Tulisan dari Hulu Lembah Sungai Nil, Africa
Sambungan dari tulisan sebelumnya: “Pernama di
Kaballangan, Mengenang Al Marhum Gurutta”
Purnama Mulai Bersinar Di Kaballangang
Oleh: Suaib Tahir
Kisah Gurutta tentang mimpinya melihat Purnama
jatuh di Kaballangang ketika masih berada di Ujung Lare, adalah sebuah mimpi
yang benar dan memiliki arti dan hikmah yang sangat tinggi nilainya di kemduian
hari. Pada sekitar tahun 1981-1985, merupakan era kebangkitan Ponpes
Kaballangang yang ditandai dengan munculnya minat dari berbagai daerah untuk
melanjutkan sekolah ke Kaballangang, bukan saja di tanah Bugis tetapi juga di
berbagai provinsi lainnya hingga ke Flores. Bahkan para orang tua di berbagai
daerah sebelum anaknya tamat SD, sudah dipersiapkan masuk ke Kaballangang.
Guru-guru yang dikirim Gurutta ke seantoro
Indonesia seperti ke Palu, Samarinda, Banjarmasin, Jawa Timur, Jambi, Riau,
toil-toli dan lain-lain masing-masing membawa santri baru ke Kaballangang
paling sedikit 3 (tiga) atau 5 (lima) orang calon santri, sehingga dalam kurun
waktu tiga empat tahun, Pesantren DDI Manahilil Ulum mulai padat. Begitupula,
orang-orang kaya di Ujung Pandang, Kalimantan, Palu atau di daerah lainnya juga
mulai tertarik memasukkan anak-anaknya ke Pesantren Kaballangang sehingga
Kaballangang menjadi tempatnya bekumpul anak orang kaya, menengah dan
sederhana.
Tidak terasa Kaballangan drastis berubah menjadi
kota kecil santri. Setiap hari Gurutta sibuk menerima tamu karena seorang wali
murid merasa tidak puas datang ke Kaballangan tanpa pertemuan dengan Gurutta,
kami pun setiap saat sibuk menyediakan teh atau kue-kue manis yang dikirim oleh
keluarga Gurutta dari Pare-Pare. Pada waktu yang sama, Gurutta juga memutuskan
memindahkan semua santri putra di Ujung Lare ke Kabllangang dengan tujuan
memisahkan Pesantren Putra dan Putri. Kaballangan khusus untuk putra dan Ujung
Lare khusus untuk putri.
Keputusan Gurutta ini menjadikan Pesantren
Kaballangang semakin ramai karena selain santri baru yang berdatangang hampir
setiap hari, juga santri lama yang selama ini mondok di Ujung lare pindah dan
bergabung ke Kaballangang. Yang sangat menarik karena Pesantren Putri di Ujung
Lare juga semakin ramai dan diminati di berbagai daerah.
Kondisi tersebut di atas membuat Gurutta semakin sibuk untuk mencari sumber bantuan baik dari pemerintah maupun dari para dermawan Bugis yang kaya raya di Ujung Pandang atau di tempat lain termasuk orang-orang kaya di Pinrang dan sekitarnya.
Di tengah-tengah kesibukan Gurutta untuk melobby ke
sana ke mari demi kemajuan Pesantren, Gurutta tetap memperhatikan jadwal
pengajian dan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu berada di Pesantren
khususnya pada waktu-waktu pengajian. Yang saya amati ketika itu, Gurutta
biasanya meninggalkan Pesantren setelah Sholat Isya atau setelah melakukan
pengajian, jika ada urusan ke Ujung Pandang atau ada undangan yang harus
dipenuhi karena beliau harus nginap di Ujung baru, kemudian paginya ke Ujung
Pandang, kecuali undangan tersebut hanya disekitar daerah Pinrang, biasanya
Gurutta berangkat sebelum Magrib dan kembali pada malam yang sama untuk
mengejar pengajian subuh di Pesantren.
