Majelis A’laa Juga Manusia
Oleh: Rahman Yanse
Saya bertanya kepada teman-teman alumni yang tidak
berani bersikap kritis kepada Majlis A’la (Pemimpin tertinggi) di DDI, di
tengah “sikap diam”; “ketidak pedulian”; dan “tekanan”. Jawabnya: Majlis a’la
itu “juga manusia”; tetapi sebagai pemimpin tertinggi ia akan terus berusaha
mengupayakan yang terbaik bagi DDI.
Organisasi Darul Dawah wal Irsyad (DDI) diisi oleh
kumpulan ”ulama dan cendekiawan” yang berprofesi sebaga pendidik, punya amanah
besar mencerdaskan manusia yang sekaligus berhati nurani tinggi. Tata kelola
yang baik menjadi prasyarat komunitas organisasi yang sehat, yang memungkinkan
dikembangkannya pengetahuan, bukan untuk kepentingan sendiri atau mendukung
status quo, melainkan untuk memajukan peradaban dan kemanusiaan.
Mengapa orang banyak diam, penjelasannya ada pada
antisipasi risiko. Karena ada dua bentuk kebaikan ada kebaikan yang tidak
berisiko (misalnya punya uang lalu menyumbangkannya). Ada pula yang berisiko,
yang perlu perjuangan khusus untuk melakukannya. Contohnya, kita prihatin
melihat situasi DDI dan kondisi Pontren kaballangan serta ingin memperbaikinya.
Bentuk kebaikan yang kedua sepertinya sudah sangat
langka di DDI. Risiko terberat mungkin justru sikap sinis dari lingkungan
sekitar; mau sok pahlawan? Memang posisi berdiri kamu berbeda? Kok tega
mengungkap persoalan internal ke luar? Atau lebih parah lagi; terlempar dalam
situasi konyol sebagai ”pengacau silaturrahmi” kemudian dicekalisasi. Maka,
orang lebih memilih diam atau, sekaligus saja, mendukung yang sedang berkuasa.
Argumentasi pembenaran dapat dikembangkan;
mengkritik yang berani mengungkap ketidak beresan sebagai kelompok anti “majlis
ala” mengklaim diri ”obyektif” dan ”netral” dalam komplik personal masa lalu
(meski sikap mereka jelas sangat menguntungkan status quo).
Bagaimana mengelola Organisasi DDI yang baik?
Tentu melalui tata kelola yang baik pula lembaga-lembaga
dan badan otonom yang ada sebenarnya mikrokosmos DDI, Yang terjadi di dalamnya
menjadi cermin apa yang berlangsung di organisasi kita.
Sepertinya banyak pemimpin merasa lembaga yang dia
pimpin adalah ”milik”-nya atau setidaknya punya privilese jauh lebih besar dari
warga DDI biasa, sehingga tidak boleh di krtitisi apalagi disapa tampa disertai
embel embel, meski demikian di DDI masih banyak pemimpin yang dapat diteladani,
seperti almarhum KH Abd. Rahman Ambo Dalle, atau KH. Ali Yafie, KH. Andi
Syamsul Bahri, dll,,,,
Pemimpin tertinggi baca (Majlis Ala) itu,
sebanarnya hanyalah pengurus, dan pengurus itu seyogianya menjalankan amanah
sebagai pengurus. DDI adalah organisasi yang bergerak dibidan dawah pendidikan
dan social, sebagai organisasi dawah dan pendidikan maka pemimpin tertingginya
wajib menciptakan iklim yang mendukung terbentuknya kejujuran dan sikap kritis
dari warganya tetapi apabila terjadi justru sebaliknya harus dimana lagi warga
DDI belajar tentang etika?
Di balik sikap kritis alumni dan warga terhadap almamater
dan organisasinya, ada ketidak beresan tata kelola. Tidak ada transparansi,
akuntabilitas, dan pengawasan terkait dengan uang serta keputusan-keputusan
penting pemimpin. Malah desakan untuk mengevaluasi SK pinpinan pontren DDI Kaballangang
sebagai bentuk protes alumni yang prihatin melihat almamaternya ditanggapi
sepele dan berkelit bahwa yang lainnya masih berjalan normal.
Lalu bagaimana bisa bicara tentang ”kebenaran,
kejujuran, dan keadilan” dalam membangun pengetahuan? Pembelajaran apa yang
diperoleh alumni dan warga apabila Majlis alanyanya melakukan pembiaran, tidak
punya kepekaan sosial, serta tidak menunjukkan empati atas keprihatinan yang
dirasakan alumni yang juga waganya sendiri.
Pada ahirnya mari kita satu langkah membangun
kembali habitat kita yang bernana Potren DDI Kaballangang, meminjam frasa
teman-teman alumni, kita boleh gagal dalam banyak hal, tapi kita tidak boleh
gagal dalam memperjuangkan nilai nilai yang kita anggap benar,,, selamat
berjuang dan selamat Tahun Baru 2013 semoga sukses .
No comments:
Post a Comment