Belajar Kitab Kuning dengan Lampu Tembok
Oleh: Muhaimin al-Bugisy
Waktu demi
waktupun kulalui di Pondok Pesantren DDI Kaballangang bersama kedua saudara
sepupuku, di sebuah Asrama dengan ke-hidupan yang benar-benar sangat mandiri,
dengan kehidupan yang sederhana jauh dibanding dengan kehidupan yang aku
rasakan waktu di kampung halaman yang serba ada. Dengan hanya mengandalkan
pelita atau lampu tembok di malam hari, sayapun mulai membiasakan diri dengan
memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri, mempersiapkan segala sesuatunya
dengan sendiri, disamping harus mempelajari banyak mata pelajaran dari sekolah
dan kitab-kitab yg dipelajari di mesjid, yang kebanyakan dalam pelajaran
tersebut di dominasi oleh pelajaran-pelajaran menggunakan Bahasa Arab.
Penulispun mulai
menghafal kosa kata bahasa Arab dari sebuah kamus yang penulis beli sewaktu di
pare-pare, tepatnya di sebuah toko yang bernama Toko Arti, untuk menunjang
pelajaran saya agar lebih mudah memahami isi kandungan buku-buku pelajaran yang
penulis pelajri di pesantren.
Pada saat itu
penulis sangat sulit untuk menerapkan bahasa Arab yang penulis telah hafal
beberapa mufradat (kosa kata) bahasa Arabnya, sebab dikarenakan bahasa yang
diterapkan di lingkungan pesantren tetap memakai bahasa Indonesia dan bahasa daerah
masing-masing para santri, jadi kosa kata bahasa Arab yang telah penulis hafal
sangat mudah hilang dari ingatan, karena tidak pernah di coba untuk memakainya
sebagai percakapan sehari-hari, malah saya sering mempelajari bahasa-bahasa daerah
yang menurut penulis sangat asing dan aneh...
Penulis sering
belajar kepada teman-teman tentang bahasa daerah mereka, seperti penulis sering
belajar kepada saudara Nu'man dan Nurdin Tolai tentang bahasa Kanang Polewali
Mandar yang kebetulan saudara Nu'man dan Nurdin Tolai adalah satu kelas penulis
sendiri.
Begitulah hari
demi hari sayapun malah sering sibuk dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah
yang memang bermacam-macam logatnya; selain bahasa Kanang ada juga bahasa
Makassar, Mandar, bahasa kaiyle (Palu), dan bahasa Pinrang sendiri, hingga
sipenulispun sudah sangat kurang menghafal mufradat bahasa Arab dan
bahasa Inggris yang sering kali sudah terabaikan.
Walaupun begitu
saya tetap merasa bahagia berada di lingkungan Pondok Pesantren DDI
Kaballangnang yang mempunyai banyak teman-teman dari berbagai macam suku,
Bahasa dan budayanya, itulah "Bhinneka Tunggal Ika". Waktupun berlalu
terus dengan berbagai macam kegiatan kepesantrenan dan kesantriannya yang
penulis ikuti, selain bersekolah di pagi harinya, melakukan sholat secara
berjama'ah di mesjid Al-Washilah dengan program-program kitab kuningnya,
sehabis Sholat Magrib dan sesudah sholat subuh atau dengan kata lain 'Alaqah dengan
kitab-kitab kuningnya sbb:
- Tafshirul-jalalain
- Syarhul Hikam
- Irsyadul-Ibad
- Maraqil-Ubuwdiyyah
- Mukhtarul-Hadits
- Buwlugul-Maram
- Riyadus-Sholihin
- Jawahirul-Bukhari
- Kifayatul-Akhyar,
- Hushunul Hamidiyah
- Durratun Nashihin
yang kesemuanya
itu wajib dimiliki kitabnya oleh semua santri DDI Kaballangang, serta di ajari
langsung oleh Al-mukarram GURUTTA' KH Abdurrahman Ambo Dalle, Gurutta H.M. Yunus
Shamad Lc, Gurutta H. Luqmanul-Hakim Lc, Gurutta Drs. H. Jamaluddi Semmang, dan
terkadang di isi langsung oleh para kiyai-kiyai seperti Gurutta KH. Abdullah Pabbaja,
KH. Muh.Yusuf Hamzah, KH.Abu Bakkar, dan tahun-tahun berikutnya juga diisi oleh
DR. H. Abdul Rahim Arsyad, MA dan Dr. H. Andi Syamsul Bahri, MA.