Seingat saya, Gurutta tidak pernah mengeluh dan
tidak pernah menolak jika ada orang yang mengundangnya. Salah satu kelebihan
Gurutta dan mungkin sulit diikuti oleh santrinya adalah tidak pernah memandang
siapa yang mengundangnya dan tidak pernah menolak undangan siapapun mulai dari
yang kaya raya sampai yang fakir miskin, dari kota sampe ke pedalaman semua
dipenuhi dan didatangi tanpa ada keluhan dan koment setelah itu. Semua
diapresiasi dengan baik dan selalu menunjukkan senyum dan penuh harapan setiap
kali selesai memenuhi undangan.
Pengalaman mengatur jadwal Gurutta ketika masih di
Pesantren, ternyata dikemudian hari sangat bermanfaat bagi kami setelah bekerja
di Kedutaan. Upaya Gurutta untuk memenuhi fasilitas pesantren seperti
pembangunan Asrama, sekolah, jaringan listrik, pembangunan mesjid Al Wasila,
perbaikan jalan masuk ke Pesantren dan perumahan guru semuanya terpenuhi sesuai
dengan waktu yang diinginkan. Entah bantuan itu darimana, yang jelasnya Gurutta
tidak pernah meminjam duit untuk pembangunan Pesantrennya semua berjalan
seperti air tanpa ada hambatan. Bahkan yang sangat menakjubkan karena pada
waktu yang sama Gurutta juga membangun sebuah rumah yang sangat besar pada
waktu itu.
Masih segar diingatan saya, kalau Gurutta ke Ujung
Pandang untuk pertemuan dengan Gubernur atau Sekwilda selalu menyampaikan bahwa
Pesantrennya berjalan baik dan santrinya semakin banyak. Beliau tidak pernah
meminta sumbangan secara langsung atau fasilitas lain yang diinginkan akan
tetapi hanya menyinggung kemajuan yang ada di pesantrennya sehingga dengan
demikian Gubernur dan Pejabat lainnya dapat memahami maksud Gurutta. Biasanya
setelah itu, ada kunjungan pejabat ke Pesantren atau Bupati untuk mengetahui
kebutuhan Pesantren, lalu kemudian diikuti dengan berbagai proyek pembangunan
baik berasal dari pemerintah maupun dari swasta sehingga dari waktu ke waktu
pembangunan infrastruktur pesantren mulai terpenuhi satu persatu.
Kalau saya juga tidak salah, pada tahun-tahun itu
juga (mohon koreksi), para alumni DDI yang belajar di Mesir seperti, Ustaz Haji
Yunus Shamad LC (kini PB DDI), Ustaz Haji Abdul Rahim Arsyad MA (kini Professor
Doktor), Ustaz Haji Andi Syamsul Bahri, MA, (Kini Professor Doktor dan bermukim
di Brunei) Ustaz Haji Lukmanul Hakim LC (Pimpinan Pesantren Poleko, Ustaz Abbas
Remmang, LC, dan Bapak Dr. Rusydi Ambo Dalle (Putra Gurutta) kembali ke
Kaballangang untuk membantu Gurutta.
Bahkan pada masa itu, Kaballangang juga mendapat
satu jatah Guru dari Al Azhar Mesir yaitu, Syech Ali Ahmed dan juga jatah dari
LSM asing yang bekerjasama dengan Depag RI untuk mengajar bahasa Inggris, yaitu
Mr. Robert Kingham. Menarik sekali perkembangan dan kemajuan pesantren
Kaballangan waktu itu dan bahkan merupakan salah satu pesantren yang terbesar
di Sulawesi yang sering menjadi tujuan kunjungan pejabat tinggi negara baik
dari Pusat maupun dari Provinsi apalagi dari Pemda yang hampir setiap minggu
muncul ke Kaballangang untuk mengetahui segala perkembangan yang terjadi dan
menanyakan langsung kepada Gurutta apa-apa yang dibutuhkan.
