Ulama Pembina dan Politikus Penguasa
Oleh: H. Saharuddin Padu (Saroja Oja)
Tentu saja ungkapan diatas bukalah isapan jempol belaka, tetapi keluar dari lisan
Gurutta Prof. AGH Faried Wajedi, MA. Beliau menegaskan disela-sela obrolan
lepasnya di Hotel Hayani Samarinda bahwa ulama itu sifatnya membina sedangkan
politikus adalah menguasai, sambil menjelaskan sekedarnya perbedaan antara kedua
ungkapan tersebut. Ini suatu bukti bahwa Beliau sangat peka mencermati konsekuensi
(efektivitas) bagi DDI jika dipimpin oleh seorang ulama dan risiko (stagnasi)
jika ia dipimpin oleh politikus.
Penulis akan mencoba menguraikan ungkapan Gurutta
ini karena mengandung nilai philosfis yang dalam, dimana kita dituntut sejenak
mengerutkan dahi untuk menemukan sinkronisasi ungkapan ini dalam organisasi DDI
yang kita cintai dan dalam kehidupan berorganisasi.
ULAMA PEMBINA
ULAMA PEMBINA
Jelas di dalam hadis rasulullah SAW tidak ada
satupun yang disebut pengganti Nabi kecuali Ulama. Dan al-qur'an sangat paten
mengakui ulama sebagai “الراسخون فى العلم” (mereka yang mempunyai pengetahui yang pasti). Nah, adakah
kita yang menyanksikan ke-ulama-an Anrgurutta? Siapapun yang melihat karya-karya
ilmia Beliau yang berjumlah lebih dari 40 judul kitab, (diantaranya):
- القول الصادق في معرفة الخالق
- ربي اجعلني مقيم الصلاة
- حلية الشباب
- النخبة المرضية
- الرسالة البهية
- مرشد الطلاب
- تمرين الطلاب
- إلخ,,,,,,,
Menujukkan kemampuan Gurutta
dalam menguasai ilmu-ilmu agama, sastra, dan bahasa Asing (Arab), sampai-sampai
beliau mampu mengarang kitab Usul firqhi-nya yang terkenal itu hanya di kamar
mandi tanpa bantuan referensi. Belum lagi kesufianya sehingga beliau nyaris
sempurna dalam dirinya sebagai seorang Faqih, Sufi, dan adabi (budayawan) secara
bersama-sama dalam satu waktu. Oleh karena itu , tidak diragukan lagi bobot ke-ulama-anya
sebagai penerus risalah Islam yang disegani dan dihormati dalam berbagai
lapisan masyarakat.
Anregurutta sebagai ulama tidak pernah belajar
teori manajmen organisasi secara formal, tetapi beliau mempraktekkan manajerial
organisasi yang baik dalam pengembangan DDI di berbagai pelosok di nusantara
ini, bahkan beliau sampai kepedalaman Kutai Barat (Kaltim) di tengah-tengah
mayoritas non-Muslim. Tentu ini tidak lepas dari krakter Beliau sebagai seorang
ulama; MEMBINA, MENGAJAR, MENDIDIK, MENASEHATI, MENGARAHKAN, DAN MENYATUKAN plus
LILLAH dengan ungkapan beliau "LAYANI AGAMAE, NALAYANIKO TU PUANG-E",
sehingga DDI berkembang pesat dimana
mana dan dikenal di tengah tengah masyarakat, bahkan mereka bangga kalau
dikatakan orang-orang DDI, meskipun secara akademis tidak pernah mengecap
pendidikan formal DDI.
Ketika ulama memimpin dalam sebuah organisasi, maka
dipastikan bahwa ada pembinaan di dalamnya. Bagaimana tidak, kalau ulama itu
sendiri duduk mengajarkan ilmu, membina akhlaq santrinya, setiap waktu menjadi
imam shalat. Nilai-nilai inilah yang hilang selama ini di tubuh DDI, jadi wajar
kalau berbagai tanggapan miring muncul dan pengevaluasian tentang kemajuan DDI
dan perkembanganya yang hanya penonton dalam kompetisi kemajuan ilmu
pengetahuan dan bisa-bisa menjadi ayam KEOK (ayam yang menyerah) yang dipimpin
PB dan MA dalam menghadapi era globalisai pendidikan yang kian maju yang
didukung teknologi.
POLITIKUS PENGUASA
Politik berasal dari bhs Belanda "Politiek".
Dan selusinan definisi mengenai politik, tentu dapat ditarik kesimpulan bahwa
politik adalah harapan yang baik sesui dengan nilai dan norma yang ada dalam
masyarakat dan menghindari hal-hal yang baruk sebisa mungkin. Pada dasarnya
politk itu baik. Politik yang baik dalam sebuah negara dan organisasi, jelas
negara dan organisasi itu maju dan berkembang. Tetapi sebaliknya apabila
politik itu rusak , maka bencana akan terjadi: Negara dan organisasi itu hancur
dan rusak.
Maka seorang politikus seharusnya memahami secara
mendalam dan komitmen melaksanakan nilai-nilai yang baik dalam bermasyarkat dan
berorganisasi. Itulah politikus yang ulung dan diharapakan tampil sebagai
pengusung nilai-nilai yang baik sebagai mata kunci kemajuan dan perkembangan
organisasi. Namun, kenyataan itu sulit kita mendapatkan pioner seperti itu,
justru mereka menggebu gebu bahkan menggunakan segala cara untuk berkuasa
didalam sebuah organisasi, meski menggunakan teori-teori yang enak kedengaranya
tapi pahit dirasakan.
Ketika Dr. Muiz Kabri masuk bergabung dalam DDI
yang dianggap organisator dan menajer mampu mengembangkan DDI lebih maju dan
berkembang melebihi kemampuan Anregurutta. Dan harapan itu bertahun-tahun
ditunggu, namun DDI mengalami stagnisasi dan pengeroposan serta abrasi
nilai-nilai ke-DDI-an semakin tidak jelas tujuanya sebagai lembaga sosial,
da'wah dan pendidikan. Dan belakangan terungkap bahwa si Muiz ini ternyata sama
sekali tidak ada latar belakang ke-DDI-anya, tidak pernah belajar di
sekolah-sekolah DDI mana-pun, dia hanya petualang kesiangan yang haus kekuasaan.
Ungkapan Gurutta Prof. AGH Faried Wajedi, MA bahwa
politikus tujuanya menguasai, bukan membina, maka inilah yang terjadi dalam jantung
DDI. Berkuasa melupakan nilai-nilai moral dan adab, pasti melahirkan egoisme berpikir
dan bertindak, yang ujung-ujungnya memiliki perasaaan yang lebih hebat dari
yang lain. type politik semacam ini memupuk kebencian dan pengelompokan dalam
sebuah wadah organasasi, yang tidak etis dalam wadah DDI yang memiliki tujuan
yang luhur dalam menyebarkan Da'wah dan melahirkan generasi yang diharapkan
Anregurutta.
Yang jelas, politikus tidak bisa berhati ulama dan
ulama bisa berjiwa politikus. Oleh karena itu, harapan kita sebagai generasi
DDI akan muncul pemimpim yang berhati ulama dan berjiwa politik. Semogaaaa.......amin
7x