Dengan
pelajaran-pelajaran tersebut maka sipenulis harus giat belajar lagi karena
semua pelajaran tersebut semuanya menggunakan bahasa Arab dan tidak mempunyai
garis, atau istilahnya kitab Gundul. Dari situlah sipenulis memutuskan untuk
belajar ilmu Nahwu shorof kepada Guru, agar bisa membaca kitab-kitab kuning
tersebut, walaupun di sekolah juga di ajarkan, dan pada sore harinya jg ada
jadwalnya, akan tetapi sipenulis merasa masih kurang puas, sebab satu keinginan
sipenulis jika di suruh membaca oleh Anregurutta sipenulis bisa membacanya.
Maka atas
Informasi teman-teman dari Takkalasi (Muallim) sipenulispun beserta syahruddin
Idris (cahyo) pergi belajar Ilmu Nahwu Shorof di rumah salah satu Guru kami di
pesantren yaitu Gurunda Almarhum H.Jamalu... Kamipun belajar di rumah beliau,
dan Beliaupun mengajari kami dengan tekun dan ikhlas, terkadang diselingi
dengan lelucon dengan khas beliau, tanpa memungut biaya sepeserpun dari kami
dan lainnya seperti Muallim, Suratman, sirajuddin (conding) dan ain-lainnya.
Dari ketekunan
Gurunda H. Jamalu dalam mengajari kami, sehingga kamipun sangat memahami
pelajaran Ilmu Nahwu Shorof dan juga sdh mulai lihai dalam hal mangera', yang
pada waktu itu sipenulis masih duduk dibangku kelas 1 Tsanawiyah, khususnya
sipenulis walaupun saat itu masih duduk di bangku kelas 1 Tsanawiyah akan
tetapi terkadang pelajaran kelas 3 tsanawiyah dan 1 Aliyah dalam bidang Ilmu
Nahwu Shorof sudah kami mengerti, dari situ jualah sipenulispun bisa membaca
kitab-kitab gundul dengan agak lancar, jadi tidak ada lagi rasa takut jika
berada di shap depan waktu belajar kitab kuning sehabis Magrib dan subuh di
masjid Al-washilah, itupun dibuktikan dengan nilai pelajaran sipenulis di
sekolah dengan mendapatkan nilai yang jayyid.
Khusus kepesandorang (Majjampu dan maccuncung); adalah sebuah kegiatan yang diluar program kepesantrenan, hanya lebih kepada Rafreeshing, untuk menghilangkan penat dari berbagai macam program-program Formal kepesantrenan yang telah diikuti oleh para santri-santri DDI Kaballangang, dan kegiatan ini hampir semua santri kaballangang pernah menjalaninya termasuk si penulis sendiri, yang terkadang dengan kegiatan tersebut sering mendapatkan sangsi Indisipliner dari Guru yang bertindak sebagai keamanan Campus sa'at itu, dikarenakan dengan kegiatan tersebut, sering mengorbankan kegiatan program kepesantrenan seperi misalnya; Belajar di sore harinya. penulispun menjalaninya dengan enjoi dan Ikhlas saja, sebagai kembang-kembang di kehidupan Pondok Pesantren DDI Kaballangang.
Waktupun berlalu
begitu saja tanpa merasakan kembali kerinduan akan kampung halaman,
kegiatan-kegiatan kepesantrenan membuatku sibuk,sehingga merasakan kebetahan
dan ke-nyamanan di dalamnya. Suara Adzan serta suara dari Ustaz yang bertindak
sebagai Keamanan campus, seakan terasa tiada henti-hentinya meneriakkan
suaranya untuk membangunkan para santrinya, agar supaya melaksanakan sembahyang
secara ber-jama'ah di Mesjid Al-Washilah.
Suara dari canda
dan tawa para santri-santri, semakin membuat suasana campus semakin ramai dan
meng-Asyikkan, sipenulispun larut dengan suasana tersebut dengan suasana pondok
yang sudah menjadi akrab dan tidak terasa asing lagi bagi sipenulis.