Perumahan Guru yang disediakan oleh Gurutta
khususnya mereka yang alumni Mesir, mungkin sulit ditemukan di Pesantren
manapun saat itu. Demikian pula rumah-rumah santri yang merupakan sumbangan
dari setiap Bupati, juga sangat bagus bila dibanding dengan yang ada di
Pesantren lain. Begitupula Asrama-asrama santri yang terdiri dari
bangunan-bangunan Inpres, semuanya memiliki standar yang cukup bagus bila
dibanding dengan berbagai pesantren di tempat lain kecuali Pesantren yang
mengenakan pembayaran bagi santrinya seperti IMMIM di Makkassar.
Ketika saya ditunjuk oleh Gurutta sebagai salah
satu penerima beasiswa dari Al Azhar untuk mewakili DDI bersama Ustaz Halim,
Kepala Tsanawaiyah Waktu itu dan guru kami, pada tahun 1988, suasana di
Pesantren sangat maju dan pesat sehingga rasanya untuk meninggalkannya sangat
berat. Lapangan Bola Volley sudah permanen, sebelumnya hanya menggunakan tiang
kayu dan net tali dan kain sarung yang diikat, lapangan Bola di seberang jalan
juga sudah rapi, asrama-asrama santri sudah dilengkapi listrik dan kelihatan
cantik, sumur umum sudah banyak, rumah Gurutta sudah jadi dan mewah kelihatan,
Mesjid Al Wasila sudah diresmikan oleh Wapres Sudarmono waktu itu, Listrik
sudah masuk sehingga setiap santri sudah bebas menggunakan listrik untuk
memutar lagu-lagu scorpion atau break dance dalam kamarnya, jalanan di
pesantren sudah rapih, ada warung dan kantin milik ibunya ustaz Idris, ada pos
keamanan, ada piket setiap saat, ada pintu Gerbang, pengajian kitab kuning
lancar, training dakwah ramai setiap malam Jum’at, santri sudah menggunakan
pakaian resmi putih-putih atau putih hitam dengan kofya saat masuk sekolah,
guru-guru sudah banyak baik dari Mesir maupun dari dalam negeri, pelajaran di
sekolah sudah terdiri dari berbagai materi umum seperti matematika, IPA, IPS
dan bahasa Indonesia, Guru-Guru sudah pada disiplin, gaji guru sudah ada, tukang
pos dari Pekkabata sudah lancar masuk ke Kaballangang membawa wesel. Undangan
Ancaba dan pajjaguru semakin banyak dan sudah punya coordinator Ancaba dan
lain-lain sebagainya, semuanya sudah lengkap menjadikan Pesantren sebagai
hunian yang nyaman, damai dan bermakna.
Pesantren mencapai awal puncak kemajuan pada paroh
tahun 80-an ke atas dan sangat berbeda ketika kami baru masuk ke Kaballangang.
Saya pun waktu itu sudah mulai mendapat tugas dari Gurutta untuk mengajar
anak-anak yang baru datang ke Pesantren walaupun hanya terbatas bagi mereka
yang tinggal di rumah Gurutta, khususnya mereka yang belum tamat SD seperti,
Zainuddin Mubarak (Landrover), Tirmisi, Martunas, Adiknya Nuh dari Palu, Patung
anaknya Gurutta Amin Natsir di Jakarta dan masih ada lainnya yang masuk
kategori Pemula di Pesantren.
Sementara Ustaz Haji Jamalu dan para Ustaz lainnya
yang sudah senior biasanya mereka mengajar di Mesjid Al Wasila setelah selesai
sholat Isya sebagai pelajaran tambahan bagi setiap santri berminat. Masa-masa
itu, Gurutta selalu kelihatan bahagia dan senang jika melihat santrinyai
berbondong-bondong menuju Mesjid atau sekolah. Bahkan seringkali dari bagian
belakang rumahnya di sore hari, Gurutta memperhatikan dari jauh kegiatan santri
di Asrama dan bangunan lainnya.
