“Kisah Kembali Ke
Mabda Seorang Alumni”
By: TahrirMohammad
Sama seperti
santri-santri lainnya, motivasi saya nyantri ke Kaballangang ketika menimba ilmu pengetahuan
unlimited dari para senior, ibarat debit air terjun Niagara yang
mengagumkan itu. Sayangnya, cawan saya kecil dan hanya mampu menampung sedikit
ilmu pengetahuan yang tercurah. Dan kembali ke kampung halaman dengan predikat
alumni DDI Kaballangang yang masyhur itu.
Hari-hari saya selanjutnya
sarat dengan aktivitas duniawi, utamanya urusan perut dan sekilan di bawahnya. Mungkin
“barakka” (berkah) Anregurutta Ambo Dalle yang lupa tersykuri, saat itu saya
diterima bekerja disebuah perusahaan migas. Dari pekerjaan baru tersebut, selain
meraih materi saya juga mendapat benefit lain berupa pengalaman bergaul dengan
berbagai pribadi dari latar belakang status sosial, ekonomi, ras, pendidikan, serta
keyakinan yang berbeda dari saya yang berlebel santri.
Sayangnya, dalam
proses interaksi itulah iman saya ter-abrasi, terlena oleh fatamorgana
kehidupan hedonis, saya lalai dengan identitas sebagai muslim. Salat 5 waktu,
puasa di bulan Ramadan terlantar karena alasan pekerjaan. Sampai peringatan itu
datang.
Jasmani saya dihinggapi penyakit aneh yang entah dari mana muasal-nya. Perut kembung, dadak sesak, dan bahkan seluruh anggota tubuh meriang. Kondisi bathin suasananya juga tidak lebih baik tapi penyakit insomnia-lah yang paling terasa menyiksa.
Jasmani saya dihinggapi penyakit aneh yang entah dari mana muasal-nya. Perut kembung, dadak sesak, dan bahkan seluruh anggota tubuh meriang. Kondisi bathin suasananya juga tidak lebih baik tapi penyakit insomnia-lah yang paling terasa menyiksa.
Beruntung,
status sebagai karyawan perusahaan kontraktor migas cukup membantu usaha saya
mendapatkan layanan medis. Pertama kali saya coba memeriksakan diri ke dokter
spesialis penyakit dalam karena keluhan utama saya ketika itu, sesak nafas.
Tidak kurang enam kali saya harus bolak-balik berkonsultasi ke seorang dokter
spesialis penyakit dalam ternama di kota samarinda, sedangkan jarak perjalanan
darat antara Samarinda dan tempat tinggal saya di Muara kembang sekitar 80
kilometer pulang-pergi. Kalau menggunakan angkutan sungai, lama perjalanannya
bisa mencapai 12 jam.
Setelah enam
kali berkonsultasi, dokter yang memeriksa akhirnya menyerah. Menurut dokter,
paru-paru saya normal-normal saja meski dada tetap saja terasa sesak. Berikutnya,
saya ke dokter penyakit dalam lain tapi yang saya periksakan adalah ginjal.
Pulang dari pemeriksaan, saya membawa pulang serenteng obat-obatan berdosis
tinggi, entah apa nama-namanya, yang pasti itu bukan bahasa Bugis.
Berharap,
setelah meminum resepnya tubuh akan enakan ternyata malah sebaliknya. Sepanjang
malam, saya tidak bisa tidur gara-gara perut membuncit setelah obat bereaksi.
Lantaran jengkel, semua obat yang harganya di atas setengah juta rupiah itu
saya buang saja ke sungai Mahakam, larut bersama pengharapan sembuh saya.
Gara-gara kecewa
dengan dokter spesialis, akhirnya saya beralih kepengobatan alternatif mulai
dari ahli pijat sampai yang berlabel paranormal. Jarak bukan menjadi masalah,
dimana ada informasi paranormal berpraktek pasti akan saya datangi. Dari
sekedar jampi-jampi di air putih (tawe`) sampai ritual bakar-bakar dupa pernah
saya jalani, semua karena alasan ingin segera sembuh. Tapi, hasilnya tetap saja
nihil samane.
Mungkin karena
prihatin dengan melihat penderitaan saya, salah seorang adik sepupu perempuan
coba menasehati dengan sebuah kalimat singkat “tacobai sige massumpajang
sibawa mangaji-ngaji daeng, barakuammengi ia nassabari napaja lasata?”
sarannya dengan suara rendah. “Ajanna muppagguruka, na yoloka missengi yatu
naiko”, kataku ketus.
Saran adik tentu
saja saya abaikan, sampai datangnya peringatan dari almarhum Anregurutta Ambo
Dalle, maka dalam keputus-asaan, tiba-tiba saya bermimpi bertemu Anregurutta.
Tidak ada pesan keluar dari mulutnya tapi saya bisa merasakan kalau beliau saat
itu sedang marah besar. Saat itu juga saya terjaga terus bangkit mengambil air
wudhu untuk menunaikan shalat fardu Isya yang sudah sekian lama saya abaikan.
Masya Allah,
sungguh sebuah karunia tak terhingga dari Ilahi rabbi. Masih dalam posisi shalat,
tiba-tiba terasa sebuah hawa sejuk menerpa dan meresap di setiap titik
pori-pori tubuh. Terasa waktu berhenti berputar, tubuh bergetar layaknya
seseorang yang tengah mengalami ejakulasi sedangkan air mata mengucur deras
sederas musim hujan di bulan september. “Terima
kasih ya Allah, engkau telah mengembalikan aku ke mabda`ku semula sebagai
seorang santri”, ucapku dalam doa.
Sejak saat
itulah, saya berikrar dalam hati untuk tidak lagi berani meninggalkan kewajiban
sebagai seorang muslim. Termasuk kebiasaan buruk, M-E-R-O-K-O-K.
Artikel berhubungan:
Mengejar Berkahnya Gurutta Ke
Tanah Bugis
No comments:
Post a Comment