Suka dan duka di
pondok pesantren DDI Kaballangang terus kujalani dengan ber-bagai macam
kegiatannya, Selain ber-olahraga seperti; Bermain Bola dan sepak Takrouw,
penulispun ikut dalam bidang kegiatan Rebana (Sholawat Badar) yg di ajari oleh
salah seorang Guru yang bernama Ustaz Ahmad Saad Hamdany, yang tak lain adalah
wali kelas sipenulis sendiri, waktu sipenulis masih duduk di tingkat kelas 1-1
tsanawiyah, bersama santri-santri lainnya seperti; Kanda Sueb Aiy, saudara
Rahman Arsyad, Andi Muhamad Nur Pabbicara, Mayoenk, dll, yang penulis tidak
bisa sebutkan satu persatu Namanya. Begitupula dengan kegiatan Drum Band dan
Gerak jalan (Pelajaran Baris ber-Baris), penulispun mengikuti dan masuk sebagai
Anggota Drum Band, yg di ajari oleh salah seorang Guru yang bernama; Ustaz
Imaran Daniel,dan yang bertindak sebagai Mayoretnya pada sa'at itu adalah
saudara Faisal As-Sauqy dan saudara Darwis ssunnah kalau tidak salah. Walaupun
pada sa'at itu sipenulis di dalam kelompok Anggota Drum Band hanya bertindak
sebagai pemegang bendera saja, Maklum pada sa'at itu sipenulis masih kecil
sekali bodinya...hehehe...
Akan tetapi
penulis jalani semua kegiatan tersebut dengan hati yang penuh riang dan
gembira.
Adapula kegiatan
para santri pada sa'at itu yang diluar program kepesantrenan yang tidak lepas
dari keikut sertaan sipenulis yaitu; Anccaba (Anak Campus Candu baca doang),
pergi kepesandorang bersama teman-teman (majjampu dan maccuncung, juga sering
kerumahnya nenek Mansuha bersama dengan santri-santri lainnya yang lebih senior
dari penulis, seperti Kanda Jumran Tawas (Jundang Coma) yang memang sudah
penulis anggap sebagai kakak penulis sendiri, seperti halnya kanda Muh Rijal
Idris, dan lain-lainnya, serta tidak pernah melewatkan dalam mengikuti siaran
sandiwara radio drama kolosal yang terkenal dan digandrungi oleh mayoritas
santri pada waktu itu adalah; Saur Sepuh Brama Kumbara.
Khusus kepesandorang (Majjampu dan maccuncung); adalah sebuah kegiatan yang diluar program kepesantrenan, hanya lebih kepada Rafreeshing, untuk menghilangkan penat dari berbagai macam program-program Formal kepesantrenan yang telah diikuti oleh para santri-santri DDI Kaballangang, dan kegiatan ini hampir semua santri kaballangang pernah menjalaninya termasuk si penulis sendiri, yang terkadang dengan kegiatan tersebut sering mendapatkan sangsi Indisipliner dari Guru yang bertindak sebagai keamanan Campus sa'at itu, dikarenakan dengan kegiatan tersebut, sering mengorbankan kegiatan program kepesantrenan seperi misalnya; Belajar di sore harinya. penulispun menjalaninya dengan enjoi dan Ikhlas saja, sebagai kembang-kembang di kehidupan Pondok Pesantren DDI Kaballangang.
Terlepas dari
itu semua, pernah terjadi pada diri penulis sendiri, suatu kejadian yang
menurut sipenulis adalah sebagai pembelajaran buat sipenulis pribadi; Tepatnya
pada waktu itu sipenulis masih tinggal di sebuah asrama yang letaknya di depan
rumah Almarhum Gurutta H. Fatahuddin, kejadiannya pada saat malam tiba yang
hanya menggunakan lampu tembok sebagai Alat penerangannya, ba'da Isya,
penulispun diajak oleh seorang senior sipenulis, yang tak lain adalah Kakak
sepupu penulis sendiri yaitu; Muh.Amin Iskandar, untuk keluar dari areal
pesantren menuju ke sebuah kampung yang bernama Sokang, untuk menonton film
layar tancap.
Padahal pada
waktu yang bersamaan ada kegiatan kesantrian yang dilaksanakan di mesjid
Al-Washilah pada saat itu yaitu; Tamriynul-khitabah atau Training Dakwah, yang
saat itu penulis belum tau program kesantrian tersebut, dikarenakan penulis
pada saat itu masih tergolong sebagai murid baru, dan tanpa memikirkan apa dan
bagaimana, penulispun bersama saudara Muh.Amin Iskandar bergegas berangkat ke
tempat acara yang ada di Sokang.