Di Asrama sana ada si Hatta, Mustaming Maddu,
Iskandar, Muhamemin, Agus, Rahmat, Lukman, Syahrulla, Muntaha, Taslim dan
lain-lain yang hampir semuanya ada di komunitas Anak DDI Kababllangang. Gurutta
hanya selalu mengatakan Masya Allah anak-anakku semakin banyak dan
mudah-mudahan mereka menjadi anak yang baik dan bermanfaat di kemudian hari dan
dapat memuwudkan harapan orang tuanya masing-masing.
Rasa kasih sayang Gurutta terhadap anak-anak
Kaballangan tidak pernah membedakan antara mereka yang tinggal di rumahnya
dengan yang tinggal di Asrama, semuanya dianggap sebagai anaknya bahkan setiap
saat, Gurutta selalu berusaha mengingat-ingat nama setiap santrinya dan sering
kali menanyakan kepada kami “ini siapa lagi namanya” yang dari sini anaknya
si…ini.. atau si.. itu dan lain-lain sebagainya”. Ini menunjukkan bahwa
kecintaan dan kasih saynag serta perhatian Gurutta terhadap semua anak-anak
santrinya di Kaballangang diperlakukan sama semuanya.
Ketika sudah berada di Mesir, kami sering mendengar
cerita dari kawan-kawan yang baru datang dari Kaballangan seperti Sdr. Hatta, Mustaming Maddu, Sdr. Abdul Rahman
Arsyad, Zainuddin Mubarak (Landrover) dan lain-lain bahwa Kaballangang semakin
maju dan pesat, Gurutta mengharapkan agar kami semua anak-anak DDI belajar
bersungguh-sungguh supaya cepat kembali ke Kaballangang untuk membantu Gurutta
yang sudah semakin tua dan mulai kewalahan menangani Pesantrennya.
Gurutta sangat mengharapkan kami semua untuk
kembali ke Pesantren mengabdikan ilmu yang telah diperoleh. Ketika teman-teman
bercerita tentang Kaballangang, kami rindu dan kangen mengenang masa-masa
bersama Gurutta, perasaan pun seakan-akan Gurutta selalu bersama kami dan
mengikuti setiap tindakan dan tingka laku kami di Cairo. Kami sering bercerita
tentang keistimewaan yang ada pada Gurutta seperti, uang yang tiba-tiba ada di
lemari ketika ingin membangun atau membeli sesuatu yang sangat diinginkan,
tetapi tidak ada bantuan dari pihak lain dan keistimewaan-keistimewaan lainnya
yang dimiliki Gurutta.
Kami semua berbangga sebagai anak-anak Pesantren
Kaballangang karena kami mampu menunjukkan prestasi yang baik di Al Azhar
sebagaimana teman-teman mahasiswa Indonesia yang berasal dari Pesantren yang
sudah sangat terkenal seperti Gontor dan lain-lain. Mahasiswa Indonesia-pun di
Cairo mengenal baik alumni-alumni DDI yang dianggap mampu mengikuti pelajaran
di Al Azhar sebagaimana mahasiswa lainnya dari berbagai belahan dunia. Karena
itu tidak mengherankan kalau Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS) Cairo, Mesir,
ketika itu, umumnya dipimpin oleh anak-anak DDI, bahkan tidak sedikit alumni
DDI yang sering masuk dalam kepengurusan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa
Indonesia (PPMI) Cairo, Mesir. Saya sendiri selain aktif di kepengurusan KKS
dan PPMI juga aktif memberikan bimbingan kepada mahasiswa baru KKS dan
lain-lain.
Suatu hal yang patut kami syukuri karena selama di
Cairo, kami tidak pernah kesulitan materi selain karena ada beasiswa dari Al
Azhar, juga karena kami menerima beasiswa setiap bulan dari ICMI sebagai
bantuan bagi 25 orang mahasiswa Indonesia yang berprestasi di Al Azhar sebesar
US$ 250 perbulan. Prestasi-prestasi yang kami capai bersama teman-teman DDI
lainnya semuanya tidak terlepas dari Barakka’na Gurutta.
Enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1993, kami
kembali menginjakkan kaki di Pesantren Kaballangang setelah menyelesaikan S1 di
Al Azhar. Kami kembali berlibur ke Indonesia karena kebetulan mendapat tiket
gratis dari Al Azhar. Tentu kami patut bersyukur karena selain telah
menyelesaikan studi secara tepat waktu dan lulus masuk ke Dirasat Ulya (Post
Graduated) yang paling sulit dicapai oleh setiap mahasiswa asing waktu itu,
kami juga bersyukur karena telah menginjakkan kaki ke Mekka, Madina (Saudi
Arabia), Yerussalem (Palestina), Tel-Aviv (Israel), Nairobi (Kenya), Sofia
(Bulgaria) dan masih ada beberapa negara lainnya. Yang semakin menambah
kebahagian kami karena dalam perjalanan pulang ke tanah air, akan transit lagi
di Bangkok untuk sejenak menyaksikan cantiknya gadis-gadis Bangkok. Dalam hati
kecil, selalu mengatakan bahwa semua ini adalah berkah dan doa Gurutta serta
orang tua, karena seorang santri Kaballangang yang datang dari satu pelosok
kampung yang terisolir, bisa belajar di Al Azhar dan menyelesaikan kuliah
secara tepat waktu.
Setelah tiba di Ujung Pandang pada pukul 09.00 pagi
dengan Garuda Airways, kami langsung ke terminal mengambil bis umum Jurusan
Polmas. Kami tidak langsung ke kampung halaman kami, akan tetapi kami terlebih
dahulu mampir di Kaballangang dengan harapan bisa bertemu Gurutta. Sayangnya ketika
itu, Gurutta sedang tidak ada di tempat dan kami hanya bertemu dengan Saudara
Rasyid Ridha (putra Gurutta), Sdr. Amboe, Sdr. Akib Dollae, Ustas Sultan dan
Ustaz Bakri yang saat itu sebagai tenaga pengajar di Pesantren.
Sebagai wujud kegemberiaan teman-teman waktu itu,
Sdr. Amboe meminta istrinya agar ayam yang ada di belakang rumahnya di potong
untuk tamu dari Mesir. Sementara saudara
Akib Dollae meminta istrinya untuk membuat sayur mayur. Kami semua larut
bercanda dan bercengkrama serta bercerita tentang berbagai pengalaman, sehingga
tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Suasana Kaballangang,
ketika itu persis seperti yang sering dituturkan oleh teman-teman dari
Kaballangang yang baru tiba di Mesir bahwa Pesantren Kabalangan semakin maju
dan pesat.
Namun, sudah jarang yang saya kenal, kecuali
teman-teman lama yang masih menetap di Pesantren sebagai tenaga pengajar. Ada
yang pindah sekolah, ada yang melanjutkan ke tempat lain dan ada yang sudah
tamat dan masuk ke Universitas di Ujung Pandang atau di tempat lain. Namun,
Kaballangang masih tetap indah dan penuh keceriahan, santri-santri semakin
banyak dan pembangunan juga semakin meriah. Keamananpun semakin ketat karena
seingat saya waktu itu setiap tamu yang datang harus melapor dan menulis data
pribadi di loket Piket.
