rumahnya di potong untuk tamu dari Mesir.  Sementara saudara Akib Dollae meminta istrinya untuk membuat sayur mayur. Kami semua larut bercanda dan bercengkrama serta bercerita tentang berbagai pengalaman, sehingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Suasana Kaballangang, ketika itu persis seperti yang sering dituturkan oleh teman-teman dari Kaballangang yang baru tiba di Mesir bahwa Pesantren Kabalangan semakin maju dan pesat. 

Namun, sudah jarang yang saya kenal, kecuali teman-teman lama yang masih menetap di Pesantren sebagai tenaga pengajar. Ada yang pindah sekolah, ada yang melanjutkan ke tempat lain dan ada yang sudah tamat dan masuk ke Universitas di Ujung Pandang atau di tempat lain. Namun, Kaballangang masih tetap indah dan penuh keceriahan, santri-santri semakin banyak dan pembangunan juga semakin meriah. Keamananpun semakin ketat karena seingat saya waktu itu setiap tamu yang datang harus melapor dan menulis data pribadi di loket Piket. 

Setelah chatting dengan teman-teman lama mulai dari Ashar sampai Magrib, kami diantar oleh Sdr. Rasyid Ridho dengan menggunakan mobil Ustaz Haji Lukmanul Hakim ke kampung kami di Kajuanging. Kami tiba di rumah sekitar Pukul 22. 00 malam. Ibu dan bapak serta saudara-saudari, sudah pada tidur. Kami mengetuk pintu dengan keras sambil menyebut nama. Setelah beberapa kali berusaha membangunkan orang tua, akhirnya Bapak saya terbangun dan kaget karena secara tiba-tiba melihat kami di depan pintu berdiri bersama Sdr. Ridho. Bapak saya langsung memanggil ibu saya dan menyampaikan kalau anaknya datang dari Mesir. Ibu saya bangun dan tidak langsung menerima saya, akan tetapi ke dapur mengambil beras kemudian setelah itu datang ke depan kami untuk membubuhkan beras ke kepala kami bersama Saudara Ridho. Dalam hati saya ingin ketawa tetapi juga terharu dan sedih. Saudara Ridho juga demikian sehingga kadang tidak mampu menahan tawa. Kami memperhatikan wajah orang tua kami yang sudah mulai muncul tanda-tanda ketuan setelah enam tahun kami tinggalkan tetapi kondisi fisik masih sangat tegar. Sambil minum kopi tengah malam, bersama keluarga dan Saudara, Ridho, orang tua kami bercerita bahwa sejak kami meninggalkan kampung halaman, sudah jarang anak pesantren DDI Kaballangan datang mengunjungi kami karena hampir semua anak-anak Gurutta yang dulu sering berkunjung ke rumah kami sudah pada ke Mesir. Setelah minum kopi dan makan kue baulu, sdr.Ridha mohon diri dan kembali ke Kaballangang dan menyampaikan kepada saya bahwa harus kembali ke Kaballangang setelah puas kumpul bersama keluarga. 