Dengan
menggunakan jalan pintas yang ada di belakang Asrama yang penulis tempati, yang
penuh dengan rumput-rmput ilalang dan semak-semak belukar disertai dengan
kotoran-kotoran sapi yang memang diternak dalam lokasi pesantren, kamipun
melewati jalanan tersebut disamping dekat juga lebih aman dari segi pengawasan
keamanan campus. Dalam perjalanan di kegelapan malam tersebut, tepatnya pas
lagi akan melewati arah belakang rumah seorang Guru yang bernama H.Jamaluddin
atau yang lebih dikenal dengan nama H.jamalu, tiba-tiba seberkas cahaya yang
lagi menerangi jalanan yang akan kami lewati, kamipun menghentikan laju jalan
kami agar tidak terlihat oleh sang penyenter tersebut. Kamipun bersembunyi
dengan cara menundukkan kepala kami diketinggian padang-padang ilalang,
tiba-tiba sinar lampu tersebut cahanya menuju kearah kami, kamipun kelabakan di
buatnya. Di tengah kepanikan tersebut, dengan spontan saja Kanda Muh.Amin
Iskandar memgang kepala penulis dan menekannya lagi, agar lebih merunduk hingga
wajah penulispun mengenai tanah, dengan harapan bisa terlindung oleh lebatnya
ketinggian rumput-rumput ilalang dari sinar lampu sang penyenter tersebut.tanpa
disadari sang penulis, karena saking takutnya agar supaya tidak ketahuan, tanpa
disadari bahwa pipi serta talinga sipenulis terasa agak terganjal oleh sesuatu
yang lumayan empuk dan mengeluarkan aroma yang tidak sedap, setelah sinar lampu
tersebut tdk lagi menyala, barulah kami bangkit dari persembunyian dan betapa
kagetnya sipenulis dan bahkan hendak muntah setelah mengetahui bahwa yang
mengenai pipi sipenulis adalah sebuah kotoran sapi, sontak saja sipenulispun
bergegas agas bisa sampai ke sebuah warung diseberang jalan untuk membasuh
wajah sipenulis, kamipun terus bergegas dengan melewati pagar kawat yang
berduri dan akhirnya sampai ditepi jalan pas didepan rumahnya Eda (salah
seorang masyarakat yang berjualan dekat lingkungan Pesantren yang sering
penulis datangi untuk membeli nasu bale). Penulispun mencuci muka untuk
membersihkan kotoran tersebut, setelah itu kamipun melnjutakn perjalanan kami
menuju kesokang tempat acara tersebut di gelar.
Singkat cerita
tibalah kami di sokang tempat acara tersebut, dan betapa kagetnya si penulis,
sebab dugaan penulis sebelumnya hanyalah penulis dan Kanda Muh.Amin Iskandar
saja yang berangkat ke sokang dengan tidak menghadiri kegiatan kepesantrenan
yaitu Training Dakwah di mesjid Al-Washilah, ternyata di tempat acara tersebut
sdh banyak para santri-santri yang rata-rata adalah senior penulis, dan tidak
ketinggalan juga Kakak-kakak sipenulis sendiri; diantanya Kanda Muh.Rijal Idris,
Kanda Jumran Tawas, Abd Mu’in, Musadi, dan lain-lainnya. Penulispun ikut
bergabung dengan para senior-senior, dan disitulah penulis dimarahi (Denasehati)
oleh senior-senior yang sudah penulis anggap sebagai kakak penulis sendiri (Muh.Rijal
dan Jumran Tawas), Selajur berkata dengan menggunakan bahasa bugis; “Nappakoje’
ttama’ massikola (Murid baru) ma’guruno mmessu’-essu’, dena mulokka ma’guru ko
Masiji-E “, itu kalimat yang saya masih ingat dari kandaku berdua, penulispun
hanya bisa terdiam dan menyesali diri, dan berjanji dalam hati bahwa; Tidak
akan mengulangi lagi. Setelah itu penulispun duduk bareng-bareng dengan para
senior-senior tersebut, dengan sekaleng minuman 7 UP dan makanan ringan di
tangan, kamipun menyaksikan film layar tancap tersebut dengan hanya duduk
melantai di tanah lokasi pohon salak yang lumayan luas.sipenulispun mengambil
suatu hikmah dari kejadian tersebut bahwa; penulis saat itu sudah banyak lebih
akrab dengan para senior-senior penulis, ketimbang dengan teman leting penulis
sendiri.dengan kejadian tersebut penulispun kembali berjanji di dalam hati
bahwa; Tidak akan mengulangi kesalahan itu untuk yang kedua kalinya, dan akan
selalu berusaha tekun belajar dan mematuhi peraturan-peraturan kesantrian yang
telah ditetapkan oleh Pondok Pesantren Manahilil-Ulum Addariyah DDI
Kaballangang.
Bersambung
Artikel berhubungan:
Mengejar Berkahnya Gurutta Ke
Tanah Bugis
No comments:
Post a Comment