Setelah chatting dengan teman-teman lama mulai dari
Ashar sampai Magrib, kami diantar oleh Sdr. Rasyid Ridho dengan menggunakan
mobil Ustaz Haji Lukmanul Hakim ke kampung kami di Kajuanging. Kami tiba di
rumah sekitar Pukul 22. 00 malam. Ibu dan bapak serta saudara-saudari, sudah
pada tidur. Kami mengetuk pintu dengan keras sambil menyebut nama. Setelah
beberapa kali berusaha membangunkan orang tua, akhirnya Bapak saya terbangun
dan kaget karena secara tiba-tiba melihat kami di depan pintu berdiri bersama
Sdr. Ridho. Bapak saya langsung memanggil ibu saya dan menyampaikan kalau
anaknya datang dari Mesir. Ibu saya bangun dan tidak langsung menerima saya,
akan tetapi ke dapur mengambil beras kemudian setelah itu datang ke depan kami
untuk membubuhkan beras ke kepala kami bersama Saudara Ridho. Dalam hati saya
ingin ketawa tetapi juga terharu dan sedih. Saudara Ridho juga demikian
sehingga kadang tidak mampu menahan tawa. Kami memperhatikan wajah orang tua
kami yang sudah mulai muncul tanda-tanda ketuan setelah enam tahun kami
tinggalkan tetapi kondisi fisik masih sangat tegar. Sambil minum kopi tengah
malam, bersama keluarga dan Saudara, Ridho, orang tua kami bercerita bahwa
sejak kami meninggalkan kampung halaman, sudah jarang anak pesantren DDI
Kaballangan datang mengunjungi kami karena hampir semua anak-anak Gurutta yang
dulu sering berkunjung ke rumah kami sudah pada ke Mesir. Setelah minum kopi
dan makan kue baulu, sdr.Ridha mohon diri dan kembali ke Kaballangang dan
menyampaikan kepada saya bahwa harus kembali ke Kaballangang setelah puas
kumpul bersama keluarga.
Setelah beberapa hari di kampung, kami kembali ke
Pesantren dengan harapan untuk bertemu dengan Gurutta, sekaligus ingin
menyampaikan niatan orang tua untuk mengadakan acara syukuran dan mohon doa
restu atas rencana kepulangan kami ke Mesir. Masih pagi-pagi, kami meninggalkan
rumah menuju Pesantren Kaballangan dengan menggunakan mobil pete-pete, suasana
pulang kampung seperti dulu kembali teringat, tetapi bendanya kondisi jalan
raya sudah sangat jauh berbeda ketika pertama ke Kaballangang. Jalan raya sudah
diaspal sehingga jarak tempuh dari Tuppu ke Kaballangang hanya beberapa menit
saja. Ketika tiba di Pintu Gerbang Pesantren, kami mengikuti prosedur yang
berlaku sebagaimana yang diarahkan oleh Piket di Posko Keamanan, yaitu menulis
nama, identitas, tujuan kunjungan dan meninggalkan kartu pengenal di Posko.
Dalam hati kecil saya mengatakan betul-betul Kaballangang sudah maju dan penuh
kedisiplinan. Saya merasa bangga karena Pesantren yang saya tempati dulu
belajar kini menjadi sebuah Lembaga Pendidikan yang bergengsi di Sulawesi,
buktinya keamanan-pun sangat ketat. Dari Piket menuju rumah Gurutta kami
menemui beberapa santri tapi tidak satupun yang saya kenal dan mengenal saya.
Beberapa menit dari Piket, kami secara tidak sengaja bertemu dengan Ustaz
Sultan yang kebetulan masih mengenal dan mengingat kami sambil beliau mengajak
kami mampir. Saya pun jawab nanti Ustaz setelah ketemu dengan Gurutta. Setelah
tiba di halaman rumah Gurutta, saya melihat banyak perubahan seperti warna cet
rumah termasuk pagar, kebun disamping rumah Gurutta yang dulu kami sering
tanami ubi kayu atau serei sudah tidak ada lagi. Banyak sekali perubahan di
area halaman rumah Gurutta termasuk parkir mobil, akan tetapi dalam ruangan
tamu, tidak banyak mengalami perubahan, kecuali kursi-kursi yang dulu yang
sering kami bersihkan setiap pagi sudah tidak ada lagi, kolam ikan yang dulu
sering ditempati Landrover mandi pagi bersama teman-teman sebayanya juga sudah
ditutup rapat. Setelah berkeliling sejenak dalam rumah Gurutta termasuk kamar
yang pernah kami tempati selama bersama Gurutta, kami langsung mengetuk pintu
kamar Gurutta. Seorang anak Gurutta yang saya sudah tidak kenal mempersilahkan
kami masuk ke dalam Kamar dan menyampaikan kepada Gurutta bahwa ada tamu.