Setelah beberapa hari di kampung, kami kembali ke Pesantren dengan harapan untuk bertemu dengan Gurutta, sekaligus ingin menyampaikan niatan orang tua untuk mengadakan acara syukuran dan mohon doa restu atas rencana kepulangan kami ke Mesir. Masih pagi-pagi, kami meninggalkan rumah menuju Pesantren Kaballangan dengan menggunakan mobil pete-pete, suasana pulang kampung seperti dulu kembali teringat, tetapi bendanya kondisi jalan raya sudah sangat jauh berbeda ketika pertama ke Kaballangang. Jalan raya sudah diaspal sehingga jarak tempuh dari Tuppu ke Kaballangang hanya beberapa menit saja. Ketika tiba di Pintu Gerbang Pesantren, kami mengikuti prosedur yang berlaku sebagaimana yang diarahkan oleh Piket di Posko Keamanan, yaitu menulis nama, identitas, tujuan kunjungan dan meninggalkan kartu pengenal di Posko. Dalam hati kecil saya mengatakan betul-betul Kaballangang sudah maju dan penuh kedisiplinan. Saya merasa bangga karena Pesantren yang saya tempati dulu belajar kini menjadi sebuah Lembaga Pendidikan yang bergengsi di Sulawesi, buktinya keamanan-pun sangat ketat. Dari Piket menuju rumah Gurutta kami menemui beberapa santri tapi tidak satupun yang saya kenal dan mengenal saya. Beberapa menit dari Piket, kami secara tidak sengaja bertemu dengan Ustaz Sultan yang kebetulan masih mengenal dan mengingat kami sambil beliau mengajak kami mampir. Saya pun jawab nanti Ustaz setelah ketemu dengan Gurutta. Setelah tiba di halaman rumah Gurutta, saya melihat banyak perubahan seperti warna cet rumah termasuk pagar, kebun disamping rumah Gurutta yang dulu kami sering tanami ubi kayu atau serei sudah tidak ada lagi. Banyak sekali perubahan di area halaman rumah Gurutta termasuk parkir mobil, akan tetapi dalam ruangan tamu, tidak banyak mengalami perubahan, kecuali kursi-kursi yang dulu yang sering kami bersihkan setiap pagi sudah tidak ada lagi, kolam ikan yang dulu sering ditempati Landrover mandi pagi bersama teman-teman sebayanya juga sudah ditutup rapat. Setelah berkeliling sejenak dalam rumah Gurutta termasuk kamar yang pernah kami tempati selama bersama Gurutta, kami langsung mengetuk pintu kamar Gurutta. Seorang anak Gurutta yang saya sudah tidak kenal mempersilahkan kami masuk ke dalam Kamar dan menyampaikan kepada Gurutta bahwa ada tamu. Gurutta yang sedang berbaring di atas ranjangnya sambil membaca buku, langsung bangun, kamipun langsung duduk di sampingnya dan memperkenalkan diri. Gurutta lalu bertanya dalam bahasa Bugis kapan tiba dari Mesir dan sejumlah pertanyaan lain mengenai teman-teman di Mesir dan rencana kami selanjutnya. Gurutta menyampaikan bahwa dirinya sering mendengar kalau saya termasuk yang selalu lulus dengan baik di Al Azhar dan meminta agar saya tidak kembali lagi ke Mesir dan mengabdi di Kaballangang karena umur Gurutta sudah tua. Menurut Gurutta bahwa santri semakin banyak sementara beberapa Guru mulai menjadi Pegawai negeri sehingga sudah sulit membagi waktunya dengan jadwalnya di Kaballangang. Ketika itu, saya tidak bisa menjawab dan diam sejenak sambil menunujukkan wajah kemudian mengatakan “iye puang” tapi tiketku sudah ada dan saya diterima di Dirasat Ulya sehingga harus kembali menyelesaikan S 2. Ketika itu, saya kebetulan membawa beberapa kitab wajib program master yang saya simpang dalam ransel, karena jika ada waktu atau sedang menunggu keberangkatan dari satu tempat ke tempat lain saya memanfaatkan untuk membaca kitab-kitab itu, seperti, Tahafutul Falasifa, Tahafuttahafut, Nusus Falsafiya dan Risalah Syamsiah yang bukunya bisa disampang dalam ransel. Kitab-kitab itu sebagaian saya tunjukkan ke Gurutta sebagai bukti bahwa saya telah diterima di Dirasat Ulya dan harus kembali ke Mesir. Gurutta sangat yakin akan kesungguhan saya sehingga mengizinkan untuk kembali ke Mesir. Guruttapun mengiakan akan datang pada hari Syukuran di rumah kami di Kampung. Ketika Gurutta menyampaikan ceramah malam itu, Gurutta menangis dan mengatakan bahwa anak-anaknya sudah pada jauh menuntut ilmu, kami-pun terharu dan tak mampu menahan air mata mendengar ungkapan Gurutta yang menyentuh hati. 

Sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Ujung Pandang untuk selanjutnya ke Mesir, kami menyempatkan diri untuk memohon izin yang kedua kalinya di hadapan Gurutta, kami masuk ke Pesantren dan menemui Gurutta yang saat itu sedang istirahat. Kami hanya langsung masuk kamar Gurutta dan duduk disampignya sambil mencium tangannya dan memohon izin dan doa semoga perjalanan kami ke Mesir tiba dengan selamat. Gurutta-pun bangun dan menyampaikan kepada kami “ ewae alemu” artinya selamatkan dirimu. Sebuah ungkapan yang sangat sederhana tapi mengandung arti yang sangat tinggi. Gurutta lalu, mendoakan kami dan mengatakan selamat jalan. Ungkapan Gurutta “ewae alemu” artinya bagaimana bersikap mandiri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi, tidak cengeng, tidak mengemis dan bekerja keras untuk mencapai tujuan.

Bersambung cappo…… KLIK: DI SINI --->>

Pertemuan terakhir dengan Gurutta, reformasi di Kaballangan, pesan-pesan spiritual Gurutta, Purnama Kaballangan mulai redup.

Tulisan sebelumnya:
Artikel berhubungan:
  1. Haul Gurutta Ambo Dalle
  2. Isra'-Mi'raj Ke Elle Salewo-E Bersama Gurutta H. Jamalu
  3. Seorang Muhajir Fakir



No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Facebook Badge

MyBukukuningLink

Bertukar link?



Copy kode di bawah masukan di blog anda, MyBukukuning akan segera linkback kembali. TRIMS!

Super-Bee

Popular Posts

BOOK FAIR ONLINE

Book Fair Online

Blog Archive

PENGOBATAN LANGSUNG DENGAN HERBAL ALAMI:

BURSA BUKU IAPDIKA: "KASIH SANG MERPATI" (Rp 25.000)

animated gifs
Info | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA

IAPDIKA GALERI:

animated gifs
Info: | KLIK: DI SINI | By IAPDIKA