Gurutta yang sedang berbaring di atas ranjangnya sambil membaca buku, langsung
bangun, kamipun langsung duduk di sampingnya dan memperkenalkan diri. Gurutta
lalu bertanya dalam bahasa Bugis kapan tiba dari Mesir dan sejumlah pertanyaan
lain mengenai teman-teman di Mesir dan rencana kami selanjutnya. Gurutta
menyampaikan bahwa dirinya sering mendengar kalau saya termasuk yang selalu
lulus dengan baik di Al Azhar dan meminta agar saya tidak kembali lagi ke Mesir
dan mengabdi di Kaballangang karena umur Gurutta sudah tua. Menurut Gurutta
bahwa santri semakin banyak sementara beberapa Guru mulai menjadi Pegawai
negeri sehingga sudah sulit membagi waktunya dengan jadwalnya di Kaballangang.
Ketika itu, saya tidak bisa menjawab dan diam sejenak sambil menunujukkan wajah
kemudian mengatakan “iye puang” tapi tiketku sudah ada dan saya diterima di
Dirasat Ulya sehingga harus kembali menyelesaikan S 2. Ketika itu, saya
kebetulan membawa beberapa kitab wajib program master yang saya simpang dalam
ransel, karena jika ada waktu atau sedang menunggu keberangkatan dari satu
tempat ke tempat lain saya memanfaatkan untuk membaca kitab-kitab itu, seperti,
Tahafutul Falasifa, Tahafuttahafut, Nusus Falsafiya dan Risalah Syamsiah yang
bukunya bisa disampang dalam ransel. Kitab-kitab itu sebagaian saya tunjukkan
ke Gurutta sebagai bukti bahwa saya telah diterima di Dirasat Ulya dan harus
kembali ke Mesir. Gurutta sangat yakin akan kesungguhan saya sehingga
mengizinkan untuk kembali ke Mesir. Guruttapun mengiakan akan datang pada hari
Syukuran di rumah kami di Kampung. Ketika Gurutta menyampaikan ceramah malam
itu, Gurutta menangis dan mengatakan bahwa anak-anaknya sudah pada jauh
menuntut ilmu, kami-pun terharu dan tak mampu menahan air mata mendengar
ungkapan Gurutta yang menyentuh hati.
Sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Ujung
Pandang untuk selanjutnya ke Mesir, kami menyempatkan diri untuk memohon izin
yang kedua kalinya di hadapan Gurutta, kami masuk ke Pesantren dan menemui
Gurutta yang saat itu sedang istirahat. Kami hanya langsung masuk kamar Gurutta
dan duduk disampignya sambil mencium tangannya dan memohon izin dan doa semoga
perjalanan kami ke Mesir tiba dengan selamat. Gurutta-pun bangun dan
menyampaikan kepada kami “ ewae alemu” artinya selamatkan dirimu. Sebuah
ungkapan yang sangat sederhana tapi mengandung arti yang sangat tinggi. Gurutta
lalu, mendoakan kami dan mengatakan selamat jalan. Ungkapan Gurutta “ewae
alemu” artinya bagaimana bersikap mandiri dalam menyelesaikan berbagai masalah
yang dihadapi, tidak cengeng, tidak mengemis dan bekerja keras untuk mencapai
tujuan.
Bersambung cappo…… KLIK: DI SINI --->>
Pertemuan terakhir dengan Gurutta, reformasi di
Kaballangan, pesan-pesan spiritual Gurutta, Purnama Kaballangan mulai redup.
Tulisan sebelumnya:Artikel berhubungan:
No comments:
Post a Comment